Demi kehidupan keluarganya yang layak, Vania menerima permintaan sang Ayah untuk bersedia menikah dengan putra dari bosnya.
David, pria matang berusia 32 tahun terpaksa menyetujui permintaan sang Ibunda untuk menikah kedua kalinya dengan wanita pilihan Ibunda-Larissa.
Tak ada sedikit cinta dari David untuk Vania. Hingga suatu saat Vania mengetahui fakta mengejutkan dan mengancam rumah tangga mereka berdua. Dan disaat bersamaan, David juga mengetahui kebenaran yang membuatnya sakit hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutrieRose, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 HUBUNGAN MEMBAIK
"Kami mencari seseorang atas nama Temmy. Apa benar beliau tinggal di sini?" Tiga pria berpakaian serba hitam dengan postur tubuh tinggi dan besar tiba-tiba berdiri di halaman rumah.
Dengan cepat Vania menyembunyikan pakaian dalam yang ia tenteng ke belakang punggungnya.
"Hm, iya benar. Kalian ada perlu apa dengan ayah saya?" tanya Vania sembari menatap mereka bertiga bergantian.
Salah seorang diantaranya hanya tersenyum dan kemudian berkata, "Saya teman lama Temmy. Mungkin kalau Temmy melihat wajah saya, dia akan mengenali saya," ujar pria tersebut yang kelihatannya usianya lebih tua dari ayahnya sendiri. Pria dengan badan kekar itu tak bisa menyembunyikan wajahnya yang penuh kerutan walaupun badannya tinggi tegap. Berbeda dengan pria di sebelah kanan kirinya yang masih terlihat sangat muda.
"Tapi jam segini ayah sudah berada di kantor. Tadi pagi sekali berangkat," jawab Vania.
Pria itu hanya mengangguk singkat. "Mohon maaf, nona ini putri pertamanya Temmy?" tanyanya kemudian.
"Sebenernya siapa paman ini? Kalau memang teman lama ayah, kenapa baru sekarang datang? Dan kenapa bisa tahu alamat rumah baru kami? Bahkan saat aku masih kecil, aku tak pernah melihat paman ini berkunjung ke rumah yang lama. Ayah tak pernah didatangi oleh temannya siapa pun itu."
"Nona, putrinya kan? Umur Nona berapa?" Pria itu terus melempar pertanyaan dan Vania masih enggan untuk menjawab.
"Maaf, Paman. Aku mau masuk dulu, suamiku sudah menunggu dari tadi. Paman kesini saja lagi besok sebelum jam 6. Pasti ayah masih di rumah."
Vania langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat. Ia tak mau berinteraksi dengan orang asing yang mencurigakan.
Ketiga pria tersebut masih berdiam diri di sekitar rumah. Seperti mencari-cari sesuatu. Matanya berpendar mengitari seluruh halaman rumahnya. Vania masih berdiri di balik pintu, sembari sesekali melongok dibalik gorden.
"Kenapa la—" David sudah kedinginan dari tadi karna terlalu lama menunggu istrinya mengambilkan pakaian dalamnya. Tapi saat istrinya baru saja masuk ke dalam kamar, ia melihat Vania menenteng pakaian dalam berwarna merah yang ia akui milik Karina.
"Darimana dia mendapatkan itu?"
Istrinya itu dengan santainya masuk dan menjatuhkan begitu saja pakaian dalam berwarna merah ke lantai. Terlihat ia sedang berpikir dalam diam. Ia duduk di pinggiran ranjang dan terdiam sejenak.
"Aduh aku lupa tanya siapa nama paman tadi. Bagaimana nanti kalau mau tanya sama ayah, namanya saja aku gak tahu."
David perlahan mengambil pakaian dalam miliknya yang berada di dalam pouch. Tak perlu lama-lama, ia sudah bersiap untuk berangkat ke kantor.
"Kenapa dia tiba-tiba diam begitu."
David merasa aneh dengan sikap Vania, tapi ia merasa bersyukur karna Vania tak membahas pakaian dalam milik Karina yang tertinggal. Kakinya berusaha menendang pakaian itu agar masuk ke dalam kolong.
"Itu milik Karina? Mantan kamu?" Ekor matanya menangkap pergerakan suaminya.
DEG.
Baru saja ingin menghilangkan barang bukti tapi Vania cepat menyadarinya.
"A-apa?" tanyanya pura-pura tak mengerti.
"Kamu gak takut dosa ya, Mas? Kamu berhubungan badan dengan seorang wanita yang tidak ada status perkawinan. Kamu gak malu? Menjijikkan!" serunya.
David tertawa dalam hati. Ia hanya bisa garuk-garuk kepala, bingung untuk menjawabnya.
"Karina juga istri aku, Vania. Kamu gak tahu aja."
Ia menertawakan perkataan Vania, tapi saat melihat wajah wanita cantik itu entah kenapa dia merasa tak tega. Benar kata Rissa, Vania itu wanita yang lembut, tulus dan polos.
"Aku minta maaf, Vania."
Ucapan maaf yang keluar dari mulut David membuat hatinya berdesir. Ia memasang wajah tak percayanya saat David mengatakan maaf padanya.
"Ma-maaf?" tanyanya tak percaya.
"Iya, aku minta maaf. Aku akan berubah," ucap David walaupun ia merasa kalau itu bukan jawaban yang tepat. Mungkin alasan untuk tidak memberitahu soal status Vania yang merupakan istri keduanya adalah atas permintaan Rissa juga menjaga agar Mamanya tidak drop lagi. Tapi sekarang, ia merasa bahwa rasanya ia tak bisa mengatakan yang sejujurnya soal Karina yang merupakan istri pertamanya.
"Aku harus menyembunyikan pernikahanku dengan Karina. Entah sampai kapan. Mungkin selamanya."
Tiba-tiba David memeluk Vania. Dan tak ada penolakan dari wanita itu. Vania seakan menikmati kehangatan tubuh suaminya yang kekar tersebut.
"Hari ini kita pulang ke rumah utama ya. Mama menyuruh kita untuk tinggal di sana sementara waktu."
Vania mengangguk, ia pun tak keberatan harus tinggal bersama mertua. Bahkan lebih menyenangkan di sana, ia mendapatkan perhatian berkali-kali lipat dari ibu mertuanya.
***
Embun pagi membasahi dedaunan pada tangkai-tangkai bunga yang memiliki kelopak indah. Secercah harapan yang pernah seseorang ucapan, berjalannya waktu terlihat nyata. Cahaya silau yang memancarkan terang, membuat kepalanya mendongak ke atas. Bukan untuk melawan sinarnya, melainkan untuk mengadu betapa ia sedang bahagia hari ini.
"Aku akan pulang cepat hari ini." Pria dingin yang sekarang berubah hangat selalu membuatnya tersenyum setiap hari.
"Kenapa?" tanyanya pura-pura tak mengerti.
"Aku mau membantumu untuk berkemas. Tunggu aku pulang, jangan berkemas sendiri," tuturnya.
"Ada banyak pelayan di sini. Ada Rara juga Andin, mereka berdua—"
"Aku tidak mau kamu dekat-dekat dengan mereka lagi. Kalian harus ada jarak. Kamu Nyonya di rumah ini, jangan terlalu akrab dengan mereka," tegasnya.
Vania hanya bisa mengangguk, ia tak membantah apa pun ucapan suaminya. Ia sudah berjanji akan patuh dan juga berusaha menjadi istri yang berbakti. Mungkin itu salah satu cara agar hubungan mereka harmonis layaknya sepasang suami istri yang berbahagia selalu.
Atas usul dari Rissa, akhirnya David menghendaki untuk berangkat bulan madu ke dua. Tapi kali ini David lah yang memilih tempat dan juga menyiapkan segala sesuatunya tanpa ada campur tangan Rissa. Ia ingin mempersiapkannya sendiri.
Melihat putra dan menantunya jalan bergandeng, Rissa tersenyum penuh haru. Mereka sangat serasi.
"Iya, Sayang. Hati-hati." Rissa melambaikan tangan saat mobil yang ditumpanginya putranya melaju pergi.
Marshel yang masih duduk di teras sembari menyeruput kopinya hanya bisa memandangi istrinya yang tak henti melunturkan senyumannya.
"Kamu bahagia sekarang?" tanya Marshel.
"Ehem." Rissa hanya berdehem dan ingin masuk ke dalam tapi dicegahnya.
"Kamu tahu Karina sudah mengandung, kan? Kita sebentar lagi punya cucu. Bukankah itu yang kamu mau?"
"Iya terus apa masalahnya?" tanyanya balik.
"Kamu gak mikirin perasaan Karina di sana gimana kalau lihat David di sini mesra-mesraan sama Vania? Sedangkan dia—"
"Itu salahnya dia sendiri. Kenapa malah kembali ke luar negeri lagi? Aku sudah bilang di sini aja untuk beberapa bulan ke depan. Tapi dia ngeyel!" omelnya.
"Cepat atau lambat kita harus beri tahu Vania soal status dia yang menjadi istri ke dua. Agar David bisa leluasa membagi perhatiannya. Dan kalau nanti Karina melahirkan, kita gak kucing-kucingan lagi, Ma."
"Kita sudah membahas ini sebelumnya ya, Pa. Mama gak mau ngasih tahu Vania. Aku gak mau Vania kecewa terus minta pisah sama David. Mama gak mau!" tegasnya.
"Kalau pisah memang kenapa? Karina sudah hamil, jadi apa masalahnya?" Marshel sampai tak habis pikir dengan istrinya sendiri. Kepalanya mau pecah karna terus menuruti permintaan istrinya.