Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Repeatedly Longer
Noah mengayunkan Venuszirad sekali lagi, menciptakan portal hitam yang menyedot mereka semua. Dalam sekejap mata, pemandangan Fablohetra yang hancur berganti menjadi interior Kastil Sea Abyss yang megah namun mencekam. Arata, Eika, dan Revalon terikat dengan rantai divine di hadapan singgasana Noah.
Kastil Sea Abyss, berbeda dengan Fablohetra, diselimuti kegelapan abadi. Air laut hitam keperakan mengelilingi kastil, menciptakan pemandangan yang misterius sekaligus mengintimidasi. Pilar-pilar obsidian menjulang tinggi, dihiasi ukiran-ukiran kuno yang menceritakan sejarah para dewa.
Noah duduk dengan angkuh di singgasananya, Venuszirad bersandar di sisi kanan. Matanya yang merah menyala menatap tajam ketiga tawanannya.
"Lihat dirimu sekarang, Arata," Noah mendengus. "Dimana sikap aroganmu yang dulu? Yang selalu menganggap dirimu setara denganku?"
Arata mengangkat wajahnya, menatap Noah tanpa rasa takut. "Aku tidak pernah menganggap diriku setara denganmu, Noah. Kau selalu lebih kuat, lebih bijaksana... setidaknya dulu."
"Dulu?" Noah tertawa dingin. "Sebelum kau membunuh adikku maksudmu?"
"Noah," Eika angkat bicara meski rantai divine membuat suaranya lemah. "Ada yang harus kau ketahui tentang hari itu..."
"DIAM!" Noah bangkit, energi divine-nya membuat seluruh kastil bergetar. "Kalian pikir aku akan mendengar kebohongan kalian? Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri! Arata... pedangnya... darah adikku..."
Noah mengepalkan tangannya hingga kuku-kuku jarinya memutih, matanya berkilat berbahaya. "Kau masih berpura-pura bodoh, Arata? Setelah semua yang kau lakukan pada Exiriazurna Lera? Adikku!"
Keheningan mencekam memenuhi ruangan. Tetesan air dari stalaktit obsidian terdengar bagai dentuman di telinga mereka.
"Aku..." Arata memulai dengan hati-hati, matanya menghindari tatapan Noah.
"LIHAT AKU SAAT AKU BICARA!" Noah menghentak, energi divine-nya membuat rantai yang mengikat Arata berpendar merah. "Ceritakan padaku, Arata... ceritakan bagaimana kau merencanakan pembunuhan adikku. Bagaimana kau melarikan diri seperti pengecut setelahnya!"
Arata mengangkat wajahnya perlahan, ekspresinya bingung. "Aku... tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Noah."
"Oh?" Noah turun dari singgasananya, melangkah mendekati Arata. Setiap langkahnya menggema di lantai obsidian. "Masih mau berpura-pura? Baiklah... biar kuingatkan. Malam festival divine di Fablohetra, saat bulan merah menggantung rendah..."
Revalon berusaha menyela, "Noah, dengarkan dulu—"
"KUBILANG DIAM!" Noah menjentikkan jarinya, membuat rantai divine yang mengikat Revalon mengencang.
"BERHENTI BERPURA-PURA!" Noah mencengkeram leher Arata, memaksanya mendongak. "Aku melihatmu! Pedangmu yang menghunus tubuh Lera! Saat aku telah selesai menyegel Dewi Kehancuran. Dan kau datang menusuk adikku dengan Agroneme, mengincar inti jiwa Dewata Lera. Kau yang melarikan diri seperti pengecut!"
Noah terdiam sejenak, genggamannya pada leher Arata mengendur. Dia kembali duduk menyilangkan kaki penuh angkuh.
Arata tertawa pelan, suaranya serak dan getir. Tawa yang membuat Eika dan Revalon menoleh dengan tatapan tidak percaya.
"Akhirnya..." Arata mengangkat wajahnya, matanya kini berkilat dengan emosi yang selama ini tersembunyi. "Akhirnya aku bisa mengatakannya."
Noah menyipitkan mata, tubuhnya menyandar singgasana, penuh ketenangan layaknya seorang raja. "Apa maksudmu?"
"Ya, Noah. Aku membunuh Lera." Arata mengucapkannya dengan nada datar, tapi ada kepahitan yang dalam di setiap katanya. "Aku membunuhnya dengan Agroneme. Aku mengincar inti jiwanya. Dan aku tidak menyesalinya."
"Arata!" Eika berseru kaget. "Apa yang kau—"
"DIAM!" Arata membentak, membuat Eika tersentak. "Biarkan aku menyelesaikan ini." Dia kembali menatap Noah. "Kau tahu kenapa aku membunuhnya, Noah? Karena tidak adil. TIDAK ADIL!"
"Oh!" Noah tetap diam.
"Kau dengan Gehdonov-mu," Arata melanjutkan, suaranya meninggi. "Pedang legendaris yang bisa mengubah dan menciptakan ulang sejarah sesuka hatimu. Kau bisa mengulang waktu, mengubah takdir, menciptakan realitas baru... sementara aku? aku harus berjuang dengan keringat dan darah untuk setiap pencapaian kami!"
"Kau Noah sungguh diberkahi... Mendapatkan segalanya dengan mudah kau hanya perlu menulis sesuatu yang ingin kau miliki — kekuatan, harta, kekuasaan, kekayaan, Sejarah, takdir, bahkan eksistensi itu sendiri! Tulis saja semua mimpimu menggunakan pedang Gehdonov. Sementara aku harus berlatih bertahun-tahun untuk mencapai level yang sama, sejarah telah berubah dengan system yang baru karena kau Noah," Matanya penuh api Arata mengungkapkan kecemburuan nya selama ini "Pedang Agroneme milikku sekarang, bukanlah pedang pembunuh 1000 dewa perang."
Noah tertawa, tawa yang dingin dan menusuk. "Tidak ada yang aku rubah terkecuali semua telah bertentangan— Di sejarah masa lalu kau begitu kuat Arata dan sangat ambisius menguasai Dimensi utama Holy Arzhanzou, dan sekarang ataupun masalalu aku tidak mengambil apapun darimu Arata kau masih sama, sama kuat."
Mata Arata melebar, kesadaran menghantamnya seperti ombak. "Kau... Melakukan semua itu untuk apa?"
"Untuk melindungi Esensial para Dewa. Tidak bosankah kau Arata selama 1000 abad Pertikaian para dewa utama di langit menghancurkan banyak sekali struktur realitas banyak terbunuh karena pertikaian kita berdua," kata Noah menoleh kearah jendela rasa pahit nya tidak bisa ia sembunyikan "Banyak Dewa utama dan Dewa Minor terlibat dalam pertikaian."
Noah tetap tenang duduk dalam singgasana agung silver kastil yang menghadap ke lautan hitam keperakan. "Di masa lalu, ambisi mu untuk menguasai Holy Arzhanzou membuat kita kehilangan banyak sekali hal penting, kita membantai ribuan jiwa demi menciptakan kehidupan pribadi."
"Bohong..." Arata menggelengkan kepala, namun keraguan mulai menggerogoti suaranya. "Kau berbohong serahkan Gehdonov untukku!"
"Gehdonov bukan hadiah, Arata, aku tidak memiliki nya lagi Gehdonov tercipta dari ribuan pertempuran. Ini adalah kutukan. Setiap perubahan yang kubuat membawa konsekuensi. Setiap goresan takdir baru membawa beban yang harus kutanggung. Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan?"
Arata tertawa pahit, suaranya bergema di ruangan obsidian itu. "Kau pikir aku akan percaya dongeng heroikmu itu? Bahwa kau mengorbankan segalanya demi kebaikan?" Dia mengangkat kepalanya tinggi, matanya berkilat penuh determinasi. "Kau hanya takut, Noah. Takut pada kekuatanku yang sesungguhnya."
"Kau masih belum mengerti," Noah menghela napas berat. "Setelah semua ini..."
"Yang kumengerti adalah kau telah mengubah takdirku sesukamu!" Arata memberontak dalam rantainya. "Kau mengambil masa laluku, mengubah siapa aku sebenarnya. Dan sekarang kau berpura-pura menjadi penyelamat?"
Noah menatap mantan sahabatnya itu dengan pandangan yang sulit diartikan. "Arata..."
"CUKUP!" Arata berteriak, energi divine-nya mulai berkobar meski tertekan oleh rantai. "Aku tidak peduli apa yang terjadi di masa lalu yang kau ubah itu. Yang kutahu adalah kau telah mengkhianatiku sebagai rival sejati, mengubah takdirku tanpa seizinku. Dan untuk itu..." matanya berkilat berbahaya, "...aku akan menjadi musuh abadimu."
"Begitukah pilihanmu?" Noah bangkit perlahan, Venuszirad bergetar di sampingnya merasakan tensi yang meningkat.
"Ya," Arata menjawab tegas. "Lebih baik aku menjadi musuhmu selamanya daripada hidup dalam kebohongan yang kau ciptakan."
Noah mengangkat tangannya. "Kalau begitu, terima konsekuensinya."
*CTIK*
Suara jentikan jari Noah membelah keheningan. Seketika, gelombang energi divine menyebar ke seluruh ruangan, menghantam Arata dengan kekuatan penuh. Rantai divine yang mengikatnya berpendar merah menyala, menyalurkan energi destruktif langsung ke essence dewatanya.
Arata mengerang, merasakan essensinya terkoyak. Rasa sakit yang tak terbayangkan menjalar ke seluruh eksistensinya. Namun, alih-alih menyerah, bibirnya justru membentuk seringai.
"Hanya segini?" dia mendongak, menatap Noah dengan pandangan menantang meski keringat membasahi wajahnya. "Kau pikir rasa sakit ini bisa menghentikanku?"
Eika dan Revalon menatap horror ketika Arata mulai bangkit perlahan, menentang kekuatan divine yang mencoba menghancurkan essensinya.
"Impossible..." Noah bergumam, matanya melebar sedikit.
"Kau lupa satu hal, Noah," Arata berdiri tegak meski rantai divine masih mengikatnya, tubuhnya bergetar menahan sakit tapi matanya memancarkan tekad membara. "Aku mungkin bukan lagi dewa perang yang mampu membunuh 1000 dewa... tapi aku masih Arata. Dan Arata yang kau kenal..." dia mengangkat kepalanya tinggi, "...tidak pernah tunduk pada siapapun!"
Noah menatap mantan sahabatnya sekaligus rival terbaik setidaknya dulu. Di balik ekspresi dinginnya, ada secercah kesedihan yang tak terkatakan. Dia telah kehilangan sahabatnya, sekali lagi, oleh pilihan mereka sendiri.
"Kalau begitu," Noah mengangkat Venuszirad, "mari kita mulai babak baru dari permusuhan abadi kita."
Langit-langit Kastil Sea Abyss bergetar, air laut hitam keperakan di luar bergolak liar, seolah alam sendiri merespons pernyataan perang antara dua dewa yang dulunya bersahabat.