Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Dia dari Surga?
"Sudah semua?"
Shanum mengangguk, hingga di hari kepergian mereka, cibiran dan hinaan itu masih terdengar nyata. Tidak hanya dari Umi Martika dan Sabila saja, melainkan tetangga dekat rumah.
Hanya Kiyai Habsyi yang mengiringi kepergiannya dengan air mata. Sisanya hanya pura-pura, ada pula yang tertawa dan menebak-nebak nasib si malang Shanum yang dinikahi pria tak jelas bebet bobotnya itu.
Apa Azkara peduli? Tidak!! Bahkan dia anggap saja tidak. Begitu pamit dan dilepas baik-baik oleh sang mertua, Azkara membawa istrinya ke Jakarta dengan perasaan lega.
Andai saja Shanum tidak diperlakukan layaknya budak, mungkin Azkara akan menunda kepulangannya. Akan tetapi, mengingat perlakuan ibu dan adik tiri istrinya, Azkara mantap pulang walau tidak bisa dipungkiri betah di sana.
Kebetulan mamanya sudah menangis tersedu-sedu dan meminta pulang segera. Lengkap sudah alasan Azkara angkat kaki meninggalkan tanah kelahiran Shanum tepat di hari kedua di sana.
Untuk pulang, Azkara memilih naik bus antar kota. Bukan bermaksud memanipulasi keadaan atau menipu sang istri, akan tetapi jalan tersebut ialah yang paling efektif untuk ia pilih.
Mengingat dia kehilangan dompet yang berisi dokumen penting dan semua uangnya. Hendak menghubungi seseorang yang ada di Jakarta Azka enggan, dia khawatir hal tersebut sampai kepada mamanya dan nanti menjadi petaka.
Jika ditanya dari mana ongkosnya, sudah pasti Azka memberanikan diri untuk meminjam sejumlah uang kepada sang mertua sebagai jalan pintas.
Jarak tempuhnya cukup jauh, dan juga butuh waktu lama. Azkara tahu perjalanan ini akan melelahkan, tapi dia memilih naik Bus juga demi menciptakan momen bersama istrinya.
Sepanjang perjalanan Shanum berdebar tak karu-karuan. Dia tidak tahu bagaimana keluarga suaminya, diterima atau tidak dan masih banyak lagi hal yang mengusik pikiran Shanum.
Sedikit banyak dia bisa menebak, Azkara bukan orang biasa. Akan tetapi, bagaimana keadaan sebenarnya Shanum tidak tahu juga karena memang tidak ada bukti lain untuk menerka-nerka.
Sejak semalam Shanum sama sekali tidak tenang. Jujur saja dia hanya tidur beberapa jam saja. Hal itu terjadi karena tepat jam 01 pagi dia harus bertempur dengan alat dapur, sementara mereka juga tidurnya sudah lumayan larut.
Ditambah lagi, setelah sahur suasana hati Shanum sama sekali tidak tenang hingga dia mencoba menghabiskan waktu dengan melantunkan kalam cinta di ujung malam. Alhasil, setelah setengah perjalanan mereka lewati Shanum mulai menguap dan kantuknya kian tak tertahan.
"Ngantuk?" tanya Azkara seketika membuat Shanum terperanjat kaget.
Dia menggeleng, tapi matanya terlihat begitu merah hingga Azkara menuntun kepala sang istri untuk bersandar di pundaknya.
"Tidurlah, mata kamu merah ... nanti Mama kira aku ngajak begadang semalaman kan bahaya," ucap Azkara lagi-lagi tak segera masuk di otak Shanum.
"Maksudnya?"
Azkara mengulas senyum. "Tidak ada, tidurlah ... kalau sudah sampai aku bangunin."
Tubuh Shanum sudah terlalu lelah untuk berontak. Begitu Azkara perintahkan untuk kedua kalinya, perlahan wanita itu berlabuh mengarungi dunia mimpi.
Bukan sebentar Shanum terlelap, Azkara yang tak henti-hentinya memerhatikan wajah Shanum tahu betul selelah apa istrinya. Azkara hanya melihat sebagian kecil dari kehidupan Shanum, hanya sebentar, tapi dia seolah merasakan luka yang Shanum derita selama bertahun-tahun.
"Jauh banget kuliahnya sampai ke Yaman, padahal jodohmu di Jakarta," gumam Azkara tersenyum tipis, lagi dia merasa lucu dengan takdirnya sendiri.
Bukan berarti dia tidak bisa melupakan cinta pertamanya, tapi tidak bisa Azkara pungkiri bersama Shanum dia merasa seolah dekat dan familiar saja dengan setiap momen yang mereka alami.
Seakan-akan, Shanum datang dan meraih tangannya tatkala Azkara sudah merelakan dan mundur karena merasa tidak pantas mendapatkan seorang wanita shalihah.
Sementara di sisi lain, Shanum justru merasa Azka adalah jawaban dari doa yang selalu dia langitkan. Karena itu dia tidak begitu banyak drama sekalipun harus kehilangan Gus Faaz yang diyakini Kiyai Habsyi akan menjadi imam terbaiknya.
.
.
Jakarta
"Shanum ... Hei, bangunlah, kita sudah sampai."
Cukup lama Shanum terlelap, hampir setengah perjalanan. Dan, walau sudah begitu Shanum masih merasa kurang tidur.
Dia menguap dan sedikit menggeliat hingga sendinya berdetak. "Capek banget ya?" tanya Azka mengulas senyum, tak lupa merapihkan kerudung Shanum yang memang sedikit berantakan.
"Ayo, nanti di rumah tidur lagi, Sayang."
Sayang, jelas dan begitu terang-terangan Azkara mengucapkannya. Bukan dalam rangka membuat Sabila panas karena kini mereka hanya berdua saja.
Shanum tak menjawab, dia lagi-lagi gugup sampai tangannya terasa dingin. Perlakuan Azka di Yogya dan di Jakarta cukup berbeda, lebih hangat dan berani karena kini Shanum sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk melepaskan diri dari genggaman tangan sang suami.
Sepanjang langkahnya, Shanum terus menunduk. Jika di Yogya dia yang melakukan segalanya sementara Azkara duduk manis layaknya anak TK, di tempat ini justru sebaliknya.
Azkara lah yang melakukan segalanya, sejak awal Shanum hanya duduk manis saja. Kebetulan Shanum juga tidak tahu arah, hendak kemana tujuan mereka karena sedikit pun Azkara belum bercerita.
"Nah ini dia," gumam Azka tatkala sebuah mobil hitam yang sejak tadi dia tunggu sudah tiba.
Walau belum tahu siapa yang ada di balik kaca hitam mobil tersebut, tapi Shanum yakin Azkara mengenalnya.
"Lama sekali, kakak dari mana dulu?" tanya Azka ketika pria tampan bertubuh tegap dengan kacamata hitam itu turun dari mobilnya.
"Azkara ... apa aku tidak punya harga diri lagi di matamu?"
Azkara tergelak tatkala CEO Anderson Group itu melontarkan kekesalan berkedok pertanyaan untuknya, Renaga. "Sesekali, apa salahnya?"
Tidak lagi menjawab, pria itu berjalan mendekati Azkara. Tatapannya tak lagi fokus pada Azkara lagi, melainkan wanita cantik yang tengah Azkara genggam tangannya.
"Siapa?" tanya Renaga sampai melepas kacamatanya demi memastikan apa yang dia lihat.
"Shanum ... istriku," ucap Azkara mengenalkan Shanum dengan begitu bangga tepat di hadapan kakak iparnya.
"What? Istri?"
"Iya, tanya padanya kalau tidak percaya."
Alih-alih segera bertanya, Renaga terbahak sampai keluar air mata. Shanum yang melihat hal tersebut bingung tentu saja, dia mendongak dan berharap menemukan jawaban dari sang suami, akan tetapi tidak sama sekali.
"Kenapa tertawa? Lucu?" Azkara menatap kesal pria di hadapannya.
"Ha-ha-ha sebentar, izinkan aku bertanya padanya," ucap Renaga beralih menatap wanita cantik yang Azkara akui sebagai istrinya itu.
"Permisi Nona, apa kamu diancam laki-laki ini?" tanya Renaga menatap Shanum penuh selidik.
Berusaha memastikan tidak ada rantai di tangan atau sebagainya. "Tidak, maksudnya apa ya?" Shanum balik bertanya.
"Jangan takut, Nona, aku akan melindungimu ... cepat katakan, apa dia menculikmu?"
"Kak Aga apasih? Dia memang istriku sumpah!!" Azkara sampai menunjukan dua jarinya sebagai bentuk keseriusan jika dia tidak sedang berbohong.
"Really? Tapi bagaimana bisa? Kau tidak memaksanya agar mau denganmu, 'kan?" tanya Renaga sekali lagi benar-benar ragu dan sempat mengira jika Azka berpura-pura karena mungkin depresi diburu pertanyaan kapan nikah.
"Terserah Kakak saja lah, masukkan kopernya," pungkas Azkara berlalu lebih dulu dan mengajak sang istri untuk masuk.
Sementara itu, Renaga yang sempat dia hubungi semalam untuk menjemputnya di terminal pemberhentian bus masih berusaha memahami apa yang tengah terjadi dengan adik iparnya.
"Dia benar Azka atau arwahnya dari surga?" tanya pria itu mendadak merinding bahkan bulu kuduknya naik semua.
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num