Letnan satu Bisma Dwipangga patah hati setelah diputuskan oleh tunangannya. Hubungannya yang sudah terjalin cukup lama itu, kandas karena sebuah alasan. Demi sebuah jenjang karier yang masih ingin digapai, dr. Jelita Permata terpaksa mengambil keputusan yang cukup berat baginya.
"Aku ingin melanjutkan studiku untuk mengejar dokter spesialis. Kalau kamu tidak sabar menunggu, lebih baik kita sudahi hubungan ini. Aku kembalikan cincin tunangan ini." Dr. Lita.
"Kita masih bisa menikah walaupun kamu melanjutkan studi menjadi Dokter spesialis, aku tidak akan mengganggu studi kamu, Lita." Lettu Bisma.
Di tengah hati yang terluka dan patah hati, Bu Sindi sang mama justru datang dan memperkenalkan seorang gadis muda yang tidak asing bagi Letnan Bisma.
"Menikahlah dengan Haura, dia gadis baik dan penurut. Tidak seperti mantan tunanganmu yang lebih mementingkan egonya sendiri." Bu Sindi.
"Apa? Haura anak angkat mama dan papa yang ayahnya dirawat karena ODGJ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Kesedihan Haura
Seorang Perawat di sebuah yayasan menghampiri Haura dengan penuh senyum lalu mengajaknya ke sebuah taman di samping yayasan.
“Mbak, mari ikuti saya.” Perawat itu mengarahkan kakinya ke sebuah taman. Di depan sana kurang lebih jarak 50 meter, tengah ada seorang lelaki paruh baya duduk menghadap jalan.
Haura dan Perawat itu mendekati lelaki paruh baya itu. Di sampingnya ada sebuah bingkai foto. Tidak lain merupakan bingkai foto ibunya Haura. Haura menjadi sangat sedih ketika foto itu terlihat olehnya.
Sakit yang diderita sang ayah, mulai terasa sejak meninggalnya sang ibu. Saat itu Haura berusia 14 tahun, dia masih kelas dua SMP. Sang ibu meninggal mendadak, Haura tidak tahu sakit yang dideritanya. Ada yang bilang sesak, jantung dan darah tinggi. Saat itu meskipun usianya sudah remaja, Haura benar-benar belum paham apa yang dirasakan sang ibu.
Selang beberapa bulan meninggalnya sang ibu, musibah lain menimpa usaha sang ayah. Dia ditipu ratusan juta oleh rekan bisnisnya. Uangnya dibawa kabur tanpa sisa. Alfan mengalami depresi, dia stres dan seolah tida ada sandaran setelah meninggalnya sang istri.
Mata Haura mulai menampakkan bening yang berjatuhan, dia tidak kuasa mengenang masa pahit dimasa itu, walau sudah enam tahun berlalu, tapi rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Haura menjadi sebatang kara setelah sang ayah sering pergi tidak karuan dan duduk berdiam diri melamun di pinggir jalan, atau duduk seharian melamun di kuburan sang istri.
“Ayah,” sapa Haura seraya duduk di samping Alfan lalu memeluk tangannya dan bersandar di bahunya. Air mata itu tiba-tiba jatuh tidak tertahankan, padahal tadi Haura sudah berusaha untuk tidak menangis.
Tangisnya pecah di sana, tanpa sadar kalau bahu yang sedang dia sandari merupakan bahu seorang ayah yang masih dalam keadaan mental belum stabil. Haura merasa sendiri, selama ini tidak ada bahu siapapun yang mampu ia sandari jika ia sedang sedih.
Selama ini hidupnya nyaman-nyaman saja, tapi sejak Bisma datang dan sikapnya kurang ramah padanya, Haura merasa sedih. Namun ia hanya mampu menangis sendiri dalam sepinya malam.
Tiba-tiba sebuah tangan menggenggam tangan Haura dengan hangat, mengusapnya penuh kelembutan.
“Ayah,” ujar Haura seraya menyeka air mata yang terlanjur jatuh. Haura mengangkat wajahnya menatap sang ayah yang kini sedang mengarahkan tatap padanya.
Wajah itu begitu teduh, tatapannya seakan menyiratkan sebuah kerinduan.
“Haura datang, Yah. Ayah sehat di sini kan? Nanti kalau Haura sudah punya rumah sendiri, Ayah harus pulang dan tinggal bersama Haura. Ayah harus sembuh, supaya bisa tinggal bersama Haura,” ucap Haura pelan sembari menatap penuh kasih sayang pada Alfan.
“Ha u ra.” Haura tersenyum lalu meraih tangan Alfan dan diciumnya. Walau setiap mendatangi sang ayah, kata yang sering didengar Haura hanya namanya yang diucapkan dengan dieja. Tapi Haura sangat senang.
“Ayah akan tinggal bersama Haura, kalau Haura nanti sudah memiliki rumah sendiri. Makanya Ayah harus sembuh,” ujar Haura lagi seraya terus menggenggam jemari Alfan.
“Ha u ra, Ha ni fa.” Dua kata itu kini terdengar, satu nama Haura satu lagi tentu saja nama mendiang ibunya, Hanifa. Alfan meraih bingkai foto di sampingnya seraya mendekap erat di dadanya. Hanya foto itu yang selalu dibawa dan ditatapnya sembari melamun jauh entah ke mana.
Alfan sekarang sudah tidak seperti pertama kali dibawa ke yayasan ini, dulu sering berteriak dan memukul-mukul, tapi kini keadaannya sudah lebih baik. Bahkan sudah mengingat Haura.
Perawat itu mengajak Haura menjauh dari Alfan lalu berbicara, “Keadaan Pak Alfan sudah mulai membaik, hanya sering bengong dan tatapannya saja yang kosong.”
“Lalu ayah saya kira-kira bisa sembuh totalnya berapa lama lagi Suster?” tanya Haura.
“Kami belum bisa memastikan. Kami perlu observasi lebih lanjut.”
“Mbak sering-sering saja menengok ayah Mbak, karena itu juga bisa membantu proses penyembuhan dan mempercepat memori di otaknya. Harapannya sih secepatnya ayah Mbak bisa cepat pulih dan kembali keadaannya seperti semula,” ujar Perawat itu menjelaskan.
Setelah mendapat penjelasan dari Perawat, Haura memutuskan untuk pulang. Ia berpamitan lebih dulu pada Alfan.
“Ayah, Haura pulang dulu, ya. Nanti besok-besok Haura datang lagi ke sini jenguk Ayah. Ayah harus cepat sembuh supaya nanti kita tinggal bersama,” ucap Haura berpamitan seraya mencium tangan sang ayah.
Alfan hanya menatap sambil mengernyitkan sudut bibir kanan bawah, memberi sebuah senyuman yang jarang ia tampilkan. Haura merangkul Alfan penuh rasa sayang, tidak terasa bening di sudut mata itu sudah mengalir begitu saja.
Haura segera melepaskan Alfan, lalu ia berdiri. Sekali lagi ia mencium kening sang ayah sebelum pulang. Alfan terus menatap Haura sambil menyunggingkan senyum, sepertinya ia bahagia karena sudah dijenguk Haura.
Haura segera menuju motornya di parkiran, motornya segera ia lajukan menuju sebuah taman bukit di kota itu. taman yang biasa Haura datangi sesekali untuk melepas segala kesedihannya di sana. Taman itu tidak hanya sebuah taman. Namun di pinggirnya ada danau buatan yang indah.
Haura tidak tahu bahwa di belakangnya ada mobil Bisma mengikuti. Beberapa saat kemudian, motor Haura tiba di taman bukit, ia memarkirkan motornya di sana, lalu melangkah menuju taman berbentuk bukit, yang di depannya disuguhi pemandangan danau yang indah. Haura menduduki sebuah bangku di sana, tatapnya fokus ke depan.
Haura teringat kembali dengan sang ayah, hatinya sangat sedih dengan keadaan sang ayah yang sampai saat ini masih belum normal. Mungkin kehilangan istri tercinta membuat sang ayah depresi.
“Seandainya ayah tidak mengalami gangguan jiwa, mungkin kini aku hidup hanya berdua dengan ayah saja, tanpa harus jadi seorang anak angkat,” batinnya sembari kembali menangis.
Tepat di belakang Haura, Bisma berdiri dengan perasaan iba. Ternyata gadis yang selama ini selalu dia berikan sikap sinis dan angkuh itu, begitu rapuh. Bisma menyesal karena selama ini sikapnya kurang baik pada Haura.
“Ayo pulang, kenapa harus menangis di sini?” Bisma tiba-tiba meraih lengan Haura dan menariknya.
“Kak Bisma, kenapa Kakak ada di sini?” kejut Haura benar-benar kaget. Buru-buru ia seka air mata di pipinya yang sejak tadi membasahi pipinya.
“Aku mengikuti kamu. Pulanglah, nangislah di pundakku,” ajak Bisma.
“Kakak pulang saja, Haura masih mau di sini.” Haura menolak ajakan Bisma sembari melerai tangan Bisma yang mencekalnya.
“Kalau kamu tidak pulang sekarang, nanti mama dan papa khawatir,” ujar Bisma. Haura tersentak saat Bisma menyebut mama dan papanya. Haura pun bangkit, dia memang harus pulang dan tidak enak jika nanti dibilang keluyuran seperti yang dikatakan Bisma tadi sebelum dia pergi.
“Masuklah ke mobil, kita pulang sama-sama. Motormu biar temanku yang bawa,” ujar Bisma menahan langkah Haura.
“Tidak, Haura mau pulang sendiri pakai motor. Kita pulang masing-masing saja. Kalau barengan, Haura takut kebersamaan kita disalah artikan,” ujarnya seraya berlalu meninggalkan Bisma yang berdiri terpaku mendapat penolakan dari Haura.
“Haura tunggu.”
Haura sudah menyalakan motornya, lalu membunyikan klakson berpamitan pada Bisma bahwa dia pergi duluan.
“Dasar tidak tahu adab, sudah ku ajak pulang bareng, malah duluan,” rutuknya kecewa.
kamu juga sering menghina Haura...
sama aja sih kalian berdua Bisma dan Jelita...😤
🤬🤬🤬🤬🤬🤬
cinta tak harus memiliki Jelita..siapa suruh selingkuh😁😁😁😁
ada ada aja nih jelita 😆😆😆😆😒
gak sia² si Bisma punya mulut bon cabe 🤣🤣🤣🤣
bilang aja kejadian yang sebenarnya...
Bisma salah paham...