Kara sangat terkejut saat Ibunya tiba-tiba saja memintanya pulang dan berkata bahwa ada laki-laki yang telah melamarnya. Terhitung dari sekarang pernikahannya 2 minggu lagi.
Karna marah dan kecewa, Kara memutuskan untuk tidak pulang, walaupun di hari pernikahannya berlangsung. Tapi, ada atau tidaknya Kara, pernikahan tetap berlanjut dan ia tetap sah menjadi istri dari seorang CEO bernama Sagara Dewanagari. Akan kah pernikahan mereka bahagia atau tidak? Apakah Kara bisa menjalaninya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ririn Yulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dipindahkan?
Sudah tiga minggu berlalu sejak aku kembali dari Jogja, dan sejauh ini hari-hariku berjalan dengan lancar. Setelah percakapanku dengan Mas Saga waktu itu, kami tidak pernah membahasnya lagi. Namun, meskipun baru tiga minggu tidak bertemu, entah mengapa aku sudah merindukannya. Rasa rindu itu muncul begitu saja, meski aku tahu Mas Saga sibuk dengan pekerjaannya yang kadang menyita waktu.
Setiap hari, rasa nyaman menjadi istrinya semakin besar, terutama ketika kami bertemu langsung. Ada rencana bahwa Mas Saga akan menyusulku ke sini, namun, karena ada pekerjaan mendadak di luar kota yang memerlukan kehadirannya secara langsung, rencana itu harus ditunda. Dia bilang, mungkin setelah pulang dari perjalanan bisnisnya, baru dia bisa menyempatkan waktu untuk bertemu.
Saat ini aku sedang duduk di depan layar komputer, sibuk dengan pekerjaanku yang semakin hari semakin banyak. Kulirik jam di layar ponsel, sudah hampir jam istirahat. Aku ingin sejenak melepas penat, namun tahu-tahu, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh ke samping dan terkejut melihat Ibu Adisty berjalan ke arahku. Aku menunduk sopan sambil tersenyum saat beliau mendekat dan menyerahkan sebuah dokumen yang harus segera aku perbaiki.
Namun, sebelum pergi, Ibu Adisty berkata, "Kalau sudah masuk jam istirahat, kamu dan Disha ke ruangan saya, ya. Ada yang ingin saya sampaikan."
Aku dan Disha mengangguk sopan. Setelah Ibu Adisty berbalik, aku dan Disha saling menatap, bertanya-tanya dalam diam.
"Astaga, Ra. Kenapa cuma kita berdua yang dipanggil? Apa mungkin kita bikin kesalahan, lalu Ibu mau memecat kita? Aduh, gimana ini, Ra," ujar Disha dengan nada panik. Begitulah Disha, selalu overthinking.
Aku menarik napas panjang sambil membuka dokumen yang tadi diserahkan oleh Ibu Adisty. "Tenang dulu, mungkin aja Ibu cuma ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Jangan berpikir yang tidak-tidak," ujarku, mencoba tetap tenang, walaupun diam-diam aku juga khawatir apakah tanpa sadar aku membuat kesalahan, mengingat aku cukup sering mengambil cuti.
"Tapi, Ra, ini pertama kalinya Ibu cuma manggil kita berdua, biasanya kan ramai-ramai. Astaga," keluh Disha lagi, wajahnya semakin tampak cemas.
Sambil bekerja, Disha terus mengomel sampai waktu istirahat tiba. Akhirnya, aku dan Disha berjalan menuju ruangan Ibu Adisty dengan perasaan campur aduk. Kami berdua sudah duduk di ruangan itu selama hampir satu menit, menunggu penjelasan dari Ibu Adisty. Saat ini, beliau tengah berbicara di telepon dengan seseorang. Aku tidak bisa mendengar pembicaraan di seberang sana, tetapi dari percakapan yang kudengar sepintas, topiknya terkait kantor dan ada kata "pindah" yang beliau ucapkan.
Tak lama kemudian, Ibu Adisty menutup teleponnya dan beralih menatap kami berdua.
"Oh iya, maaf sudah membuat kalian menunggu," ujar beliau sambil menaruh ponselnya di meja. "Kalian tahu kenapa saya panggil ke sini?"
Aku dan Disha menggeleng pelan karena benar-benar tidak tahu alasan kami dipanggil.
Ibu Adisty menarik napas pelan sebelum melanjutkan perkataannya, membuat jantungku berdebar. "Mulai Senin depan, kalian berdua tidak bekerja di sini lagi."
"APA, BU?!" seru Disha tak bisa menahan keterkejutannya dan langsung berdiri.
"Sha!" Aku segera menariknya untuk duduk kembali. Setelah Disha duduk, Ibu Adisty mengulangi ucapannya dengan tenang. "Mulai Senin depan, kalian berdua memang tidak bekerja di sini lagi."
"Loh, Bu, kami dipecat? Karena apa, Bu? Apakah kami melakukan kesalahan? Tolong maafkan kami kalau tanpa sadar kami melakukan kesalahan fatal," ujar Disha dengan memelas, bahkan sampai menggenggam tangan Ibu Adisty yang ada di atas meja.
Ibu Adisty dengan lembut menarik tangannya dan berkata, "Kalian tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi, yang pasti, mulai Senin depan kalian tidak bekerja di sini lagi."
"Ya Allah, kenapa, Bu? Apa salah kami? Maafkan saya dan Kara, Bu. Kami masih punya kontrak, kan? Kenapa Ibu tega memecat kami begitu saja? Saya belum punya suami yang bisa kasih uang jajan, beda dengan Kara yang biarpun nggak kerja, tetap ada yang menanggungnya," rengek Disha tanpa ragu, membuatku malu melihat tingkahnya.
"Duh, Ibu, nggak kasihan lihat saya nangis?" tambahnya lagi.
Ibu Adisty menarik napas panjang. "Sudah ya, dengarkan saya dulu. Jangan sampai kalian salah paham."
"Bagaimana saya bisa—"
Aku segera mencubit Disha agar dia diam dan tidak memotong pembicaraan Ibu Adisty. Meski dia mengeluh kesakitan, aku tetap mencubitnya, yang penting dia bisa diam.
"Baik, dengarkan saya. Kalian berdua memang mulai Senin depan dan seterusnya tidak akan bekerja di sini lagi," kata Ibu Adisty, lalu memberikan jeda sebelum melanjutkan. "Tetapi bukan karena kalian dipecat, melainkan karena kalian akan dipindahkan ke cabang lain."
"Apa, Bu? Jadi saya dan Kara tidak dipecat?" tanya Disha, tampak begitu senang.
Ibu Adisty mengangguk. "Benar, kalian ngga dipecat, tetapi dipindahkan ke cabang lain. Makanya, dengarkan dulu sampai saya selesai bicara, supaya ngga salah paham."
"Kalau boleh tahu, Bu, kenapa kami dipindahkan? Dan kami akan dipindahkan ke mana?" tanyaku.
"Alasannya karena kantor cabang kedua kita di Jogja kekurangan dua karyawan. Mereka belum menemukan orang yang cocok untuk posisi tersebut. Kebetulan saya mengingat bahwa kalian berdua asli Jogja. Daripada kalian jauh dari keluarga, apalagi Kara yang baru menikah, saya mengusulkan nama kalian untuk dipindahkan ke sana," jelas Ibu Adisty panjang lebar.
Aku mengangguk, menyimak penjelasan dari Ibu Adisty dengan saksama.
"Jadi, untuk minggu ini, saya tidak akan menambah pekerjaan baru untuk kalian. Tapi, pekerjaan yang belum selesai tolong diselesaikan, ya."
"Ya ampun, Bu, terima kasih sudah mengusulkan kami untuk pindah ke Jogja. Kami jadi ngga perlu jauh-jauh lagi dari keluarga," ujar Disha, tampak sangat bahagia.
"Tapi saya sedih harus meninggalkan kantor ini, Bu. Belum tentu rekan-rekan kerja dan atasan di sana akan sebaik Ibu," katanya lagi dengan nada sendu.
Ibu Adisty tersenyum. "Tenang saja, di tempat baru kalian nanti suasananya tidak akan jauh berbeda. Bedanya, tidak ada saya yang mengomeli kamu kalau datang terlambat, Disha."
Disha langsung memperlihatkan wajah sedihnya. "Iya, Bu, kenapa nggak sekalian Ibu juga dipindahkan ke sana, biar kita tetap bersama-sama, cuma ganti suasana saja."
Aku langsung memotong, "Yang benar saja, Sha. Kalau begitu, kenapa tidak sekalian gedung kantornya juga dipindahkan ke Jogja?"
Ucapan itu membuat kami bertiga tertawa lepas. Setelah itu, kami mengobrol beberapa saat, bernostalgia tentang hal-hal lucu yang akan selalu kami kenang. Walaupun nanti, entah kapan lagi kami bisa bersama-sama bekerja dalam satu gedung yang sama, kami tahu momen ini akan selalu terpatri di hati.
Malam itu, setelah kembali ke apartemen aku terdiam sambil merenungi kabar ini. Aku senang akhirnya bisa lebih dekat dengan keluarga dan Mas Saga. Namun, ada juga sedikit keraguan—mampukah aku beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru? Bagaimanapun juga, kantor saat ini adalah tempat di mana aku tumbuh dan belajar banyak.
Aku merenungkan kembali percakapan tadi, khususnya ketika Bu Adhisty menyebut alasan pemindahan kami. Ini memang kesempatan yang tidak terduga, kesempatan untuk membuktikan diri di tempat baru dan mungkin juga untuk lebih fokus pada kehidupan pribadiku dengan Mas Saga. Aku berharap dengan pindahnya aku ke Jogja, kedekatan kami bisa terjaga. Perasaan ini seakan mengingatkanku pada awal perjalanan karierku, perasaan campur aduk antara semangat dan sedikit rasa takut.
Di tengah lamunanku, ponselku berbunyi. Kulihat ada pesan masuk dari Mas Saga, menanyakan kabarku. Aku tersenyum kecil, merasakan kehangatan yang ia berikan meski dari jauh. Kurespon pesan itu dengan kabar bahwa aku akan segera kembali ke Jogja untuk waktu yang lama. Mungkin ini takdir yang sudah diatur agar kami lebih dekat. Dan setelah membaca pesanku, Mas Saga tanpa ragu langsung menelponku. Aku pun segera menjelaskan semuanya yang membuat dirinya sangat senang.