Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Denis Sakit
Denis menutup laptop setelah memeriksa layar yang menunjukkan kegiatan sang kakek. Tersenyum puas melihat apa yang terjadi di rumah Indra. Sayang, Kakek pulang dengan cepat sehingga ia tak dapat mengetahui rencana busuk Indra dan istrinya.
Denis tercenung, mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk. Berpikir tentang kemungkinan langkah apa yang akan mereka ambil untuk menutupi kasus tersebut.
"Aku yakin mereka pasti akan melibatkan Larisa dalam kasus ini. Entah itu baik atau buruk, tapi aku perlu waspada," gumam Denis mengusap-usap dagunya yang berjambang tipis.
Di saat itulah, ia mendengar suara peralatan di dapur. Denis mengintip Larisa yang memasak mie instan milik Bibi. Lalu, menghubungi Haris memerintah asistennya itu untuk memesan beberapa makanan lewat aplikasi online yang akan dia tukar dengan mie yang dibuat Larisa.
"Kau tidak boleh makan makanan itu, Larisa." Dia bergumam sambil tersenyum, berjalan perlahan mendekati Larisa yang bersiap untuk menyantap mie tersebut.
Pada akhirnya, Larisa menikmati makanan yang dibawakan Haris.
****
"Denis, aku ingin segera bekerja. Bukankah aku harus wawancara ke perusahaan Agata?" rengek Larisa saat keduanya duduk di ruang keluarga menonton televisi usai menghabiskan makanan.
Denis melirik, pakaian yang kebesaran di tubuhnya itu sama sekali tak menghilangkan kecantikan Larisa. Denis merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk terhadap Larisa jika mengizinkan pergi keluar. Helaan napas Denis yang panjang, membuat Larisa memberengut. Menatap sang suami dengan mata merayu, menyedihkan dan berkaca-kaca.
"Aku tidak tahu, Larisa. Setiap kali kau melangkah keluar dari rumah setiap itu juga hal buruk selalu mendatangimu. Aku tak tahu apa lagi yang akan terjadi padamu jika keluar dari rumah. Radit tidak akan pernah membiarkan hidupmu tenang, apalagi sekarang ditambah adikmu sendiri. Mereka yang membawamu ke hotel hingga hal buruk itu nyaris terjadi padamu," papar Denis mengingatkan Larisa kejadian siang tadi.
Larisa menundukkan kepala, mengingat kejadian yang bila Denis tak datang tepat waktu entah apa yang akan terjadi padanya. Hal buruk itu begitu membuatnya trauma dan ketakutan. Ia menggeleng, tak ingin lagi membayangkan kejadian tadi.
"Untuk beberapa hari ke depan, tetaplah berdiam diri di rumah. Jangan pergi ke mana-mana dulu. Jika butuh sesuatu kau katakan saja kepadaku," lanjut Denis sembari menelisik wajah Larisa yang sendu.
Ia tahu, istrinya itu adalah sosok pekerja keras. Tidak bisa berdiam diri menunggu. Akan tetapi, untuk saat ini perintah Denis tak harus dia abaikan karena tidak menutup kemungkinan Radit akan kembali mengganggunya.
"Baiklah. Aku akan berdiam diri di rumah, tapi bisakah kau membelikan aku sesuatu? Aku membutuhkannya untuk mengusir bosan," ucap Larisa patuh meski masih terlihat enggan.
"Katakan!" Denis tersenyum puas mendengar penuturan istrinya, memindai wajah Larisa yang perlahan kehilangan awan mendungnya.
Larisa mengambil kertas dan pulpen, menulis keinginannya karena merasa malu jika harus berbicara langsung kepada Denis. Memberikan kertas tersebut pada suaminya tanpa mengangkat pandangan.
Denis mengetik sesuatu di ponsel, sesekali akan melirik catatan dari Larisa. Kemudian menghela napas lega, merentangkan kedua tangan tinggi-tinggi menguap lebar.
"Aku ngantuk, sebaiknya kau juga istirahat. Tidak baik untukmu terjaga di malam hari. Tidurlah!" ucap Denis yang membuat Larisa memberengut kesal.
Larisa bangkit dan berpamitan kepada Denis untuk pergi ke kamarnya sendiri. Ia melirik jam yang menggantung di dinding, pukul dua belas lewat lima menit.
Denis tersenyum memperhatikan tubuh sang istri yang dibalut pakaian longgar miliknya. Menggeleng kepala laki-laki itu, menggigit bibir geram sendiri. Ia mengalihkan pandangan pada ponsel ketika benda tersebut berdering menunjukkan sebuah pesan.
Besok pagi aku akan antarkan ke rumah Anda, Tuan.
Denis tersenyum, sesuai permintaan sang istri. Entah kenapa saat ini dia begitu perhatian terhadap seorang wanita. Tak biasanya, yang selalu bersikap dingin dan cuek.
Larisa hanya meminta peralatan melukis untuk mengusir rasa bosan ketika harus berdiam diri di rumah. Denis membaringkan tubuh di atas matras, tidak beranjak dari depan televisi. Merenungi perjalanan hidup yang dilaluinya, mengeja setiap kejadian. Bukan hal mudah baginya untuk sampai di titik itu.
Ia menghela napas, menutup mata dengan tangan, mencoba untuk tenggelam di alam mimpi yang sempurna. Mimpi tentang seseorang yang bisa menjadi rumah untuknya. Apakah Larisa?
****
Ugh!
Larisa melenguh, membentang kedua tangan ke atas. Matahari diam-diam mengintip, muncul dari celah-celah kain yang menutupi jendela. Ia menatap sekeliling, tersenyum melihat kamar yang begitu luas itu. Menepuk-nepuk kasur yang terasa empuk dan nyaman, berbeda dengan miliknya di rumah.
"Tuan Agata memang baik hati, padahal belum lama Denis bekerja di perusahaannya, tapi sudah diberikan apartemen sebagus ini lengkap dengan isinya," ucapnya seraya bangkit dan berjalan masuk ke kamar mandi.
Membersihkan diri, kemudian keluar untuk sekedar membuat sarapan karena kata Denis Bibi hanya datang bila diminta. Ia mengernyit melihat Denis yang masih terbaring di atas matras. Larisa menghampirinya, semakin berkerut dahi gadis itu melihat peluh yang bermunculan di dahi.
Ia menempelkan tangan di atas dahi denis, membelalak kala merasakan suhu tubuhnya yang tinggi.
"Dia demam. Denis! Denis! Bangun, sebaiknya kau pindah ke kamar," ucap Larisa sambil menggoyangkan badan Denis.
"Ibu! Ibu! Jangan pergi, Bu! Temani aku bermain, Bu! Semua orang marah padaku, semua orang tidak menyukaiku. Aku ingin ikut bersamamu, Ibu!" lirih suara Denis parau dan bergetar.
Larisa panik, mencoba untuk membangunkan laki-laki itu. Ia ingin membawanya ke kamar untuk beristirahat.
"Denis! Bangun, Denis!" Suara gadis itu bergetar, air matanya menetes tanpa terasa.
Entah mengapa hatinya tiba-tiba sakit melihat Denis sakit seperti itu. Bibir laki-laki itu pucat, tubuhnya lemah.
"Denis, bangun! Kumohon, kau harus pergi ke kamar." Tangis Larisa menjadi.
Di tengah kebingungan itu, secara kebetulan Haris menelpon. Buru-buru Larisa mengangkat telpon tersebut dengan tangannya yang gemetar.
"Ha-halo, Tuan Haris!"
"Larisa! Di mana Denis?" Haris bertanya panik, buru-buru menyambar jas dan keluar dari rumah, menuju rumah Denis.
"Di-dia tidak mau bangun, Tuan. Tolong, Tuan! Cepatlah datang ke sini!" mohon Larisa sambil menangis tersedu-sedu.
"Denis!"
Larisa mendongak ketika Haris memekik tepat di dekat mereka.
Matanya mengerjap, mulutnya menganga. Dia bertanya, "Tu-tuan, sejak kapan-"
Haris tak menggubris, mengangkat tubuh Denis dan membawanya ke kamar. Larisa mengekor meski bingung dengan kedatangan Haris yang tiba-tiba.
Haris menelpon dokter pribadi Denis, memintanya untuk segera datang. Sementara Larisa, menyiapkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres dahi suaminya.
"Apa yang terjadi?" tanya Haris dengan suara tinggi hampir membentak Larisa.
Gadis itu menggelengkan kepala tidak tahu, menggenggam tangan Denis yang terasa panas.
"Aku tidak tahu, tadi malam dia baik-baik saja," jawabnya terisak kecil.
Haris membelalak, dia tahu apa yang terjadi pada Denis.
"Apa yang dia makan semalam?" tanyanya menginterogasi.
Larisa diam mematung, mengingat-ingat apa yang dimakan laki-laki itu.
"Itu ... dia makan mie instan lalu-"
"Astaga! Siapa yang menyuruhnya makan makanan itu? Denis tidak bisa memakan mie instan, Larisa." Haris menepuk dahi, berjalan cemas dengan helaan napas yang kasar.
Larisa menganga, membeku dengan rasa bersalah yang perlahan memenuhi hatinya. Ia tak tahu jika Denis tak bisa memakan makanan itu. Air matanya kembali tumpah, menatap Denis yang belum sadarkan diri dengan wajah yang pucat.
"Kita harus membawanya ke rumah sakit, Tuan! Aku tidak ingin terjadi sesuatu padanya," ucap Larisa memohon pada Haris.
Tak lama bel berbunyi, Haris bergegas mendatangi pintu dan kembali bersama seorang dokter.
"Dia makan mie instan, Dokter," beritahu Haris dengan cepat.
Laki-laki paruh baya berseragam putih itu menghela napas panjang. Memeriksa bagian-bagian tubuh tertentu milik Denis untuk memastikan keadaannya. Lalu, tanpa bicara meresepkan obat untuk diambil Haris seperti biasa.
"Tolong, jangan berikan makanan itu lagi. Saya harap ini untuk terakhir kalinya dia memakan itu," ucap dokter tersebut kepada Haris sebelum keluar dari kamar diantar asisten Denis.
Larisa menatap pilu, benar-benar menyesal. Ia menangis lirih, tapi sebuah sentuhan menghentikan tangisnya.
"Kau!"
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......