Lyra terpaksa cuti dari pekerjaannya untuk menjenguk neneknya yang sakit di kota N, hanya untuk menemukan bahwa neneknya baik-baik saja. Alih-alih beristirahat, Lyra malah terlibat dalam cerita konyol neneknya yang justru lebih mengenalkan Lyra pada Nenek Luna, teman sesama pasien di rumah sakit. Karena kebaikan hati Lyra merawat nenek-nenek itu, Nenek Luna pun merasa terharu dan menjodohkannya dengan cucunya, seorang pria tampan namun dingin. Setelah nenek-nenek itu sembuh, mereka membawa Lyra bertemu dengan cucu Nenek Luna, yang ternyata adalah pria yang akan menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan kontrak. Apa yang dimulai sebagai perjanjian semata, akhirnya menjadi permainan penuh teka-teki yang mengungkap rahasia masa lalu dan perasaan tersembunyi di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
Lyra memandang keluar jendela, memperhatikan pemandangan yang terus berganti seiring laju mobil. Setiap detil jalanan terlihat jelas di matanya, namun pikirannya mengembara jauh dari situ. Ia menghela napas panjang berulang kali, seakan mencoba mengusir kekesalan yang menghantui.
Dari sudut matanya, Lyra melirik pria di sebelahnya. Jun, pria berjas rapi itu, duduk dengan tenang sambil memeriksa dokumen di tangannya. Ekspresi wajahnya tetap datar dan dingin, seolah dunia di luar tidak berarti. Setelah mengamati sekilas, Lyra kembali menatap jalanan di depan, lalu menarik napas lagi kali ini lebih keras.
“Hentikan helaan napasmu itu,” ujar Jun tiba-tiba, keningnya berkerut tajam, tanda jelas ia terganggu.
Bukannya berhenti, Lyra malah menghela napas lebih keras, sengaja memancing reaksi pria di sebelahnya. Ia sebenarnya sedang memikirkan skenario apa yang harus ia perankan nanti, sambil menikmati sedikit rasa puas melihat Jun yang mulai terlihat kesal.
***Sehari Sebelumnya***
Lyra berdiri tegap di hadapan Jun, yang duduk dengan angkuh di kursi kerjanya. Suasana di ruangan itu begitu sunyi, hanya ada suara samar kertas yang dibolak-balik oleh Jun.
Sudah hampir satu jam berlalu, namun pria itu tidak juga mengucapkan sepatah kata pun. Lyra tetap berdiri, merasa seperti seorang prajurit yang dihukum oleh komandannya. Ia melirik kursi di seberang meja Jun, tapi tidak ada tanda-tanda ia akan dipersilakan duduk.
“Dasar pria menyebalkan, apa dia mengira aku patung?” batin Lyra kesal, sementara kakinya mulai terasa pegal.
“Pak Jun, apakah ada sesuatu yang ingin Anda sampaikan?” tanya Lyra akhirnya, mencoba memecah keheningan yang membuatnya semakin frustrasi.
Jun tidak menjawab, bahkan tidak melirik ke arahnya. Ia tetap menatap dokumen di tangannya dengan santai, seolah Lyra tidak ada di sana.
“Apa dia sengaja mempermainkanku? Pria ini benar-benar licik!” batin Lyra.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti seabad, Lyra memutuskan untuk menyerah.
“Baik, Pak. Jika tidak ada yang ingin Anda katakan, saya akan kembali bekerja,” ucapnya sopan, meski nada bicaranya sedikit dipaksakan.
Lyra membalikkan badan dan mulai melangkah menuju pintu.
“Berhenti. Kembali ke sini,” suara Jun tiba-tiba terdengar, tegas dan dingin.
Lyra menghentikan langkahnya dengan enggan. Ia menoleh, lalu berjalan kembali ke meja Jun. Namun, seperti sebelumnya, Jun kembali mengabaikannya. Ia membuka dokumen baru dengan perlahan, seolah tidak peduli dengan keberadaan Lyra.
“Astaga! Dia sengaja melakukan ini!” batin Lyra, berusaha menahan amarah. Dalam hati, ia sudah mencaci Jun dengan berbagai umpatan yang tidak akan pernah ia ucapkan di dunia nyata.
“Pria ini benar-benar suka mempersulit hidupku!”
Namun, di permukaan, Lyra tetap berdiri tegak dengan ekspresi netral, meski kesabarannya sudah di ujung tanduk.
Jun akhirnya angkat bicara, memecah keheningan yang hampir membuat Lyra lupa bagaimana rasanya mendengar suara manusia di ruangan itu.
“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” tanyanya, nada suaranya tetap dingin dan formal.
Lyra menoleh, terkejut Jun akhirnya berbicara. Namun, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak bergumam pelan, “Ah, akhirnya manusia kutub ini berbicara.”
“Saya sudah bekerja di perusahaan ini selama dua tahun. Tahun ini menjelang tiga tahun,” jawab Lyra dengan nada netral, meski dalam hati ia masih kesal karena dibiarkan berdiri begitu lama.
Jun melipat tangannya di atas meja, menatap Lyra dengan pandangan tajam. “Lalu, sudah berapa lama kamu menggoda Rayyan?” tanyanya, penuh sindiran.
Mendengar pertanyaan itu, Lyra tertegun. Matanya memicing, berusaha memahami maksud Jun. “Menggoda Rayyan? Apa-apaan ini?” pikirnya.
“Maksud Pak Jun apa?” tanya Lyra, berusaha mempertahankan kesabarannya meski pertanyaan itu sangat tidak masuk akal.
Jun menghela napas pendek, ekspresinya tidak berubah. “Mencoba memperbaiki strata sosial dengan merayu dan mendekati orang kaya. Bukankah itu yang kau lakukan?”
Kalimat itu membuat Lyra langsung mengepalkan tangannya, menahan diri agar tidak terpancing emosi. Ia menatap Jun dengan sorot mata tajam.
“Maaf, Pak Jun. Mungkin sebelumnya saya pernah bersikap kurang sopan terhadap Anda. Tapi, mengataiku merayu orang dan memanfaatkan orang lain demi kekayaan? Tidakkah itu sungguh kasar dan kejam? Dari sisi mana Bapak melihat saya melakukan itu? Apakah Bapak memiliki bukti?” kata Lyra, suaranya tegas meski ia berusaha tetap sopan.
Jun menyandarkan tubuhnya ke kursi, nada bicaranya tetap datar. “Duduk di pangkuan seorang pria, kemudian memeluknya dengan erat di hadapan orang banyak, berbicara dengan suara lembut dan tatapan menggoda. Bukankah itu buktinya?”
Lyra terdiam sejenak, mencoba mencerna tuduhan Jun. “Duduk di pangkuan? Memeluk erat? Oh, Tuhan...” pikirnya. Tiba-tiba ia teringat insiden di bar beberapa waktu lalu.
Lyra mengingat dengan jelas bahwa ia memeluk Rayyan di bar untuk mengelabui preman yang mengejarnya. Saat itu, ia memang tidak memperhatikan orang lain di sekitar. “Apakah Jun ada di sana?” pikirnya sambil mencoba mengingat kembali.
Setelah menarik napas dalam, Lyra menjawab tegas. “Saya tidak perlu menjelaskan secara detail, karena itu urusan pribadi saya. Namun, soal menggoda Pak Rayyan, itu tidak benar. Saat itu, saya sedang dikejar beberapa orang. Kebetulan saya mengenal Pak Rayyan, jadi saya meminta bantuannya untuk mengelabui mereka. Itu murni langkah darurat, tidak lebih,” jelas Lyra, mencoba menjelaskan dengan nada tetap tenang meski hatinya mendidih.
Jun menatap Lyra tanpa ekspresi, seolah mempertimbangkan penjelasannya. Namun, Lyra tahu satu hal: pria ini tidak akan mudah diyakinkan. Namun, itu bukan urusannya setidaknya ia sudah mengatakan hal yang sebenarnya.
“Maaf, Pak. Jika tidak ada yang ingin Anda tanyakan lagi, saya pamit keluar,” tutur Lyra sopan, meski nadanya menyiratkan ketidaksabaran.
Namun, sebelum Lyra sempat berbalik, suara Jun menghentikannya. “Besok aku akan menjemputmu. Jika kau ada janji, maka batalkan janji itu,” tukasnya tegas.
Lyra memutar tubuhnya dengan alis mengernyit bingung. “Pria ini sekejap menghinaku, lalu sekarang mengatakan mau menjemputku? Apa dia selalu bertindak sesuka hatinya?” pikirnya.
“Maaf, Pak. Anda mau menjemput saya? Kemana, ya, Pak?” tanya Lyra penuh kebingungan.
Jun menghela napas pendek sebelum menjawab, “Nenek ada di kota ini, dan dia ingin aku dan kamu menemuinya.”
Wajah Lyra menegang mendengar itu. Ia langsung menjawab dengan tegas, “Maaf, Tuan Jun. Saya hanya karyawan biasa. Dengan identitas apa saya harus bertemu Nyonya Besar? Saya tidak ingin ada yang mengata-ngatai saya mendekati pria kaya untuk meninggikan status sosial saya.”
Jun menatap Lyra dingin. “Identitas sebagai istriku,” ucapnya tanpa emosi.
Lyra terbelalak. “Hee? Apakah Tuan Jun lupa? Tuan Jun sudah berjanji, bahwa jika kita bertemu lagi, Anda akan membawakan surat cerai untuk saya tanda tangani, agar perceraian kita sah. Tapi saat di mobil itu, saya sudah menganggap bahwa perkataan Tuan Jun sah menceraikan saya. Jadi, saya bukan istri Anda lagi.”
Jun mengetuk meja dengan jemarinya, menahan kekesalannya. “Bukankah kau terlalu sombong? Jika bukan karena nenek yang meminta, aku juga tidak mau membawamu.”
“Pfft.” Lyra menahan tawa, tapi akhirnya ia tertawa kecil dengan nada mengejek. “Apakah seorang Tuan Jun yang berkuasa ini takut pada neneknya? Baiklah, Tuan Jun. Saya rasa obrolan ini cukup sampai di sini. Oh iya, saya menunggu dokumen perceraian yang akan saya tanda tangani. Saya permisi dulu.” Lyra berbalik menuju pintu.
Namun, suara Jun menghentikan langkahnya. “Kau, oh, aku lupa memberitahumu. Nenekku tidak hanya datang sendiri ke kota ini. Dia membawa sahabat terkasihnya, Nenek Via.”
Langkah Lyra terhenti seketika. Ia memutar badannya dengan paksa, matanya menatap Jun penuh amarah. “Apa Anda sedang mengancam saya dengan tipuan Anda? Jika nenek saya ke kota ini, maka dia pasti akan menghubungi saya lebih dulu.”
Jun menyeringai licik. “Bagaimana jika nenekmu ingin memberikan kejutan, sehingga dia tidak memberitahumu tentang kedatangannya? Apa ekspresinya nanti jika tahu aku datang seorang diri dan mengatakan bahwa kau sudah menceraikanku? Bagaimana respon nenekmu nanti?”
“Kau…” Lyra menahan napas, amarahnya memuncak. “Kau sendiri yang ingin menceraikan diriku! Kenapa sekarang berbalik menuduhku?”
Jun berdiri, mendekatkan dirinya pada Lyra, ekspresinya penuh kekuasaan. “Jika tidak ingin terjadi sesuatu pada nenekmu, maka ikuti perintahku.”
Lyra menatapnya dengan mata membara, kedua tangannya mengepal erat. Ia tahu Jun sedang bermain licik, tapi kali ini ancamannya terlalu berat.
Menggunakan neneknya sebagai sandera emosional benar-benar membuat Lyra tak berdaya. Akhirnya, ia hanya bisa mengangguk pelan, menyerah pada situasi.
“Pria ini benar-benar tidak punya hati,” pikirnya dengan getir.