Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15.
Tanpa sadar air mata Rahma menetes membasahi pipinya. Dia hanya pasrah. Tiada guna dia berteriak karena dia tahu pasti tiada hasil.
Rahma merasakan tubuh bagian atasnya sudah tidak ditutupi dengan apa pun.
Dia hanya bisa menggertakkan giginya.
Dia tidak bisa menaruh dendam kepada geng preman ini. Dia hanya menyesali pernah dekat dan menjadi saudara sepupu Roni.
Seraut wajah tiba-tiba muncul di benaknya. Wajah seorang pemuda yang telah dihina oleh sepupunya di gerbang kantor Bupati.
'Mungkin seperti inilah sakit hati yang dirasakan oleh pemuda itu ketika mendapat penghinaan' fikirnya.
Fikiran Rahma sontak terhenti ketika tangan Ardi mulai menggapai tubuhnya yang tanpa perlindungan apa pun.
Saat Rahma ingin menggigit lidahnya sendiri karena tak sanggup hidup dalam kehinaan, dia melihat wajah Ardi pucat pasi sedangkan tangannya dalam posisi menggantung tak bisa diturunkan.
"Siapa itu?" Rupanya kawan-kawan Ardi menyadari ada yang tak beres. Pandangan mereka melihat sekeliling.
Mereka melihat seorang pemuda dengan wajah biasa sedang melangkah perlahan ke arah mereka.
Para preman itu merasakan suatu bahaya tersembunyi yang dipancarkan oleh pemuda sederhana ini. Perasaan ini muncul lewat pengalaman mereka selama malang melintang di dunia kejahatan. Oleh karena itu mereka berlima langsung membentuk kuda-kuda untuk menghadapi pemuda sederhana ini.
"Kalian benar-benar biad*b...!!!" Pemuda ini benar-benar marah. Jika ia terlambat datang, pasti gadis ini akan digil*r oleh mereka.
Mereka semua tak bisa dibiarkan!
Jika tidak maka akan ada korban-korban selanjutnya akibat ulah bej*t mereka.
Pemuda itu langsung melemparkan senjatanya yang berupa jarum-jarum berwarna keperakan.
Lemparan itu sangat cepat dan tepat mengenai sasarannya. Kelima preman itu langsung ambruk tanpa sempat untuk melawan.
Mereka tak siap untuk menghadapi serangan senjata berupa jarum yang halus tersebut.
Mulut mereka ternganga karena terkejut dan juga sangat takut.
Yang lebih terkejut lagi adalah Rahma. Dia terpana dalam waktu yang lama.
Wajah penolong ini sangat mirip dengan seseorang. Tapi tak mungkin orang itu.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya pemuda itu sambil melepas kaos yang dipakainya.
Rahma pulih dari keterkejutannya berganti dengan kengerian, "A..apa yang kamu lakukan..?" Tanya Rahma dengan terbata-bata. Apakah dia lolos dari mulut buaya masuk ke mulut singa?
Pemuda itu hanya mengangsurkan bajunya tanpa menoleh ke arah Rahma.
"Tutupi tubuh mu dengan baju ini!"
Rahma menatap tubuhnya. Wajahnya seketika memerah. Malu dan jengah.
Cepat-cepat dia merampas baju yang diangsurkan oleh pemuda tadi dan cepat-cepat memakainya.
Pemuda itu langsung berjalan menjauhi Rahma dan mengambil jarum yang ia lontarkan ke masing-masing tubuh para preman itu sambil melakukan totokan aneh pada bagian tubuh mereka.
Mereka tetap hidup tapi kej*ntanan mereka telah disegel sehingga tak kan mampu lagi untuk berbuat maksiat.
Kecuali mereka bisa mencari ahli pengobatan yang membuka segel itu kembali. Tentu saja para preman itu belum menyadari keanehan di tubuh mereka.
Setelah selesai, ia kembali mendekati Rahma.
"Bisakah kita keluar dari tempat ini sekarang?"
Rahma mengangguk. Dia mencoba berdiri. Tapi tubuhnya masih lemah dan kelihatan agak gemetar efek peristiwa tadi.
Pemuda itu memapahnya dengan perlahan.
Wajah Rahma kembali merah karena jengah.
Mereka berjalan dengan perlahan hingga sampai di tempat Rahma menyembunyikan motornya.
Pemuda itu mengambil motor tersebut dan menghidupkannya untuk Rahma.
"Kamu bisa pulang sendiri kan?"
Rahma mengangguk. "Terima kasih atas bantuannya." Ucapnya malu-malu.
"Sama-sama."
Mereka kembali terdiam. Rahma belum juga beranjak pergi pada hal motornya sudah hidup dari tadi.
"Cepatlah pergi dari sini! Kata si pemuda itu akhirnya. " Nanti jika para preman itu mengejar tak ada kesempatan untuk pergi lagi." Mendengar kata preman, Rahma menjadi takut dan langsung tancap gas meninggalkan pemuda itu sendirian.
Berhasil juga ia menakut-nakuti gadis itu agar segera pergi.
Masih banyak pekerjaan yang mau ia lakukan. Tak mungkin ia menunggu gadis itu tetap di sini lama-lama. Akhirnya pemuda itu pun beranjak pergi. Ia menuju toko pakaian terdekat untuk membeli baju. Tak mungkin ke mana-mana ia hanya bertelan*ang dada.
...****************...
Mumu ngojek ke rumah Pak Surya. Karena rumah Pak Surya berada di kawasan jalan Kelapa Gading jika harus berjalan kaki dari kostnya akan memerlukan waktu yang lumayan lama.
"Silahkan masuk, Mumu." Sambut Bang Randi dengan wajah ceria. Dia sedang duduk di kursi teras sewaktu Mumu sampai.
"Abang kira siapa yang datang berkunjung. Rupanya kamu. Kebetulan sekali." Setelah bersalaman Mumu pun duduk di teras.
"Wah, wajah Abang nampak ceria saja, Bang. Ada kabar baik apa, Bang?"
"He he kamu mau tahu saja. Nanti Abang ceritakan. Kamu mau minum apa?"
"Apa-apa saja, Bang."
Randi Sunandar pun minta ke pembantunya untuk dibuatkan kopi dan cemilan.
"Terima kasih atas hadiah yang kemaren, Bang."
"Itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan kesehatan Ayah, seharusnya kami yang berterima kasih kepada mu."
Setelah berbasa-basi sebentar, Mumu pun menyampaikan niatnya untuk melanjutkan mengobati Pak Surya.
"Kebetulan saya mendapatkan jarum perak lebih cepat, Bang."
Randi juga sudah mendapatkan beberapa lusin jarum perak dan dia baru saja ingin menghubungi Mumu ketika Mumu datang. Tapi jarumnya hanya kualitas standar. Dibanding jauh dengan kualitas milik Mumu.
Tanpa membuang waktu mereka segera memasuki kamar Pak Surya. Setelah menyapa Pak Surya dan Buk Husnalita, Mumu berkata kepada Randi, "Bang tolong jaga aku jangan sampai terganggu ya, Bang!"
Randi mengangguk mengiyakan.
"Tenang Mumu! Abang jamin." Ujarnya.
Mumu menenangkan diri dengan cara melakukan pernafasan sesuai metode yang telah dipelajari.
Ia agak gugup. Karena ini adalah pertama kalinya ia akan menggunakan jarum akupuntur untuk pengobatan di alam nyata.
Kalau di alam mimpi, Mumu sudah mempraktekannya ribuan kali.
Satu jam berlalu. Mumu kelihatan pucat karena harus berkonsentrasi dalam menancapkan jarum-jarum tersebut di titik syaraf yang pas. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Seperti itu lah yang ia pelajari di alam mimpi. Karena sedikit saja kesalahan yang terjadi akan berefek kepada pasien yang sedang diobati.
Mumu bernafas lega sambil menyeka keringat yang mengalir di wajahnya.
Ia lalu mengemas semua jarum akupunturnya. Setelah dibersihkan dengan air panas biar tetap seteril lalu dimasukkan ke dalam wadahnya.
"Biar Bapak tetap istirahat ya, Buk. Setengah jam lagi dia akan bangun. Kalau sudah bangun nanti berikan minum air hangat dan makan buah-buahan. Insya Allah Bapak sehat nanti. Sudah saya cek tak ada lagi yang bermasalah dalam organ tubuh Bapak."
Setelah berpesan dan pamit sama Buk Husnalita, Mumu pun keluar dari ruangan dan berkata, "Bang, Aku pulang dahulu, karena sore nanti aku masuk kerja. Takutnya tak sempat. Kalau ada apa-apa sama Bapak telpon saja aku ya, Bang." Mumu melangkah menuju pintu depan.
"Eh eh nanti dulu, Mumu!" Cegah Randi sambil mengulurkan tangannya, "Ini untuk mu."
Raminten