Hati siapa yang tak bahagia bila bisa menikah dengan laki-laki yang ia cintai? Begitulah yang Tatiana rasakan. Namun sayang, berbeda dengan Samudera. Dia menikahi Tatiana hanya karena perempuan itu begitu dekat dengan putri semata wayangnya. Ibarat kata, Tatiana adalah sosok ibu pengganti bagi sang putri yang memang telah ditinggal ibunya sejak lahir.
Awalnya Tatiana tetap bersabar. Ia pikir, cinta akan tumbuh seiring bergantinya waktu dan banyaknya kebersamaan. Namun, setelah pernikahannya menginjak tahun kedua, Tatiana mulai kehilangan kesabaran. Apalagi setiap menyentuhnya, Samudera selalu saja menyebutkan nama mendiang istrinya.
Hingga suatu hari, saudari kembar mendiang istri Samudera hadir di antara carut-marut hubungan mereka. Obsesi Samudera pada mendiang istrinya membuatnya mereka menjalin hubungan di belakang Tatiana.
"Aku bisa sabar bersaing dengan orang yang telah tiada, tapi tidak dengan perempuan yang jelas ada di hadapanku. Maaf, aku memilih menyerah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Pergi
Brakkk ...
"Bundaaaa ... " teriak Ariana tiba-tiba setelah masuk ke kamar Tatiana dan Samudera. Samudera yang baru saja tertidur pukul 4 pagi itupun seketika terlonjak dengan kepala berdenyut nyeri.
"Ana, kenapa teriak-teriak?" tanya Samudera sambil memijat pelipisnya yang berdenyut-denyut. Tapi Ariana tidak menghiraukan, ia justru celingak-celinguk ke sekeliling. Lalu ia pun membuka pintu kamar mandi dengan kasar, namun yang ia cari tak ia temukan juga.
"Bunda, Bunda dimana? Bunda, ayah Bunda mana? Kenapa bunda tidak ada? Ayah, Bunda mana, Ayah?" pekik Ariana yang matanya sudah memerah. Terlihat jelas, ia sudah akan menumpahkan tangisnya sebentar lagi.
"Bunda ... " Samudera bingung bagaimana menjawab pertanyaan sang anak? Ia pun celingak-celinguk, berharap semua yang ia alami malam tadi hanya sekedar mimpi. Tatiana tidak pergi. Ia masih berada di rumah ini. "Mungkin bunda sedang memasak di dapur?" Samudera melirik ke arah jendela, hari sudah cukup terang. Seperti biasa, Tatiana biasanya sedang menyiapkan sarapan mereka di jam seperti ini.
"Nggak ada. Bunda nggak ada di dapur. Tadi Ana sudah cari di dapur, tapi bunda nggak ada. Di belakang juga nggak ada. Bibik juga nggak tau dimana bunda. Bibik pikir bunda masih tidur, tapi ... " Bibir Ariana sudah mencebik, " ... di sini bunda juga nggak ada. Bunda dimana, Ayah? Bunda dimana?"
Tangis Ariana pecah. Dengan menahan nyeri di kepala, Samudera pun segera turun dari ranjang dan menggendong Ariana untuk menenangkannya. Namun bukannya tenang, Ariana justru makin menangis. Tangisnya melengking membuat denyutan di kepalanya kian menjadi-jadi.
"Sayang, kamu diam dulu! Ayah juga nggak tahu dimana bunda. Ana jangan nangis ya! Bunda pasti pulang. Bunda hanya pergi sebentar," bujuk Samudera berusaha memenangkan Ariana. Tapi bukannya luluh dengan bujukan tersebut, Ariana justru memberontak sambil berteriak.
"Nggak, ayah bohong. Bunda pasti pergi ninggalin Ana. Ayah bohong! Bunda ... bunda ... Bunda dimana? Ayah, bunda mana Ayah? Bunda mana?" Raung Ariana dengan pipi yang sudah basah. Pun hidung Ariana sudah memerah. Nafasnya tersengal karena cairan hidung yang menyumbat indra penciumannya itu.
"Sayang, udah ya nangisnya! Please, kepala ayah sedang sakit ini," ujar Samudera masih berusaha bersabar. Lalu Samudera melihat keberadaan Bik Una. Ia hendak menyerahkan Ariana padanya. Kepalanya sakit. Ia kurang istirahat akhir-akhir ini. Ditambah semalaman ia kesulitan tidur karena mengkhawatirkan keadaan Tatiana. Samudera hendak ke kamar mandi sebentar untuk mencuci muka kemudian sarapan mengisi perutnya yang sejak semalam kosong. Ia hendak minum obat agar kepalanya tidak semakin sakit. Bagaimana ia bisa berpikir dan mencari keberadaan Tatiana bila nyeri di kepalanya kian menjadi.
"Bik, tolong gendong Ana dulu. Saya mau ke belakang sebentar," ujar Samudera sambil hendak menyerahkan Ariana ke Bik Una.
Namun Ariana justru memberontak marah. Ia tak mau ikut Bik Una. Ia menjerit-jerit membuat Samudera kalap hingga akhirnya tanpa sadar membentaknya.
"Nggak, nggak mau. Ana maunya sama bunda. Ana nggak mau sama bibik. Ana maunya sama bunda. Ana mau bunda, Ayah. Ana mau bunda. Bundaaa ... bunda ... " teriak Ariana.
"KATA AYAH BERHENTI, ANA! KAU BISA DIAM TIDAK, HAH!" bentak Samudera membuat Ariana syok.
"Ayah jahat! Ayah jahat! Ana benci, Ayah!" pekik Ariana sambil berusaha melepaskan diri dari Samudera. Tak ingin Ariana terjatuh, Samudera pun gegas menurunkan Ariana dari gendongannya. Setelahnya, Ariana berlari kencang masuk ke dalam kamarnya. Dibantingnya pintu. Kemudian ia naik ke atas ranjang sambil menenggelamkan wajahnya di bantal.
Samudera seketika tersadar. Karena terlalu emosi, ia sampai kelepasan membentak Ariana, putrinya sendiri. Ia benar-benar merasa bersalah.
Samudera mengusap wajahnya kasar. Belum 24 jam Tatiana menghilang, tapi kenapa hidupnya sudah begitu kacau. Bagaimana kalau Tatiana benar-benar meninggalkannya? Bisa-bisa hidupnya benar-benar kacau.
"Bik, tolong liat Ana sebentar ya!" Samudera pun langsung melenggang menuju kamar mandi setelah mengatakan itu.
Dipandanginya wajahnya di cermin kamar mandi. Wajahnya terlihat kuyu. Lingkar matanya membengkak persis saat ia mengerjakan tesis dulu. Sudah lama ia tidak berpenampilan seperti ini, benar-benar kacau.
"Kau dimana, Tiana? Kembalilah. Jangan tinggalkan kami!" lirih Samudera dengan mata memerah.
...**...
"Ana mana, Bik?" Kini Samudera sudah berada di meja makan. Sakit kepala dan lelah di badan kian menjadi. Bahkan tubuhnya terasa sudah akan meriang. Namun ia tidak bisa bersantai ria. Ia tidak bisa menunggu begitu saja. Ia harus segera mencari Tatiana. Untuk itu, ia harus mengisi energi dan meminum obat agar tetap tubuhnya kembali fit.
"Neng Ana masih di kamar, Den. Dia masih menangis dan tidak mau keluar," ujar bik Una.
Samudera menghela nafas kasar. Tiba-tiba selera makannya menghilang. Namun ia tetap mengusahakan makanan masuk ke dalam perutnya. Meskipun tidak berselera, tapi Samudera tetap memaksakan diri. Ia butuh tenaga. Ia hanya berharap, Tatiana tidak pergi jauh dan mudah untuk ditemukan. Rasanya Samudera ingin memuntahkan sarapannya itu, tapi ia segera mengambil segelas air untuk mendorong makanan masuk ke dalam lambungnya. Ketiadaan Tatiana nyatanya cukup harinya terasa suram. Bahkan rasa makanan di hadapannya pun terasa hambar. Ia rindu makanan yang Tatiana siapkan untuknya. Ia rindu kopi yang ia seduhkan.
Selepas sarapan, Samudera masuk ke kamar Ariana. Lalu ia duduk di tepi tempat tidur. Dipandanginya Ariana yang tampak masih sesenggukan. Hatinya begitu perih melihat anaknya yang tampak begitu kehilangan.
"Sayang," panggil Samudera. Tapi Ariana tak menggubris. Bahkan menoleh pun enggan.
"Sayang, maafkan sikap ayah tadi. Ayah sungguh-sungguh tidak sengaja membentak Ana. Sayang, ayah pergi dulu ya! Ayah akan berusaha mencari Bunda. Ana doakan ayah, ya." Samudera berujar lembut sambil mengusap puncak kepala Ariana.
Mendengar itu, Ariana pun segera duduk.
"Ayah janji ya akan membawa Bunda pulang?"
Samudera mengangguk, meskipun sedikit ragu.
"Ayah akan berusaha. Ana jangan nangis lagi ya. Ayo, bangun, mandi terus sarapan. Bunda pasti akan sedih kalau liat Ana kayak gini. Mau ke sekolah juga udah telat."
"Baik ayah."
"Gadis pintar. Kalau begitu, ayah pergi dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Setelah melihat Ariana terlihat lebih tenang, Samudera pun segera pergi. Tujuannya pertama kali adalah kediaman mendiang ibu Tatiana. Ia harap Tatiana bersembunyi di sana. Setahu Samudera memang Tatiana tidak memiliki keluarga dekat lain. Ia hanya memiliki ibunya. Dan kini ibunya telah tiada, ia pasti tidak memiliki tempat pelarian lain selain di sana.
Sementara Samudera sedang berusaha mencari keberadaan Tatiana di kediaman mendiang ibunya, saat ini Tatiana justru sedang dalam perjalanan menuju pengadilan agama ditemani Raya. Tatiana tidak menjelaskan alasan gugatan perceraiannya. Ia hanya mengatakan ketidakcocokan di antara mereka lah yang membuatnya menggugat cerai suaminya. Ia menjelaskan Samudera terpaksa menikah dengannya hanya demi anaknya. Keributan yang kerap terjadi membuatnya memilih mengalah.
Pengadilan agama pun mengabulkan gugatan perceraian Tatiana. Setelah dari pengadilan agama, Tatiana pun berpisah dengan Raya.
"Memangnya loe mau kemana sih, Na?" tanya Raya khawatir sebab Tatiana tidak mau memberitahukan tujuan kepergiannya.
"Gue juga sebenarnya belum tau sih, Ray. Yang pasti, gue mau pergi yang jauh."
"Tapi gimana dengan persidangannya entar? Emang loe nggak mau datang?"
Tatiana mengangguk, "itu lebih baik, Ray."
"Ya udah deh, terserah loe. Tapi nanti setibanya loe di tempat yang loe tuju, jangan lupa kabarin gue ya. Sering-sering kabarin gue. Awas kalo nggak! Entar gue nggak mau temenan sama loe lagi!"
"Iya, iya, bawel?" lirih Tatiana sambil tersenyum. Namun matanya berkaca-kaca. Mereka pun segera berpelukan. Sebelum akhirnya Tatiana pun menghilang dengan taksi yang ditumpanginya.
"Selamat tinggal, Na. Semoga kau menemukan kebahagiaanmu di tempat yang baru," gumam Raya sambil melambaikan tangan.
...***...
...HAPPY READING ❤️❤️❤️...
menyiksa diri sendiri.