Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Fitnah Kesekian Kalinya
"Bercanda, gitu doang langsung istighfar," ucap Ganeeta tertawa pelan.
Setelah tadi dia membatin lantaran sang suami terlihat liar dan berbeda, Ganeeta seketika tenang tatkala suaminya kembali seperti semula.
Beberapa hari terakhir, istighfar-nya Faaz seolah menjadi hiburan hingga berasa kurang andai Ganeeta tidak mendengarnya.
"Kamu ngaco mulutnya."
"Aku kan kaget, biasanya Mas tidak begini," jawabnya mulai lupa diri tentang kekesalan yang tadi dan kembali mengikis jarak tanpa diminta.
Tak lupa, Ganeeta menyingkirkan guling dan menenggelamkan wajahnya ke dada bidang Faaz demi mencari ketenangan.
Pengkhianatan yang Zion lakukan seolah menjadi tamparan keras untuknya. Tak ayal, dengan begitu Faaz tidak perlu susah payah membujuk ataupun menghasutnya agar berpaling.
Sampai detik ini, Ganeeta tidak bercerita dan memilih diam meski sesak di dadanya masih tersisa. Sementara di sisi lain, Faaz yang memang mengetahui hal itu juga tidak berniat bertanya, dia percaya Ganeeta akan bicara nanti.
Satu menit, dua menit hingga sepuluh menit berlalu, keduanya masih terbelenggu dalam kebisuan.
"Mas ...."
"Heum?"
Faaz beralih menatapnya, wajah Ganeeta tampak sedih di sana hingga dia ikut merasakan hal serupa.
"Kenapa? Ada masalah?"
Tak menjawab, Ganeeta hanya mengangguk dan lanjut memejamkan mata. "Maaf ya."
"Maaf? Maaf untuk apa?" Kening Faaz berkerut seketika tatkala Ganeeta melontarkan kata maaf dengan tiba-tiba.
"Waktu itu aku ngeyel."
"Soal apa?" tanya Faaz berlagak tidak tahu apa-apa, padahal jelas paham tanpa dijelaskan sebenarnya.
Ganeeta melonggarkan pelukannya, dia menatap langit-langit kamar sembari mulai bercerita. Dengan mata berkaca-kaca dan suara yang bergetar, dia menceritakan kronologinya.
Tanpa ditutup-tutupi, terlihat jelas seberapa sesaknya Ganeeta sewaktu menjelaskan yang tadi dia lihat.
"Aku tidak pernah menduga bahwa dia bisa berkhianat sejauh itu ... selama ini, Zion tidak pernah sampai mengajakku tidur atau berbuat mes-um ... karena itu aku percaya, dia berbeda dan tidak senakal yang orang-orang katakan, tapi ternyata ...." Ucapan Ganeeta terhenti, dia terisak sebelum kemudian menyeka air matanya dengan begitu kasar.
Faaz yang mendengar problematika kisah remaja ini hanya membuang napas kasar. Sungguh kisah cinta yang tragis dan cukup miris, usia masih belasan, tapi bermainnya sudah di ranjang.
"Turut prihatin, tapi laki-laki seperti dia tidak perlu ditangisi."
"Aku bukan menangisi orangnya, tapi diriku sendiri," jelas Ganeeta kemudian menutup mata demi menyembunyikan wajahnya.
Faaz tidak bisa banyak bicara, dia juga bingung hendak menenangkan Ganeeta dengan cara apa. Karena itu, satu-satunya cara yang bisa dia lakukan adalah mendekap sang istri seraya mengusap pundaknya.
"Sudah, yang lalu biar berlalu ... tidak perlu kamu tangisi apalagi sesali," ucap Faaz penuh kelembutan seraya menatap mata sang istri lekat-lekat.
Tak selesai di sana, dia juga mengulas senyum hangat sebelum kemudian lanjut bicara. "Satu hal yang perlu kamu ketahui, Allah tidak akan mempertemukanmu dengan seseorang tanpa alasan, Ganeeta."
Ganeeta mendengar dengan seksama, satu persatu kata yang terlontar dari bibir Faaz dia pahami dan renungi saat itu juga.
Dipikir-pikir memang benar, jika tidak ada Zion maka tidak akan ada Faaz dalam hidupnya. Karena, salah-satu akar masalah kenapa Papi Cakra menjodohkannya adalah pergaulan bebas yang Ganeeta jalani sejak mengenal Zion.
"Benar begitu?"
"Tentu saja, dari dulu konsepnya memang begitu."
"Termasuk kita berdua?"
"Betul sekali," jawab Faaz disertai anggukan pelan.
"Kira-kira apa tujuannya, Mas?" tanya Ganeeta dengan begitu percaya diri, padahal siapapun juga tahu alasannya kenapa Tuhan menghadirkan sosok Faaz dalam hidupnya.
Kendati begitu, tentu saja Faaz yang luar biasa rendah hati itu tidak akan menjawab dengan kata-kata menyakitkan. "Mungkin saling melengkapi, iya 'kan?"
"Ah, hidup Mas kurang lengkap gitu ya?"
Faaz terkekeh, gen narsistik keluarga Megantara mengalir begitu deras di dalam darah Ganeeta. Sudah jelas siapa yang kurang, dia justru melontarkan pertanyaan semacam itu.
"Hem, anggap saja begitu."
"Oh I see, sama seperti Kak Azkara yang dilengkapi Kak Shanum, 'kan?" tanya Ganeeta entah ada angin apa secara tiba-tiba justru menjadikan Shanum yang tidak lain adalah masa lalu Faaz sebagai contohnya.
Faaz mengangguk, dia tidak mau cari perkara dan mengiyakan ucapan Ganeeta begitu saja.
"Terus Mami yang dewasa Allah pertemukan sama Papi yang masih berondong?"
"He'em."
"Terus contoh lagi, tetangga sebelah nikahnya sama pelaut karena dia kuat LDR."
"Iya."
"Terus Kak Haura yang super seksi sama suami cab-ulnya?"
"Boleh."
"Terus ada lag_"
Cup
Terlalu banyak terusnya, Faaz mengecup bibir cerewet Ganeeta dengan harapan agar segera berhenti bicara.
"Sebut saja semua, kapan tidurnya?" tanya Faaz dengan mata yang sudah sayu karena memang ngantuk sebenarnya.
Ganeeta yang ditegur dengan cara itu seketika mengatupkan bibir dan menyembunyikan wajah ke tempat favoritnya, ketiak Faaz.
.
.
Keesokan harinya.
"Selamat pagi, Cantik ...."
"Pagi, Mas Faaz," jawabnya sembari menguap lebar dan menggaruk sana-sini seperti biasa.
Setelah tadi malam melewati malam yang begitu menenangkan di pelukan sang suami, Ganeeta terbangun tatkala Faaz sudah siap dengan baju koko dan sarungnya.
"Jam berapa?" tanya Ganeeta terdengar tak jelas karena sembari menguap, maklum saja nyawanya belum terkumpul semua.
"Jam 03:30."
"Masih lama ... kok sudah rapi, mau ngapain?"
"Shalat tahajud, mau ikut?" Faaz mengajak, tapi caranya berbeda, yaitu dengan memberikan penawaran.
Sejenak berpikir, Ganeeta yang sebenarnya pernah rutin menjalani shalat tersebut selama masa hukuman kembali berlagak seperti orang bodoh, persis seperti dia yang tidak bisa mengaji sama sekali.
"Shalat tahajud buat apa?"
"Banyak, salah-satunya meningkatkan peluang doamu dikabulkan," jelas Faaz dengan bahasa yang paling mudah untuk Ganeeta pahami.
"Memangnya pasti?"
"Insya Allah, sebagai Hamba kita hanya bisa berdoa."
"Tapi tiap hari aku sudah berdoa."
"Dengan tahajud akan lebih besar peluang dikabulkan, Sayang."
"Oh gitu, berarti doa minta uang jajannya ditambahin boleh tidak?" tanya Ganeeta secara tidak langsung mulai melayangkan protes lantaran sudah satu minggu ini dijatahi 50 ribu perhari tanpa tambahan dari pihak lain, baik itu mami maupun papinya.
Faaz tertawa, padahal tentang itu Ganeeta bisa meminta langsung sebenarnya. "Bisa, doanya bebas ... buruan ambil wudhu sana."
Sesuai arahan, Ganeeta mengikutinya. Untuk pertama kali, Faaz menjadi imam Ganeeta untuk shalat malam karena selama ini, Faaz sendiri sementara istrinya masih asyik bermimpi.
Tuntas menunaikan dua rakaatnya, Faaz lanjut berdoa. Selesai dengan itu, dia menoleh dengan maksud agar Ganeeta mencium punggung tangannya.
Namun, alih-alih mendapat ketentraman, Faaz justru mengelus dada tatkala melihat Ganeeta masih setia dengan posisi sujud yang dia yakini tengah tertidur.
"Allahu Akbar."
Berbeda dengan biasanya, kali ini Faaz sudah bukan lagi istighfar, tapi takbir saking parahnya. Tanpa berniat membangunkan, Faaz membopong istrinya ke atas tempat tidur.
"Aduh ... aku ketiduran."
"Hem, tadi shalatnya sampai salam tidak?"
"Sampai," jawab Ganeeta sejenak membuat napas Faaz lebih lega. "Kayaknya," tambahnya lagi.
"Astaghfirullah, shalat ulang sana."
"Ha-ha-ha, bercanda, ngucap terus nanti darah tinggi, Mas," ucap Ganeeta tergelak hingga membuat Faaz kian gemas.
Berhubung sudah di atas tempat tidur, Faaz segera melepas mukena Ganeeta dan menguncinya dalam pelukan.
"Akhir-akhir ini kamu suka bercanda ya?"
"Ih Mas mau ngapain? Aku aduin papi nanti lihat saj_aaaaawwwhhmmmp." Ganeeta sontak menutup mulutnya dengan telapak tangan tatkala Faaz tak sengaja menyentuh bagian sensitifnya.
"Kamu kenapa tiba-tiba nde-sah?"
"Jangan pura-pura bo-doh deh, Mas greepe-greepe dari tadi."
"Sembarangan, cuma kesentuh dibilang greepe-greepe."
"Lah ngeles aja kayak bajaj, emang beneran kok aku bisa rasain."
"Fitnah, Mas greepe-greepe beneran mau?"
Gleg
.
.
- To Be Continued -
denger dr mulut orang lain lebih sakit hati
gapapa sebagai pengantar tidur
sabar ya ... tapi mas suami mu gak. merasa beban Lo Net ...