Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Buket dan Perhiasan Pemberian Sidik
"Vanya, ada yang mencari kamu itu di depan," seru Rani. Vanya yang sibuk membersihkan beberapa produk di etalase belakang, sejenak menghentikan aktifitasnya.
"Siapa Ran?"
"Tidak tahu, tapi dia cowok. Yang jelas bukan suami kamu," ujar Rani sembari berlalu dan kembali pada pekerjaannya. Sejenak Vanya mematung dan berpikir siapa gerangan yang mencarinya, laki-laki pula.
"Jangan sampai A Sidik," sangkalnya. Bukan apa-apa, Vanya tidak ingin kedatangan Sidik ke toko mama mertuanya akan menjadi masalah untuk dirinya. Semua bisa gawat, terlebih kalau mama mertuanya sedang ada di toko.
Vanya berjalan ke depan toko, di depan toko ia sudah melihat sosok pria bertubuh tegap dan berkulit bersih. Pria itu menatap ke arah jalan dengan tangan kiri berada dalam saku celananya. Dari postur tubuhnya Vanya sudah menduga kalau itu Sidik. Jantung Vanya tiba-tiba berdegup sangat kencang, dia bertanya-tanya kenapa setelah ia menikah Sidik justru datang, seakan ingin membuyarkan pernikahannya bersama Dilmar yang baru saja berjalan kurang dari satu tahun.
"Mungkinkah ini ujian pernikahan di tahun pertama? Kemarin Bang Dilmar dengan mantan kekasihnya, sekarang A Sidik yang jelas-jelas menyatakan bahwa kedatangannya kemari adalah untuk melamarku. Ya Allah, aku harus bagaimana, kenapa A Sidik masih mencariku padahal beberapa hari yang lalu sudah jelas kalau aku sudah bersuami, bahkan A Sidik bertemu langsung dengan Bang Dilmar?" Vanya merasa galau dengan kedatangan Sidik yang tiba-tiba ke toko.
Kedatangan Sidik ke toko menandakan kalau Sidik benar-benar mencari tahu tentang Vanya, dan sepertinya Sidik belum menyerah. Dia terbilang sangat nekad.
"Kenapa pula Rani bilang kalau aku ada di toko?" batinnya sedikit menyalahkan Rani.
Vanya bermaksud akan membalikkan badan, akan tetapi sosok di depannya sudah terlanjur membalikkan badannya ke arah toko, sehingga pandangan pertama yang dijumpai Sidik justru Vanya. Vanya tidak bisa mengelak lagi, terpaksa ia menyambut Sidik dan memberinya senyuman ramah persis pada pembeli di toko mama mertuanya ini.
Sidik melangkah lebih dekat ke arah etalase toko dan dia berdiri tepat di batas etalase. Tatap matanya berubah dingin tapi sendu, di dalamnya seperti tersimpan kesedihan dan kecewa yang dalam. Vanya langsung menunduk, ia tidak sanggup menatap wajah tampan dan bersih lelaki yang pernah menjadi cinta di masa remajanya itu.
"A Sidik, kenapa Aa bisa sampai ada di sini?" Vanya bertanya gugup, sambil sesekali matanya menoleh ke arah jalan, ia takut mama mertuanya tiba-tiba datang dan berpikiran negatif tentang kehadiran Sidik di toko ini.
"Aa datang ke sini hanya ingin sampaikan sesuatu untukmu, Yang. Aa tahu ini terlambat untuk Aa bicara saat ini. Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa dulu nomer Aa sampai tidak bisa dihubungi. Aa saat itu kena musibah, Hp Aa hilang, bahkan nyawa saja hampir melayang. Aa kena begal yang sadis. Semua benda yang ada di tas Aa dirampas, bahkan KTP Aa juga diambilnya." Sidik menjeda ucapannya.
"Aa sudah pasrah dengan barang-barang Aa yang dirampasnya asal mereka tidak menghabisi nyawa Aa. Tapi, mereka tidak peduli dan hampir saja menebas leher Aa yang sudah digesek samurai oleh salah satu komplotan begal. Namun, sebuah pertolongan tiba-tiba saja datang, sebelum leher Aa benar-benar ditebas. Mobil patroli Polisi datang dengan sirine mengaum keras, membuat para begal itu lari terbirit. Aa bersyukur nyawa Aa selamat akibat kedatangan mobil patroli Polisi," pungkas Sidik mengakhiri ceritanya.
Vanya cukup terhenyak mendengar cerita Sidik barusan yang mengungkapkan alasan mengapa Hp nya waktu itu tidak aktif sehingga mereka hilang kontak.
Vanya bukan tidak ingin bersimpatik, tapi saat ini rasanya tidak tepat apabila dirinya terlalu jauh memberikan simpatik untuk Sidik. Salah-salah dirinya dituduh berselingkuh dan dianggap istri yang durhaka. Kalau Vanya ingin balas dendam, sebetulnya saat ini merupakan peluang dirinya untuk membalas Dilmar. Namun, dalam hidupnya maupun dalam hatinya, sama sekali tidak berpikir untuk selingkuh atau mendua, meskipun faktanya Dilmar sempat akan menduakannya.
"Vanya ikut prihatin A. Dan alhamdulillah A Sidik selamat sampai sekarang. Vanya sangat bersyukur." Vanya memberikan kalimat motivasi untuk Sidik, setidaknya itu bisa membuat Sidik merasa ceritanya dianggap.
"Aa hanya ingin memberikan benda ini. Terimalah, meskipun diri Aa sudah tidak bisa kamu terima, Yang," ucap Sidik seraya memberikan sebuah buket bunga mawar putih lima kuntum dan satu kotak perhiasan.
Vanya terhenyak seketika, bagaimanapun ia tidak bisa menerima benda itu. Sidik langsung menaruh kedua benda itu, lalu segera bergegas menuju mobilnya yang diparkir di pinggir jalan.
"A, A Sidik, tunggu."
Kaki Vanya sampai keluar dari toko untuk mengejar Sidik yang kini sudah melajukan mobilnya meninggalkan toko itu.
"Vanya, siapa itu? Dan bunga siapa yang kamu pegang?" Bu Sonia tiba-tiba sudah berada di depan toko menegur Vanya.
"Ini, Ma. Pria barusan ketinggalan buket bunga di meja etalase. Barusan Vanya mau mengejar, tapi dia keburu pergi." Vanya memberi alasan asal, kalau ia jujur bisa saja mama mertuanya itu tidak suka.
"Oh, ya? Simpan saja dulu di dalam etalase, siapa tahu dia kembali," ujar Bu Sonia memberi ide. Vanya mengangguk. Untung saja mama mertuanya tadi tidak sempat melihat kotak perhiasan yang dia kepal di tangannya yang kini sudah berada di dalam saku roknya.
"Mama tidak lama di sini, Van. Mama ada undangan nikahan anak teman mama. Kamu mama tinggal dulu, ya," ujar Bu Sonia sembari melangkah ke dalam menuju ruang pribadinya, sepertinya ada sesuatu hal yang diambilnya.
Tidak berapa lama, Bu Sonia segera keluar dan berpamitan pada Vanya. "Mama pergi dulu, ya. Assalamualaikum," pamit Bu Sonia, seraya menerima uluran tangan dari Vanya.
"Hati-hati, Ma."
Vanya menatap kepergian mobil sang mama mertua dari dalam toko sembari melambaikan tangan.
"Alangkah kecewanya Mama Sonia seandainya aku membalas dendam pada Bang Dilmar dengan berselingkuh. Mama Sonia dan Papa Harun juga Kak Deby begitu baik sama aku. Jadi, aku tidak pantas mengkhianati kebaikan dan ketulusan mereka. Mereka keluarga terbaikku setelah ibu dan adik-adikku," gumamnya menitikkan air mata.
Vanya kemudian bergegas keluar dari toko seraya membawa buket bunga mawar itu, setelah mendekati tong sampah, Vanya membuang buket bunga mawar itu.
"Maafkan Vanya A, bukannya Vanya tidak menghargai pemberian Aa, tapi Vanya tidak bisa terima ini, karena Vanya sudah milik orang lain."
Vanya membuang buket bunga itu, akan tetapi kotak perhiasan itu tidak ia buang. Jika ada kesempatan, maka ia ingin mengembalikan perhiasan itu kepada Sidik. Entah bagaimana caranya nanti.
"Baguslah dia membuangnya," gumam seseorang dari balik pintu mobilnya yang bersembunyi di balik rimbunya pohon kayu manis di jalan itu.