Alyssa, seorang gadis dari keluarga sederhana, terpaksa menerima pernikahan dengan Arka, pewaris keluarga kaya raya, demi menyelamatkan keluarganya dari krisis keuangan. Arka, yang memiliki masa lalu kelam dengan cinta pertamanya, juga tidak menginginkan pernikahan ini. Namun, tuntutan keluarga dan strata sosial membuat keduanya tidak punya pilihan.
Dalam perjalanan pernikahan mereka yang dingin, muncul sebuah rahasia besar: Arka ternyata memiliki seorang anak dari cinta masa lalunya, yang selama ini ia sembunyikan. Konflik batin dan etika pun mencuat ketika Alyssa mengetahui rahasia itu, sementara ia mulai menyadari perasaannya yang kian berkembang pada Arka. Di sisi lain, bayangan cinta lama Arka kembali menghantui, membuat hubungan mereka semakin rapuh.
Dengan berbagai pergulatan emosi dan perbedaan kelas sosial, Alyssa dan Arka harus menemukan jalan untuk berdamai dengan masa lalu dan membuka hati, atau memilih berpisah dan meninggalkan luka yang tak terobati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ansel 1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian yang Mulai Tumbuh
Pagi itu, Alyssa terbangun dengan perasaan yang tak enak. Kepalanya pusing, tubuhnya terasa lemas, dan suhu badannya naik. Ia mencoba bangkit, tapi kepalanya berputar, memaksanya kembali berbaring. Baru saja ia memejamkan mata, terdengar ketukan pintu kamar.
“Alyssa,” suara Arka terdengar di balik pintu.
Alyssa mencoba menjawab, tapi suaranya serak. Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka, dan Arka masuk, menatapnya dengan alis berkerut. Ia terlihat sedikit khawatir, meskipun ekspresinya tetap datar seperti biasa.
“Kamu sakit?” tanyanya singkat.
Alyssa mengangguk lemah, merasa tak mampu untuk bicara. Dengan cepat, Arka berbalik keluar kamar, meninggalkan Alyssa sendirian. Meski begitu, Alyssa tidak merasa sakit hati; ia tahu Arka bukan tipe orang yang mengekspresikan perhatian dengan mudah.
Tak lama kemudian, Arka kembali membawa segelas air dan beberapa obat. Ia meletakkannya di meja samping tempat tidur, lalu membantu Alyssa bangkit perlahan agar bisa minum obat. Gerakannya hati-hati, seolah ia berusaha agar Alyssa merasa nyaman. Meskipun tidak ada kata-kata manis yang terucap, perhatian kecilnya membuat hati Alyssa bergetar.
“Aku akan membawakanmu bubur nanti,” ujar Arka sambil membereskan selimut Alyssa agar lebih nyaman.
Alyssa tertegun mendengar kata-katanya. Ia tak pernah menyangka bahwa Arka, yang selama ini selalu terlihat dingin dan tak peduli, akan menunjukkan perhatian seperti ini. Meskipun singkat, momen ini membuat Alyssa merasakan kehangatan yang langka dari pria itu.
Sepanjang hari, Arka beberapa kali masuk ke kamar untuk memeriksa keadaan Alyssa, meski ia tidak bicara banyak. Setiap kali ia masuk, Alyssa berusaha menahan senyumnya, menyadari bahwa ada sisi lembut di balik sikap kaku suaminya. Perhatian kecil yang ia tunjukkan, meski tanpa banyak kata, memberi Alyssa harapan bahwa Arka bukanlah sosok yang sepenuhnya dingin.
Di malam hari, setelah Alyssa mulai merasa sedikit lebih baik, Arka kembali membawa bubur yang ia siapkan sendiri. Ia duduk di samping tempat tidur, memastikan Alyssa makan sampai habis. Tanpa sadar, Alyssa merasakan perasaan hangat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Keberadaan Arka di sisinya memberikan kenyamanan, meskipun mereka jarang bicara.
Ketika Alyssa selesai makan, Arka mengambil mangkuk kosong dan menatapnya sejenak. “Besok aku akan menghubungi dokter kalau kamu belum merasa lebih baik.”
Alyssa tersenyum tipis, merasa terharu oleh perhatian yang ditunjukkan Arka. Meskipun ia tidak banyak bicara, Alyssa tahu bahwa Arka peduli padanya. “Terima kasih, Arka,” ucapnya dengan suara pelan.
Arka hanya mengangguk, lalu bangkit untuk meninggalkan kamar. Namun, sebelum ia keluar, Alyssa memanggilnya. “Arka…”
Arka menoleh, menatap Alyssa dengan tatapan bertanya. “Ya?”
“Terima kasih sudah merawatku hari ini,” kata Alyssa dengan tulus. “Aku tahu kamu tidak terbiasa melakukan ini, dan aku menghargai setiap perhatian yang kamu tunjukkan.”
Arka terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Alyssa. Wajahnya tetap tenang, tapi Alyssa melihat sekelebat kehangatan di matanya. “Jaga kesehatanmu,” jawabnya singkat sebelum akhirnya keluar.
Malam itu, Alyssa berbaring dengan hati yang penuh kehangatan. Ia mulai merasakan perasaan yang tak terduga sesuatu yang tumbuh perlahan di dalam hatinya. Meskipun Arka masih menyimpan banyak rahasia dan dinding antara mereka masih tebal, perhatian kecil yang ia tunjukkan telah membuka celah kecil yang memberi Alyssa harapan. Mungkin, di balik sikap dinginnya, Arka memiliki sisi lembut yang belum ia kenal sepenuhnya.
Setelah malam itu, Alyssa mulai memperhatikan bahwa ada banyak sisi lain dari Arka yang tak ia pahami. Setiap gerak-gerik Arka, sekecil apa pun, menjadi sesuatu yang menarik bagi Alyssa. Kini, ketika Arka pulang terlambat atau tampak lelah, Alyssa merasa ada dorongan untuk memastikan ia baik-baik saja, meski hanya dengan menawarkan segelas air atau menyambutnya di ruang tamu.
Hari demi hari berlalu, dan setiap perhatian kecil yang Arka tunjukkan selalu membekas di hati Alyssa. Suatu pagi, Arka mendapati Alyssa tengah duduk di beranda, menikmati secangkir teh sambil menikmati udara pagi. Tanpa sepatah kata, ia menghampiri dan duduk di sampingnya. Alyssa terkejut, tapi ia mencoba bersikap tenang.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Arka tanpa menatap Alyssa.
Alyssa tersenyum, merasa hangat dengan perhatiannya yang langka. "Sudah jauh lebih baik, terima kasih. Kamu sendiri bagaimana? Kelihatannya akhir-akhir ini sibuk sekali."
Arka mengangguk pelan. “Ada beberapa proyek besar yang perlu diawasi langsung,” jawabnya dengan nada tenang, tetapi Alyssa melihat sedikit kelelahan di matanya.
"Kalau begitu, kamu juga harus menjaga kesehatanmu," ucap Alyssa tanpa sadar. Saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, ia merasa malu sendiri, khawatir Arka akan menganggapnya berlebihan.
Namun, Arka hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah terkejut mendengar perhatiannya. Ia mengangguk, lalu tersenyum tipis senyuman yang sangat langka, tapi cukup untuk membuat hati Alyssa berdebar.
Hari-hari berikutnya, Alyssa mulai menemukan lebih banyak alasan untuk mendekatkan diri pada Arka. Ia tak lagi merasa segan untuk menyapanya atau menyajikan secangkir teh hangat saat ia pulang. Setiap perhatian kecil yang ia tunjukkan, meski tampak sederhana, selalu direspons dengan anggukan atau senyum kecil dari Arka. Keheningan di antara mereka kini terasa lebih nyaman, seolah mereka saling memahami tanpa perlu banyak bicara.
Suatu malam, Alyssa terbangun karena mendengar suara hujan deras di luar. Ia duduk di tempat tidur, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air. Ketika ia hendak kembali tidur, ia mendengar suara pintu terbuka. Arka berdiri di ambang pintu, tampak sedikit ragu.
“Alyssa, kamu belum tidur?” tanyanya dengan suara pelan.
Alyssa menggeleng, lalu menepuk tempat di sebelahnya, memberi isyarat agar Arka duduk. Dengan langkah pelan, Arka menghampiri dan duduk di tepi ranjang. Mereka terdiam untuk beberapa saat, mendengarkan suara hujan yang mengguyur di luar.
"Kadang, aku merasa rumah ini terlalu besar dan sepi," ucap Alyssa, tanpa sadar membuka diri lebih dari biasanya.
Arka menatapnya, dan dalam keheningan itu, Alyssa merasa ada sesuatu yang mendalam antara mereka. Seolah ada beban yang ingin disampaikan oleh Arka, tapi ia memilih untuk menahannya. Alyssa menundukkan kepala, merasa bahwa mereka berbagi rasa sepi yang sama.
"Maafkan aku," ucap Arka tiba-tiba, suaranya hampir tenggelam dalam suara hujan.
Alyssa mendongak, terkejut mendengar kata-kata itu. "Maaf? Untuk apa, Arka?"
Arka menatap lurus ke depan, tatapannya penuh dengan sesuatu yang tak pernah ia ungkapkan. “Untuk banyak hal… untuk semua yang harus kamu lalui. Mungkin aku tak pernah mengatakan ini, tapi aku menghargai kehadiranmu di sini.”
Hati Alyssa bergetar mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa di balik ucapan singkat tersebut, ada perasaan tulus yang jarang Arka tunjukkan. Momen itu membuat Alyssa menyadari bahwa mungkin ada jalan bagi mereka untuk saling memahami, meskipun masih banyak halangan yang menghadang.
Setelah beberapa saat, Arka berdiri, menyentuh bahu Alyssa dengan lembut. "Tidurlah. Aku tidak ingin kamu sakit lagi."
Alyssa mengangguk, memandangnya saat ia meninggalkan kamar. Ia berbaring kembali, tapi kali ini dengan perasaan yang lebih hangat. Ia merasa bahwa meskipun hubungan mereka rumit, ada secercah harapan yang tumbuh perlahan seperti tunas yang baru keluar dari tanah, berusaha bertahan di tengah badai.