Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita itu milikku
Di sepanjang perjalanan yang terasa sangat lama itu, Adira bisa merasakan kalau dia sudah berada sangat jauh dari kota Tijuana.
Indra pendengar nya, tak lagi menangkap suara keramaian kota atau gemuruh musik, bahkan juga tak lagi mendengar suara satu orang pun. Hanya ada suara halus dari mesin mobil itu yang melaju cepat.
Perlahan hidung Adira mendengus, menghirup aroma khas pepohonan.
"Ya Allah, ini aroma hutan... kalau pun ada kesempatan untuk aku bisa lari nanti, gimana cara nya bisa keluar dari hutan ini?" sesak Adira membatin.
Adira awalnya, hanya mengira akan dibawa ke sebuah gedung tua atau rumah kosong di pinggiran kota. Oleh karena itu, sedari tadi Adira mencoba untuk tetap tenang, bekerja sama dengan pikirannya yang terus menerus merancang skenario pelarian dirinya.
Tapi, semua nya gagal karena aroma pepohonan itu. Bagaimana mungkin bisa lolos dari hutan bukan? Bisa bertahan hidup sehari saja di hutan, rasanya sudah terlalu beruntung.
Hingga tiba saat mobil yang membawa Adira akhirnya berhenti.
Para penjahat itu dengan cepat menyeret tubuh kecil Adira keluar dari mobil, masih dengan tangan terikat dan kain yang menutupi wajahnya.
"Hhhmmppttt!!!!"
Adira mencoba menahan kakinya agar tak ikut terseret.
"Jalan kau!! Dasar bodoh!! Apa kau kira bisa melawan kami!! "
Bentak seorang pria disebelah kiri Adira, yang terasa sangat tinggi dan besar dengan suara nya yang serak khas seorang perokok berat.
Adira terus dipaksa berjalan, dia telah diapit oleh dua pria besar yang mengawalnya masuk ke dalam sebuah bangunan.
"Ya Allah tolong la hamba...cuma Engkau yang bisa menolong ... " tangis nya berdoa dalam hati.
Setiap langkah Adira kini terasa sangat berat. Tubuhnya begitu lemah karena rasa takut yang menguasai seluruh pikirannya.
Tidak ada tanda kehidupan lain di sekitar bangunan itu, hanya ada suara langkah kaki para penjahat yang menculiknya, menggema di udara malam yang sepi dan dingin itu.
"Kau tunggu disitu!!!"
Ucap pria yang membentak nya tadi sambil melempar badan Adira hanya dengan satu tangan, masuk ke dalam sebuah ruangan.
"Ugghh! Sakit..."
Adira merintih dalam hati merasakan sakit di seluruh badan nya karna tercampak ke atas lantai yang keras.
"Hhmmpphhtttt..." Mulut nya yang tertutup kain tak bisa mengeluarkan satu kata pun. Padahal dia ingin sekali mencoba memohon untuk di bebaskan.
Kain yang menutupi wajah Adira, akhirnya dibuka dengan kasar dan cahaya remang-remang dari lampu yang tergantung di langit-langit menyilaukan matanya sejenak.
"Wah wah cantik juga guys.. "
Ujar salah satu orang di ruangan itu menggunakan bahasa Meksiko.
"Mmmm...?? "
Adira mencari-cari si pemilik suara itu.Tapi pandangan nya masih buram.
"Sepertinya masih perawan juga ini? "
Pemilik suara tadi melanjutkan perkataannya yang di balas dengan suara tawa orang - orang yang berada diruangan tersebut.
Ketika itu, pandangan Adira mulai terbiasa, dia melihat ke sekelilingnya. Ruangan itu tampak besar, dengan lantai beton yang dingin dan dinding batu kusam yang tak terawat. Pun, memiliki bau lembab dan tembakau yang tajam memenuhi setiap sudut ruangan.
Sementara melihat orang-orang yang ada disini, dari pakaian dan nada suara nya, Adira mengerti bahwa mereka pastilah sekelompok mafia besar.
"Hhmmppttt... hhmmpptt..."
Adira terus berusaha mengeluarkan suara yang hanya teredam percuma. Mata nya sudah memerah dan bengkak akibat tangis yang terlalu lama.
"Uuhhhh.. Kau menangis? Kasihan.. "
kata seseorang di depan Adira yang berpakaian serba gelap dan tatapan tajam yang mengintimidasi.
Di ruangan itu terlalu banyak orang, sebagian dari mereka hanya berbicara satu sama lain, dengan bahasa Meksiko yang tak bisa Adira mengerti dan sebagian lainnya terus menatapi Adira layaknya serigala yang kelaparan memandangi mangsanya.
Adira mendongak dengan gemetar, melihat pria di depan nya yang terasa dingin dan penuh dengan aura yang mengancam.
"Hhmmppttt... hhmmpptt... " ucap Adira dengan mulutnya yang masih belum mereka buka. Matanya yang berair memohon belas kasihan kepada orang-orang di sekitarnya.
"Kau sedang memohon agar dibebaskan ya? "
Kali ini pria itu berkata dengan bahasa inggris, Adira paham itu.
Adira pun mengangguk pelan, air mata jatuh membasahi pipinya.
"Uuuhh sayang... tapi bagaimana dong.. semakin kau menangis, semakin aku suka.. "
Ucap pria itu, membuat bulu kuduk Adira merinding.
Kepala Adira lantas tertunduk, tubuh nya meringkuk, menyembunyikan tangisannya yang pecah. Adira kini merasa sendirian lebih dari sebelumnya. Air matanya terus mengalir, tetapi dia menahan suaranya, agar tak menunjukkan sisinya yang hancur ketakutan.
Namun, di tengah tangisan sunyi Adira, saat rasa putus asa semakin menikamnya, ruangan itu tiba-tiba terasa membeku, dan seolah semua suara mendadak hilang. Semua orang di ruangan itu berhenti berbicara dan berdiri tegap, tatapan mereka berubah menjadi serius.
Ada seorang pria masuk ke dalam ruangan, langkahnya berat namun tenang, memancarkan aura yang penuh kekuatan.
Adira yang merasakan perubahan suasana ini mengangkat wajah nya, dan melihat pria tersebut berjalan masuk melewati pintu.
"Siapa dia? Apa dia pemimpin disini.. ?"
ujar nya dalam hati.
Sosoknya tinggi dan berotot, dengan bahu yang lebar dan tubuh penuh tato. Wajahnya keras, dengan garis rahang tegas dan tatapan tajam seperti seorang pejuang suku asli Amerika.
Kulitnya kecokelatan, dengan rambut hitam yang panjang dan terurai sampai punggungnya, tampak kontras dengan bola matanya yang biru gelap.
"Kau... "
Lelaki itu tiba-tiba bersuara sambil berjalan mendekat ke Adira, mata mereka bertemu, dan waktu seolah berhenti.
Dia terus memandangi Adira, tapi pandangan itu bukan seperti pandangan pria-pria tadi. Ada sesuatu yang berbeda di balik sorot matanya yang dingin.
Ketika dia melihat wajah Adira, terutama tahi lalat kecil di bawah mata kirinya, ekspresinya yang tak terbaca, berubah.
Setelah hening yang mencekam itu, suaranya yang berat dan rendah terdengar.
"......"
Dia mengatakan sesuatu, dan pernyataan itu mengejutkan semua orang yang ada di ruangan. Mereka saling bertukar pandang dengan ekspresi bingung dan terkejut. Sementara Adira masih mencerna, loading nya lama,
"Haa? Apa tadi yang dibilangnya? " pikir nya dalam hati.
Matanya yang sendu kini menatap pria itu dengan campuran kebingungan dan ketakutan, sementara tubuhnya bergetar di atas lantai dingin.
Adira tiba-tiba tersadar,
"Wanita ini milikku,"
Itu yang pria tadi katakan.
Sebelum Adira kembali sadar sepenuhnya, ajudan si kepala mafia, yang berdiri persis di belakangnya, segera melangkah maju.
Dia bergerak dengan tenang namun sigap, menarik tubuh Adira yang lemas dari lantai. Tangan besarnya menopang Adira yang hampir tak bisa berdiri tegak karena ketakutan dan kelelahan.
"Ayo, berdirilah"
.
Kata si ajudan dengan suara tenang,
Adira hanya mengikut, pasrah.
"Apa maksud dia tadi? Kenapa dia mengklaim aku sebagai "miliknya"?"
Semua pertanyaan itu pun berputar-putar di benaknya tanpa jawaban. Ia terjebak dalam labirin pikiran yang penuh dengan ketidakpastian.
(ehemmm/Shhh//Shy/)