Terpaksa Menikah
Pov Kara
Nama ku Lengkara Prasatya gadis berusia 23 tahun, semenjak aku lulus kuliah sekitar 2 tahun yang lalu aku memutuskan mencari kerja ke Jakarta yang kebetulan aku mendapat tawaran langsung disana. Usia ku yang sudah mulai terbilang matang untuk menikah tak membuat aku tertarik menjalani hubungan berumah tangga untuk saat ini.
Karena, aku berkeinginan menjadi wanita karier dan usia 23 tahun belum masuk target ku untuk menikah. Lebih tepatnya aku belum siap berumah tangga, belum siap untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Tapi, orang tua ku terus saja mendesak ku agar cepat menikah. Sebenarnya sudah ada beberapa laki-laki yang mengajak ku untuk berumah tangga tapi mereka tidak masuk di kriteria ku, pun aku benar-benar belum memikirkan untuk menikah secepat itu.
Jarak antara Jakarta ke Yogyakarta, tempat tinggalku yang hanya memakan waktu kurang lebih 1 Jam 30 menit jika naik pesawat tak membuat aku sering pulang kampung. Setahun aku hanya pulang dalam sekali atau dua kali tidak lebih.
Alasannya karna aku banyak pekerjaan dan tak bisa mengambil cuti begitu saja. Memutuskan hanya pulang di saat lebaran dan tahun baru saja. Apalagi perusahaan yang aku tempati bekerja bergerak di bidang Skincare, tak banyak hari libur tentunya.
Pulang di sore hari sudah menjadi rutinitas ku selama 2 tahun terakhir ini. Tapi, untuk hari ini aku pulang di saat jam sudah menunjukkan 18:39 WIB karna menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk. Rasanya badan ku benar-benar lelah seharian duduk di depan komputer, tapi aku butuh membersihkan diri terlebih dahulu untuk bisa beristirahat dengan tubuh yang nyaman di kasur empuknya. Pun perut ku sudah kelaparan ingin segera di isi oleh makanan-makanan.
"Hari ini benar-benar nguras tenaga, cape banget duduk terus dari pagi sampai malem," keluhku menidurkan diri di kasur.
Setelah merasa sudah tidak terlalu lelah aku putuskan untuk mandi terlebih dahulu, baru setelah itu aku akan memutuskan memasak atau gofood. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk aku mandi dan selesai berpakaian. Karna, malas memasak dan aku sudah sangat lapar akhirnya aku memutuskan untuk gofood saja. Butuh waktu 15 menit akhirnya makanan yang aku pesan sudah tiba.
Aku makan malam dengan menyalakan tv agar tak terlalu hening. Selesai makan aku langsung mencuci peralatan makan yang baru saja ku pakai agar tidak menumpuk dan menjadi pekerjaan besok pagi. Aku kembali duduk di sofa yang tadi ia duduki dan membuka ponselnya. Bertepatan dengan itu Ibuku di kampung menelfon.
"Wa'alaikumusalam, kenapa bu?" tanya ku bersabar di sofa.
"Kamu udah pulang?" tanya sosok suara yang sangat aku rindukan di sebrang sana.
"Iya, udah makan juga. Ini lagi nonton tv doang, " jawab ku memfokuskan pandangannya pada layar 45 inci yang menempel di dinding.
"Ibu sama ayah sehat?" tanya ku ingin mendengar kabar orang tuanya. Sebenarnya hampir tiap malam aku bertelponan dengan Ibu tapi karna jauh aku terus menanyakan hal yang sama setiap hari.
"Iyaa, alhamdulillah sehat. Adek mu juga udah mulai ga nakal. Udah ga terlalu keluyuran kalau malam."
"Harus itu, Adnan udah kelas dua belas. Gak baik kalau dia mainnya kelayapan mulu. Dia harus fokus belajar buat masuk di Universitas Negeri."
"Hm... Ra! Ibu mau ngomong sesuatu," suara Ibuku terdengar ragu-ragu.
"Iya, ngomong aja. Kara dengerin kok."
"Kalau ada laki-laki yang tiba-tiba datang kerumah lamar kamu apa kamu terima?" tanya Ibuku disebrang sana.
"Ini perumpamaan kan? Ibu gak niat jodohin aku kan?" tanya ku merasa was-was.
"Sebenarnya ada laki-laki yang baru aja lamar kamu tadi..."
"Terus gimana? Ibu sama Ayah tolakan? Aku udah pernah bilang lho aku masih mau sendiri, belum kepikiran nikah di umur segini. Minimal dua puluh lima tahun lah, udah cocok kalau umur segitu..."
"Maafin Ayah sama Ibu ya, Ra..." suara Ibuku terdengar parau dan sangat-sangat menyesal.
"Hah? Maaf kenapa bu? Ibu gak punya salah!!"
"Kami terima lamarannya tanpa sepengetahuan dan persetujuan kamu..."
"APA BU!!!"
Kara reflek berteriak dan hampir menjatuhkan ponselnya. Ia kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
"Ibu bercanda kan? Aku gak percaya!! Kalau cuman mau Kara pulang secepatnya, iya Kara bakal usahain bulan depan. Kalau bulan ini belum bisa." Aku berusaha untuk tetap berpikir positif. Ibuku pasti hanya bercanda, itu hanya sebagai ancaman agar aku segera pulang. "Besok baru aku usulin buat minta cuti ya bu?"
"Ibu gak bercanda, nak..."
"Ibu, Kara tau Ibu bohong. Jadi ga usah bercanda lagi, Kara gak suka dan bakal usahain pulang secepatnya."
"Orang yang lamar kamu anaknya sahabat ayah, pak Dewa yang pernah nawarin kamu kerja di perusahaannya, Dewaganari grup."
"Ibu!!"
"Kamu pulang secepatnya ya nak, maafin Ayah sama Ibu yang ngambil keputusan tanpa nanya ke kamu dulu. Bukannya kami gak mikirin perasaan kamu, tapi kami malu kalau mau nolak lamaran mereka. Apa kata orang nanti, mereka bakal nganggap kita pemilih-milih dan terlalu sombong. Apa lagi sudah ada beberapa lamaran sebelumnya yang kita tolak."
"Kita cuman keluarga sederhana, Ibu terlalu malu untuk bilang tidak," kata Ibuku terdengar parau.
"Ibu!! Kalian gak mikirin perasaan aku? Kalian cuman mikirin omongan orang???" tanya ku yang tanpa sadar sudah menetaskan air mata.
"Setidaknya Ibu ngabarin dan tanyain ke aku, bukannya ngambil keputusan gitu aja!! Aku yang di lamar Bu! Aku yang bakal jalanin!! Kenapa kalian seenaknya ngambil keputusan!" Aku semakin menangis memikirkan orang tua ku tak memikirkan perasaan ku sedikit saja.
"Maafin kami, nak..."
"Kalian semua egois! Emang kenapa kalau kalian nolak? Nolak secara baik-baik itu gak burukkan??" cecar ku tak habis pikir.
"Halo! Kara ini Ayah..."
"Apa? Ayah mau ngomong apa? Mau ngomong kalian terpaksa ngambil keputusan sendiri tanpa mau tanya ke Kara dulu??"
"Kamu dengar, sebelum-sebelumnya saat ada yang datang kerumah lamar kamu, kami masih bisa tolak secara baik-baik. Kamu ingat sudah lebih dari lima laki-laki yang datang kesini yang kami tolak dan itu demi kamu."
"Apa kata orang nanti kalau kami nolak lagi, apa lagi ini bukan keluarga biasa. Mereka keluarga terpandang, kamu tau perusahaan manufaktur yang terkenal itu? Anak mereka yang datang lamar kamu dan dia juga bukan orang lain, tapi sahabat ayah."
"Kalau kali ini kami kembali nolak, tetangga bakal beranggapan banyak dan mikir kita terlalu sombong, terlalu bangga karna banyak laki-laki yang sudah kita tolak. Apa lagi ini anak pak Dewa."
"Kalian lebih mentingin rasa malu daripada aku???"
"Terserah kamu Kara. Ayah sudah capek dan sudah terlalu malu karna omongan tetangga. Kamu pikir hidup kami disini baik-baik saja? Hampir setiap hari kamu yang di omongin di sini asal kamu tau."
"Yasudah kalau memang kamu gak mau pulang gapapa. Karna ada atau gak adanya kamu disini pernikahan tetap berlanjut. Kita tetap bisa melanjutkan akad yang penting ada wali."
"Ayah!!"
"Dua minggu lagi kamu bakal nikah, kalau masih nganggep kamu punya orang tua dan keluarga disini secepatnya kamu pulang. Sudah cukup selama ini kami yang selalu nurut kekamu. Sekarang giliran kamu yang nurut ke kami!!"
"Ayah tutup. Assalamu'alaikum."
Aku tak berniat menjawab salam Ayahnya dan membiarkan panggilan di akhiri begitu saja di seberang sana. Dengan pandangan kosong aku terdiam beberapa saat mencerna ini semua. Kemudian tangisan ku langsung mengisi apartemen ini yang sebelumnya terdengar tv menyala.
"KALIAN SEMUA EGOIS!!"
"KALIAN NGAMBIL KEPUTUSAN GITU AJA TANPA NGELIBATIN AKU. PADAHAL AKU YANG DI LAMAR TAPI AKU KAYA ORANG BODOH YANG GAK TAU APA-APA!!!" aku berteriak histeris seperti orang yang kesetanan.
"HAHA LUCU, KALIAN LUCU SAMPAI SETEGA INI SAMA AKU. KALIAN LEBIH MENTINGIN OMONGAN TETANGGA DIBANDING ANAK KALIAN."
"Oke! Kalau kalian gak nganggap aku dan pikirin perasaan aku. Aku juga bisa!! Aku juga bisa nganggap pernikahan ini gak ada dan gak mikirin perasaan kalian."
Malam semakin larut tapi aku belum juga berhenti menangis. Menyesali dan menyalahkan semuanya. Menganggap orang tua ku terlalu egois.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments