Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 29 — Gangguan Part 1 —
Aku terbangun oleh sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela kecil di kamar penginapan. Tubuhku terasa sedikit kaku, mungkin karena posisi tidurku yang tidak biasa. Aku menoleh ke samping dan mendapati Eirene masih tertidur di lenganku, wajahnya tenang seperti bayi.
“Dia tidur nyenyak sekali,” gumamku pelan sambil mencoba melepaskan lenganku dengan hati-hati.
Tapi baru saja aku bergerak sedikit, Eirene mengerang pelan dan membuka matanya perlahan. Ia menatapku dengan mata setengah terpejam, lalu tersenyum kecil.
“Pagi, Hayato,” katanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
“Pagi,” balasku canggung.
Ia meregangkan tubuhnya, lalu duduk di sisi kasur. Rambutnya berantakan, tapi itu tidak mengurangi kecantikannya. Aku segera memalingkan wajah, merasa tidak nyaman memikirkannya lebih jauh.
“Kita punya banyak hal yang harus dilakukan hari ini,” katanya sambil mengikat rambutnya ke belakang.
Aku mengangguk, mencoba menghilangkan rasa canggung. “Katherine Rundell cukup besar. Kita harus mulai menyusun rencana perjalanan ke wilayah berikutnya.”
Kami turun ke lantai bawah penginapan setelah membersihkan diri seadanya. Resepsionis tadi malam menyambut kami dengan senyum ramah, dan kami segera menuju meja makan kecil di pojok ruangan untuk sarapan.
Saat kami duduk, aku mengeluarkan peta besar dari tas hitam kecilku. Eirene mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih dekat.
“Mark Rosenfelder ada di sebelah timur Katherine Rundell, bukan?” tanyanya sambil menunjuk bagian peta.
“Benar. Tapi kita harus berhati-hati. Aku tidak yakin apa yang menanti kita di sana,” jawabku.
Eirene mengangguk sambil memandang peta dengan serius. “Tapi sebelum itu, aku ingin menjelajahi Katherine Rundell lebih jauh. Mungkin ada informasi penting yang bisa kita dapatkan di sini.”
Aku setuju dengan idenya. Setelah selesai sarapan, kami meninggalkan penginapan dan kembali menjelajahi kota.
Katherine Rundell adalah wilayah yang unik. Bangunannya sebagian besar terbuat dari batu dengan aksen kayu, menciptakan suasana yang hangat tapi kokoh. Jalan-jalannya ramai oleh penduduk lokal dan pedagang yang menjual berbagai barang, mulai dari makanan hingga peralatan tempur.
Eirene tampak sangat menikmati suasana kota ini. Ia sesekali berhenti untuk melihat barang-barang yang menarik perhatiannya, seperti perhiasan sederhana atau tanaman herbal langka.
“Aku tidak menyangka kota ini akan seindah ini,” katanya sambil tersenyum ke arahku.
Aku hanya mengangguk sambil menjaga jarak pandangku tetap waspada. Meskipun Katherine Rundell tampak aman, aku tahu lebih baik tidak lengah.
Setelah beberapa jam berkeliling, kami menemukan sebuah toko kecil yang menarik perhatian Eirene. Toko itu menjual peta dan buku panduan perjalanan. Kami memutuskan untuk masuk, dan Eirene segera asyik berbicara dengan pemilik toko, seorang lelaki tua dengan janggut panjang berwarna abu-abu.
“Apa yang kalian cari, anak muda?” tanya lelaki itu dengan suara dalam.
“Kami mencari informasi tentang wilayah berikutnya, Mark Rosenfelder,” jawab Eirene dengan nada ramah.
Lelaki itu mengelus janggutnya, tampak berpikir. “Mark Rosenfelder... itu wilayah yang cukup sulit untuk dilalui. Banyak monster dan jebakan di sana. Tapi jika kalian menuju ke arah itu, aku punya peta khusus yang mungkin berguna.”
Ia mengeluarkan gulungan peta kecil dari laci dan menyerahkannya pada Eirene. Kami memeriksa peta itu bersama-sama. Peta itu jauh lebih detail dibandingkan peta besar yang aku punya, dengan tanda-tanda khusus yang menunjukkan lokasi jebakan dan tempat persembunyian monster.
“Ini sangat membantu,” kata Eirene sambil tersenyum. “Berapa harganya?”
“Lima koin perak,” jawab lelaki itu.
Aku melihat Eirene mengeluarkan koin-koin dari kantongnya tanpa ragu, membayar peta tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih pada lelaki itu, kami meninggalkan toko dengan perasaan lebih percaya diri.
“Sepertinya perjalanan ke Mark Rosenfelder akan lebih menantang,” kataku sambil memasukkan peta baru ke dalam tas.
“Tidak masalah,” jawab Eirene dengan senyum penuh semangat. “Dengan kerja sama yang baik, kita pasti bisa melewatinya.”
Aku mengangguk, merasa semangatnya sedikit menular padaku. Kami memutuskan untuk kembali ke penginapan dan menyusun rencana dengan lebih rinci, mempersiapkan diri untuk tantangan yang akan datang.
Malam itu, aku duduk di meja kecil di kamar, memeriksa kembali peta dan peralatan kami. Eirene duduk di tempat tidur, mengamati dengan ekspresi serius.
“Hayato,” katanya tiba-tiba.
“Ya?”
“Terima kasih,” katanya pelan.
Aku menatapnya, bingung. “Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Aku senang bisa melaluinya bersamamu.”
Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Sama-sama.”
Meskipun aku tidak mengatakannya, aku merasakan hal yang sama. Pada akhirnya, karena sudah merasa lelah—kami memutuskan untuk tidur dan beristirahat, dengan posisi yang sama seperti sebelumnya.
Udara malam di Katherine Rundell terasa tenang, namun aku tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menghantui pikiranku. Sesuatu tidak beres. Setelah beberapa kali mencoba untuk tidur, aku menyerah.
Aku bangkit perlahan dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkan Eirene yang terlihat damai dalam tidurnya. Aku berjalan menuju jendela kecil di kamar dan mengintip ke luar. Untuk memastikan penglihatanku lebih jelas, aku mengaktifkan Penglihatan Malam.
Begitu pandanganku menyesuaikan, aku melihat sosok-sosok mencurigakan berkumpul di sekitar area penginapan. Beberapa di antaranya berdiri di pojok-pojok gelap, sementara yang lain mondar-mandir dengan gerakan mencurigakan. Yang membuatku lebih waspada adalah wajah yang aku kenali di antara mereka: lelaki mabuk yang kemarin membuat keributan.
“Jadi dia belum menyerah, ya...” gumamku pelan, mencoba menahan kekesalan.
“Hayato?”
Suara Eirene membuatku menoleh. Ia sudah duduk di tepi kasur, matanya masih setengah terpejam. “Ada apa? Kenapa kau tampak begitu waspada?”
Aku tidak ingin ia khawatir. Jadi, aku memasang ekspresi tenang dan berkata, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya... merasa sedikit gugup tentang apa yang akan menanti kita besok.”
Eirene menatapku dengan ragu, seolah tidak sepenuhnya percaya. Tapi ia tidak bertanya lebih jauh. “Kalau begitu, tidurlah. Kau butuh istirahat.”
Aku mengangguk dan kembali ke tempat tidur, tapi pikiranku terus memutar kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Aku tahu lelaki itu pasti dendam setelah kejadian kemarin. Mereka jelas menunggu kesempatan untuk membalas, dan aku harus memastikan Eirene tetap aman.
Untuk menghindari ketegangan, aku berkata, “Ayo tidur. Kita butuh energi untuk perjalanan besok.”
Eirene memiringkan kepalanya, sedikit curiga dengan nada bicaraku yang mendadak lembut. Tapi akhirnya ia mengangguk dan kembali berbaring. Aku ikut berbaring di sampingnya, mencoba menenangkan diriku.
Namun, mataku tetap terbuka, menatap langit-langit. Aku tahu malam ini tidak akan tenang. Aku hanya berharap mereka tidak melakukan sesuatu yang terlalu gegabah.
Dengan tanganku di sisi tubuhku, aku mendengar napas Eirene yang perlahan menjadi stabil, menandakan ia sudah tertidur. Tapi aku tetap terjaga, siap untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi malam ini.
Malam ini akan menjadi malam yang panjang, pikirku sambil mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan buruk yang akan datang.
untuk sistemnya sebenarnya gaada yang spesial, tapi gua suka liat cara MC manfaatin skill yang ada dari sistem itu, dia kaya berusaha nyoba semua skillnya pas bertarung, ga kaya kebanyakan di cerita lain yang skillnya itu cuma jadi pajangan alias ga dipake samsek dengan alasan ini itu.
di bagian pacing, ceritanya emang berjalan agak lambat, tapi gua masih bisa nikmatin karena itu jadi nilai plus sesuai apa yang gua sebut di awal tapi, yaitu realistis.