Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Getih Dibayar Getih
Wajah Shaka tampak serius, tampak berat dengan beban yang ia pendam. Tak ada cahaya bahagia, hanya kerutan kecil di keningnya yang menyimpan rahasia yang bergejolak. Sementara itu, Kusuma, yang bersembunyi di balik jendela, menajamkan pendengarannya, mencoba mencuri percakapan antara Dokter Shaka dan Dokter Lista. Ketika ia sedang asyik menyimak, tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh bahunya. Kusuma tersentak dan berbalik. Detak jantungnya berdentum keras seakan ingin melompat keluar saat mendapati Dokter Lista berdiri di belakangnya, wajahnya sedikit samar dalam bayangan.
"Kenapa kamu ngintip seperti itu?" suara Dokter Lista terdengar lirih namun menusuk, seakan tak memberi Kusuma ruang untuk sembunyi.
"Maaf, Dok. Saya… penasaran," jawab Kusuma, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya.
"Penasaran kenapa?" Dokter Lista bertanya dengan nada rendah, sementara kedua tangannya berkacak pinggang, tatapannya seperti elang yang siap menerkam.
"Saya melihat ada yang tak wajar dengan Dokter Shaka," ucap Kusuma, suaranya bergetar.
"Baiklah, sekarang ikut masuk," jawab Lista, memotong ketegangan.
Begitu masuk, Shaka menatap mereka dengan ketidaksukaan yang terpancar dari matanya, seperti api yang menolak untuk dipadamkan.
"Kenapa membawa dia masuk, Dok?" tanya Shaka, suaranya sedikit gemetar.
"Kusuma adalah asisten saya, Shaka. Jika saya tak ada, dia yang akan menggantikan saya," jelas Lista dengan nada dingin, seolah menegaskan kewenangannya.
"Kusuma, jelaskan padaku, apa yang kau lihat," perintah Dokter Lista, pandangannya tak lepas dari Shaka.
Kusuma menatap tajam ke arah Shaka, tatapan matanya bagaikan pintu yang terbuka menuju dunia tak kasat mata. Di sana, ia mencoba berinteraksi dengan dua sosok samar yang berdiri di sisi Shaka—dua wanita dengan aura kelam, seperti bayangan yang terperangkap di antara masa lalu dan masa kini.
Salah satu dari mereka, mengenakan kebaya Jawa berwarna pudar dengan rambut tersanggul rapi, melangkah maju mendekati Kusuma. Wajahnya kaku, terpahat oleh waktu, seperti patung kuno yang hidup kembali. Suaranya meluncur lirih, namun setiap katanya terasa berat, seakan membawa ribuan rahasia yang tak pernah terucap.
"Kowe sopo, Nduk?" tanyanya, nada bicaranya lembut namun menohok, seperti angin malam yang menyelinap ke tulang sumsum.
"Saya Kusuma!" jawabnya dengan suara gemetar, seolah angin dingin menyelusup ke tulang belulangnya.
"Ora usah ikut campur, iki memang wes nasib e bocah e kudu nampa karmane leluhur e. Perjanjian Sing wes disepakati ora isa diubah maneh. Getih yo kudu dibayar getih!" suara wanita itu terdengar seperti bisikan yang tajam.
Setelah kata-kata itu, tubuh Kusuma merasuki energi yang kuat. Dia terlepas dari mediumisasi, dan tiba-tiba ia merasa mual yang luar biasa hingga muntah hebat.
"Bagaimana, Kusuma?" tanya Dokter Lista, suaranya lembut, tapi menyimpan ketegangan yang tak tersampaikan.
"Mereka bilang, kita tak boleh ikut campur. Dokter Shaka harus membayar karmanya, Dok… darah harus dibayar dengan darah,” jawab Kusuma, tatapannya kosong, seakan masih berada dalam genggaman dunia yang tak kasat mata.
Dokter Shaka tersentak, tak menduga bahwa Kusuma memiliki kemampuan berinteraksi dengan makhluk tak kasat mata. Wajahnya memucat, seakan bayangan kelam di masa lalunya kembali menghantui, membuat jantungnya berdebar seperti genderang perang yang tak terlihat.
"Dokter Shaka, jangan khawatir. Saya akan mencoba membantu Anda, melepaskan Anda dari rantai karma ini," ujar Lista, suaranya lembut seperti embun yang mencoba mendinginkan kegelisahan Shaka.
Namun, Kusuma kembali merasakan kehadiran satu sosok lain, bayangan lain yang lebih gelap, seakan mencerminkan luka yang pernah tertoreh.
"Ada satu sosok lagi yang mengikutinya. Seperti arwah gentayangan. Sepertinya, Dokter Shaka pernah mengkhianati seorang perempuan," ucap Kusuma, mengalirkan kata-kata dengan tatapan dalam yang seolah langsung menuju ke inti ketakutan Shaka.
"Sudah cukup!" potong Lista, suaranya tajam memecah suasana. Dia menatap Shaka dengan tegas, mencoba mengambil kendali situasi.
"Saya akan membantu semampu saya, Dok," lanjut Kusuma, suaranya pelan namun penuh tekad.
"Kita harus menyudahi ini sekarang, ada urusan yang harus saya selesaikan," kata Lista, sambil beranjak, menata berkas di meja dengan ketenangan seorang pengendali.
Shaka mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa takut di balik topeng tenangnya, namun matanya masih dipenuhi bayang-bayang.
"Bagaimana dengan saya, Dok? Haruskah saya tetap di sini untuk mencegah mereka mengganggu jam kerja saya?"
Dokter Lista menatap Shaka dengan serius, "Dokter, Anda mendengar apa yang dikatakan Kusuma. Saya akan berusaha mencari cara."
Shaka menurut, meski kekecewaan tampak di matanya yang cemas, seolah hatinya mulai tenggelam dalam kekosongan.
"Apa yang kau ucapkan benar?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
Kusuma mengangguk kecil. "Silakan dokter merenungkannya. Saya permisi."
Shaka hanya bisa menatapnya pergi dengan gerutu pelan. "Sombong sekali anak ini," gumamnya.
Dalam langkah-langkah ringan menuju rumah bunga, Kusuma tak sengaja berpapasan dengan Bilqis, yang terpancar dari senyumnya bak kelopak bunga yang baru tersentuh sinar matahari pagi. Ada kebahagiaan yang terang benderang di wajahnya, hingga menghangatkan sekitar.
“Kusuma! Kamu lihat Dokter Shaka nggak?” tanyanya, matanya berbinar penuh harap.
"Bil-" Kusuma tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Bilqis sudah berlari cepat, seperti anak panah yang meluncur langsung ke arah hatinya yang terjerat—Dokter Shaka yang berjalan tepat di belakang Kusuma.
Melihat Bilqis berlari dengan bahagia, Kusuma hanya bisa terdiam, sembari hatinya menjerit pelan. Rasa sedih menyelimutinya seperti kabut pagi yang pekat. "Bilqis... kenapa kamu harus jatuh cinta padanya,” batin Kusuma lirih, matanya mengikuti mereka dengan tatapan nanar, bagai menatap burung yang terbang menjauh, meninggalkan sangkar kosong.
Di balik sosok Shaka yang terus berjalan, sosok wanita berambut panjang terus mengikutinya tanpa suara. Dia adalah bayangan dari masa lalu yang tak terjelaskan, dengan tatapan kosong yang seolah mengiris Kusuma saat mencoba bicara dengannya. Namun, wanita itu hanya diam, bagaikan sosok bisu yang tak pernah akan menjawab.
“Bilqis, aku ngantuk banget. Aku duluan, ya!” ucap Kusuma dengan suara pelan, namun Bilqis sudah larut dalam dunianya bersama Shaka, tak menyadari kepergian sahabatnya. Kusuma pun melangkah pergi, membawa seberkas rasa perih yang semakin pekat.
Sementara itu, Dokter Lista muncul dari balik lorong, memanggil Shaka dengan suara tegas, "Shaka, tunggu!"
“Iya, Dok.”
“Malam ini kamu menginap saja di sini. Surabaya-Magelang itu perjalanan yang sangat panjang. Beristirahatlah. Esok baru kau bisa melanjutkan perjalanan dengan lebih aman.”
“Terima kasih, Dok,” ucap Shaka, menunduk ringan, merasa ada hangat kecil di tengah malam yang panjang.
Sore harinya, sekitar pukul 17.30 WIB. Senja menyapu langit dengan semburat jingga dan ungu, seolah-olah malam tengah menggulung hari dalam sapuan lembutnya. Dari balik jendela kamarnya, Kusuma terpaku, menatap panorama yang indah namun sementara, seperti lukisan yang sebentar lagi akan disembunyikan tirai gelap malam. Ia bangkit dari tempat tidurnya, merasakan helaan angin yang tiba-tiba datang menyapa dengan dinginnya, bagai tamparan halus yang membuat bulu kuduknya meremang. Seketika, Kusuma menutup jendela, melindungi dirinya dari hembusan angin yang menggigilkan.
Begitu keluar dari kamar, jantungnya nyaris berhenti saat melihat sosok wanita berambut panjang berdiri diam di depan pintu, matanya kosong namun seolah menyiratkan ribuan kisah yang tak bisa diungkapkan.
"Astagfirullah, dasar demit!" Kusuma berdesis kesal, mengusirnya dengan pandangan tajam.
"Pergi! Jangan ganggu aku lagi!" Namun saat langkahnya hendak menjauh, suara sayup terdengar memanggil, merayap masuk ke telinganya dengan nada penuh pilu.
“Tolong aku!”
Penasaran mengalahkan takutnya. Kusuma berhenti, membalikkan badan, dan mendekat, menatap sosok itu dengan sedikit iba.
"Apa yang bisa kubantu?" Suaranya keluar lembut, mencoba meraih sosok hantu yang tampak tersesat dalam dunianya sendiri.
Tiba-tiba, suara berat seorang pria terdengar dari belakang, memecah keheningan.
"Bantu apa?" Kusuma tersentak, dan mendapati Dokter Shaka berdiri di sana, menatap dengan senyum kecil yang misterius.
“Dokter Shaka!” Kusuma terpana, bingung dan tak percaya.
"Kaget, ya? Malam ini aku akan tidur di rumah bunga. Baru besok aku pulang,” kata Shaka dengan nada santai, seolah tak menyadari atmosfer mencekam yang baru saja terjadi. Kusuma menatapnya, berusaha mengatur debar jantungnya.
"Oh begitu…" balasnya pendek, masih memproses kehadiran tak terduga pria itu.
Shaka menatapnya, dan dengan senyum simpul bertanya, "Kenapa? Kamu gak suka aku di sini?" Ada nada menggoda dalam suaranya, membuat Kusuma sedikit tergelitik namun menahan senyum.
"Kenapa Dokter bertanya begitu? Harusnya saya yang balik bertanya pada Dokter," jawabnya, pandangannya menusuk lembut, mencoba menyembunyikan rasa gemuruh yang entah dari mana datangnya.
Di balik senyumnya, Shaka membatin, “Entahlah, Kusuma. Kenapa aku selalu ingin sekali berdebat denganmu?” Namun, Kusuma sudah berbalik, berjalan menjauh ke kamar mandi, meninggalkan Shaka sendirian di ruang tamu, bertanya-tanya tentang makna tersembunyi di balik percakapan dan keheningan di antara mereka.
Beberapa menit kemudian, Kusuma keluar dari kamar mandi, membawa aroma segar yang menyatu dengan keharuman kopi yang baru saja diseduhnya. Dengan hati-hati, ia menuangkan kopi itu ke dalam dua cangkir, uapnya naik perlahan seperti nyanyian hangat di malam yang dingin.
“Silakan diminum!” ucapnya, seraya duduk di sofa, meletakkan cangkir di meja sambil matanya memandangi Shaka yang sedang asyik menatap layar laptopnya.
Shaka menoleh, tersenyum kecil, “Terima kasih,” balasnya sambil mengambil cangkir kopi itu, menyesap pelan seolah ingin membungkus malam ini dengan keheningan yang tenang.
Namun, Kusuma tiba-tiba mengajukan pertanyaan yang memecahkan suasana, seakan melempar kerikil ke dalam danau yang tenang. “Hantu itu... dia mantan kekasihmu, bukan?”
Shaka terdiam sejenak, dahinya berkerut. “Maksud kamu?”
“Namanya Deby, kan?” Kusuma menatapnya, matanya tajam dan dalam, seolah menembus batas dunia ini untuk melihat sesuatu yang lebih.
Shaka menelan ludah, sedikit gemetar. “Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Arwahnya ada di sini,” Kusuma berbisik, suaranya mengalun rendah, hampir seperti bayang-bayang yang menyusup ke dalam ruangan.
Merasa ketakutan menjalar, Shaka tak bisa menahan dirinya. Ia segera bergerak, duduk di samping Kusuma, begitu dekat sampai Kusuma bisa merasakan napasnya yang tak beraturan.
Bilqis yang baru saja pulang, hatinya seperti kaca yang retak melihat kedekatan antara Kusuma dan Shaka. Rasa rindu dan cemburu bertabrakan, membentuk perasaan yang menyesakkan. Tanpa mengucap sepatah kata, ia langsung melangkah masuk ke dalam kamarnya, seperti burung terluka yang memilih menyendiri di sarangnya.
Kusuma menyadari perubahan itu, perlahan melepaskan genggaman tangan Shaka yang tadi menempel erat di lengannya. Tepat saat itu, Rafka muncul, melangkah cepat dengan ketakutan di wajahnya, lalu masuk ke kamarnya yang berada di seberang kamar Bilqis. Namun Kusuma mengabaikannya, fokusnya hanya pada satu hal: Bilqis.
"Bilqis!" sapanya pelan, membuka pintu kamar temannya dengan hati-hati.
Bilqis menatapnya, wajah ayunya kini penuh amarah yang tak disembunyikan. Tidak ada senyum, hanya tatapan yang dingin dan penuh tanda tanya. Hening sejenak menyelimuti mereka.
"Kamu marah padaku? Aku... aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Shaka," Kusuma mencoba menjelaskan, suaranya setenang mungkin, seolah menahan gelombang yang siap menghantam.
"Lalu bagaimana kamu bisa sedekat itu dengannya? Bahkan aku, yang sudah sekian lama mengaguminya, tak pernah punya kesempatan seperti itu," jawab Bilqis lirih, duduk di ranjangnya, gelisah dan cemburu merayap di wajahnya, seakan-akan kata-kata itu adalah duri yang mencabik hatinya sendiri.
Tiba-tiba terdengar panggilan, “Kusuma!” Suara Shaka menggema dari balik pintu. Dengan langkah gontai, Kusuma membuka pintu dan mendapati Shaka telah rapi, siap untuk pergi.
“Dokter mau ke mana?” tanyanya, mencoba menyembunyikan kegundahannya.