Zen Vessalius adalah nama yang pernah menggema di seluruh penjuru dunia, seorang pahlawan legendaris yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran total. Namun, waktu telah berubah. Era manusia telah berakhir, dan peradaban kini dikuasai oleh makhluk-makhluk artifisial yang tak mengenal masa lalu.
Zen, satu-satunya manusia yang tersisa, kini disebut sebagai NULL—istilah penghinaan untuk sesuatu yang dianggap tidak relevan. Dia hanyalah bayangan dari kejayaan yang telah hilang, berjalan di dunia yang melupakan pengorbanannya.
Namun, ketika ancaman baru muncul, jauh lebih besar dari apa yang pernah dia hadapi sebelumnya, Zen harus kembali bangkit. Dengan tubuh yang menua dan semangat yang rapuh, Zen mencari makna dalam keberadaannya. Mampukah ia mengingatkan dunia akan pentingnya kemanusiaan? Atau akankah ia terjatuh, menjadi simbol dari masa lalu yang tak lagi diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Vessalius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 MEMPELAJARI SIHIR
Keesokan paginya, Zen terbangun dengan semangat baru. Sebagai pemimpin Lumoria, ia sadar bahwa tanggung jawab besar kini berada di pundaknya. Hari ini, ia telah memutuskan untuk melanjutkan latihan sihir demi mempertajam kemampuan dan melindungi dunia yang baru ia kenal. Selvina, seperti biasa, sudah menyiapkan sarapan hangat di meja.
"Selvina, terima kasih," ucap Zen sembari tersenyum tulus. Selvina hanya mengangguk kecil dengan pipi yang sedikit memerah.
Setelah menghabiskan sarapan, Zen bergegas menuju tempat pelatihan. Langkahnya terasa ringan, terutama ketika ia melewati para penghuni Lumoria yang menyapanya dengan hangat.
"Selamat pagi, Raja Zen!" seru mereka serempak dengan senyum yang tulus.
Zen, yang masih belum terbiasa dengan gelar itu, hanya bisa tersipu sambil melambaikan tangan. "Selamat pagi juga untuk kalian semua!" jawabnya dengan nada lembut.
Sesampainya di tempat pelatihan, ia melihat Eryon sudah menunggunya di tengah arena. Tanpa basa-basi, Eryon tiba-tiba meluncurkan bola api besar ke arahnya. Zen terkejut, tapi nalurinya bergerak lebih cepat. Ia melompat ke samping, menghindari serangan itu hanya dalam hitungan detik.
"Eryon!" serunya kesal. "Apa-apaan ini?!"
Eryon tertawa terbahak-bahak. "Maafkan aku, Raja Zen. Aku hanya ingin melihat seberapa cepat refleksmu. Dan ternyata, cukup mengesankan."
Zen menghela napas panjang, mencoba menahan amarah. "Kau benar-benar tahu cara membuatku jantungan," gumamnya.
Eryon menepuk pundaknya. "Latihan ini bukan hanya tentang mempelajari sihir, Zen. Kau juga harus belajar menghadapi yang tak terduga. Sebagai pemimpin, ancaman bisa datang kapan saja."
Zen memandang Eryon dengan serius, menyadari kebenaran di balik kata-katanya. "Baiklah," ucapnya tegas. "Ayo kita mulai latihan hari ini."
Eryon tersenyum puas. "Bagus. Hari ini, kita akan memulai dari dasar-dasar. Fokuskan energimu pada Aliran Mana. Rasakan kekuatannya mengalir di dalam dirimu."
Zen menutup matanya, mendengarkan instruksi Eryon. Ia mulai merasakan sesuatu—seperti aliran hangat yang bergerak pelan di seluruh tubuhnya. Dalam keheningan, latihan pun dimulai.
Zen berdiri di tengah arena, matanya memejam sejenak, mengingat kembali apa yang ia pelajari semalam di perpustakaan. Ia mengangkat tangan, menarik napas dalam-dalam, dan mulai memusatkan energinya. Aliran Mana terasa kuat, mengalir dari tubuhnya seperti arus sungai yang deras. Perlahan, cahaya terang mulai muncul di sekelilingnya, membentuk lingkaran yang berpendar hangat.
Eryon, yang semula berdiri dengan santai, kini menegakkan tubuhnya, mata terbelalak melihat sihir yang dikeluarkan Zen. "Mustahil..." gumamnya. "Sihir Cahaya? Dalam waktu sesingkat ini?"
Zen membuka matanya, penuh percaya diri. Dengan gerakan tangan yang tegas, ia meluncurkan semburan cahaya ke arah Eryon. Insting Eryon segera bereaksi. Ia mengangkat tangan dan menciptakan penghalang energi dengan sihirnya, namun ia merasakan tekanan luar biasa.
"Zen, kau benar-benar—!" seru Eryon, suaranya tertahan oleh kekuatan sihir Zen yang terus menekan.
Eryon berusaha memperkuat penghalangnya, namun sihir Zen semakin intens. "Bagaimana mungkin dia bisa sekuat ini dalam waktu singkat?" pikir Eryon dalam hatinya. Sebagai seseorang yang telah bertahun-tahun mempelajari sihir, ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Zen melangkah maju, cahaya di sekitarnya semakin terang, membungkus tubuhnya dengan aura yang megah. "Eryon, aku tidak akan menyerah. Aku harus menguasai sihir ini secepat mungkin. Dunia ini telah memberikan kesempatan kedua bagiku, dan aku tidak akan menyia-nyiakannya!"
Eryon akhirnya tersenyum di balik pelindung sihirnya. "Semangat itu... Tidak salah lagi. Kau benar-benar pemimpin yang ditakdirkan untuk kami."
Zen menurunkan tangannya, membiarkan cahayanya memudar perlahan. Ia tersenyum kecil, tapi napasnya sedikit terengah. "Aku masih jauh dari sempurna, Eryon. Tapi aku akan terus belajar."
Eryon menepuk pundaknya dengan bangga. "Kau lebih dari sekadar belajar, Zen. Kau menciptakan keajaiban dalam hitungan hari. Hal yang bahkan para Lumoria butuhkan bertahun-tahun untuk mencapainya. Tapi ingat, kekuatan besar membawa tanggung jawab besar. Jangan pernah berhenti berusaha."
Zen mengangguk, matanya menyiratkan tekad yang kuat.
Sinar matahari siang mulai menyelimuti tempat pelatihan, memancarkan kehangatan yang bercampur dengan angin sepoi-sepoi. Zen dan Eryon berdiri di tengah arena, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka dibanjiri keringat. Eryon tersenyum puas sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
"Kau belajar dengan sangat cepat, Zen. Aku tak pernah mengira kau bisa menyerap pelajaran dasar secepat ini," puji Eryon, sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.
Zen mengangguk sambil menyeka keringat di dahinya dengan lengan bajunya. "Terima kasih, Eryon. Tapi aku tahu, ini baru awal. Masih banyak yang harus kupelajari."
Saat mereka berbincang, Selvina datang dengan langkah cepat menuju arena. Matanya membulat melihat kondisi Zen dan Eryon yang seperti baru saja keluar dari medan perang. "Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian basah kuyup seperti ini?" tanyanya heran, sambil memegang lengan Zen untuk memeriksa apakah ia baik-baik saja.
Zen tertawa kecil, merasa sedikit malu dengan kondisinya. "Aku dan Eryon sedang berlatih sihir. Ternyata ini lebih melelahkan daripada yang kupikirkan."
Eryon menimpali dengan nada ceria, "Dia ini seperti spons, Selvina. Menyerap semua yang aku ajarkan dengan cepat. Tapi aku harus mendorongnya lebih keras. Pemimpin Lumoria tidak bisa hanya memahami sihir setengah-setengah, bukan?"
Selvina mendesah sambil melemparkan tatapan lembut kepada Zen. "Kalian berdua memang tidak tahu batas ya? Zen, kau harus ingat, tubuhmu punya batasan. Jangan sampai terlalu memaksakan diri."
Zen tersenyum, merasa dihargai oleh perhatian Selvina. "Aku baik-baik saja, Selvina. Ini semua demi kebaikan kita bersama."
Namun, Selvina tetap menunjukkan ekspresi tegas. "Bagaimanapun, kau harus istirahat. Sudah waktunya makan siang, bukan? Aku sudah menyiapkan sesuatu untukmu di kastil."
Eryon tertawa sambil melambaikan tangan, "Baiklah, Selvina. Aku serahkan Zen padamu untuk sementara. Tapi Zen, jangan lupa, sore nanti kita lanjutkan latihanmu!"
Zen mengangguk dengan semangat. "Tentu, Eryon. Aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk belajar lebih banyak."
Selvina menggandeng tangan Zen, membimbingnya keluar dari arena. "Ayo, sebelum kau pingsan di sini. Kau butuh tenaga untuk menghadapi latihan berikutnya."
Zen mengikuti Selvina dengan senyum kecil di wajahnya, merasa bersyukur memiliki seseorang yang selalu memperhatikannya di dunia baru ini.
Sesampainya di kastil, Zen berjalan mendekati Selvina yang sudah menyiapkan meja makan dengan rapi. Ia menatapnya dengan penuh rasa penasaran dan bertanya sambil tersenyum, "Jadi, hari ini kamu membuat hidangan apa?"
Selvina menjawab dengan bangga, tangannya beristirahat di pinggang, "Ini adalah makanan yang paling kamu inginkan saat ini!"
Zen berpikir sejenak, mencoba menebak-nebak apa yang dimaksud Selvina. Matanya tiba-tiba berbinar ketika ia menduga jawabannya. Tanpa menunggu lebih lama, ia berlari dengan kencang menuju meja makan. Dan benar saja, hidangan yang ia temukan di sana adalah sup daging rempah dengan roti hangat yang baru saja keluar dari pemanggang, serta segelas jus buah manis yang menyegarkan.
Zen menatap hidangan itu dengan senang, lalu mengalihkan pandangannya ke Selvina, wajahnya penuh kekaguman. "Selvina, kamu benar-benar tahu apa yang aku mau! Ini luar biasa!"
Selvina tersipu mendengar pujian itu, tetapi tetap mempertahankan senyum bangganya. Ia mengambil sendok dan dengan cepat menyendokkan sup untuk Zen. "Ayo, makan selagi masih hangat!" katanya sambil memajukan sendok ke mulut Zen.
Zen terkejut dengan tindakannya. "Selvina, aku bisa makan sendiri. Kamu tidak perlu menyuapiku seperti anak kecil," katanya dengan nada bercanda.
Namun, Selvina tetap bersikeras, wajahnya mulai sedikit memerah. "Tidak apa-apa, aku ingin memanjakanmu hari ini. Lagipula, kau sudah bekerja keras di tempat pelatihan tadi."
Zen mencoba membalas, tetapi tatapan tegas namun lembut dari Selvina membuatnya menyerah. Ia membuka mulutnya untuk menerima suapan itu, dan setelah mencicipi, matanya melebar. "Ini enak sekali! Rasanya bahkan lebih baik daripada yang aku bayangkan."
Selvina tersenyum bahagia mendengar pujian itu. Zen akhirnya mengalah dan membiarkan Selvina menyuapinya beberapa kali, meskipun rasa malunya tetap terlihat.
Setelah selesai makan siang, Zen memutuskan untuk beristirahat sejenak. Hari masih panjang, dan ia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk bersantai. Ia duduk di ruang tengah kastil, ditemani Selvina yang membawa secangkir teh hangat untuknya.
Zen menyeruput tehnya pelan-pelan sambil bersandar di kursi empuk. "Akhirnya, waktu seperti ini rasanya langka," katanya dengan nada ringan, matanya menatap Selvina yang duduk di seberangnya.
Selvina tersenyum kecil. "Kamu memang perlu waktu istirahat, Zen. Setelah semua yang terjadi, tubuh dan pikiranmu perlu sedikit ketenangan."
Mereka mulai bercakap-cakap, berbagi cerita kecil tentang pengalaman mereka. Zen, yang biasanya tidak banyak bercerita, mulai membuka sedikit tentang masa lalunya. Ia berbicara tentang dunianya dulu, tentang Bumi, tentang kenangan indah dan sulit yang ia alami, serta tentang bagaimana ia bertemu Lyra, cinta pertamanya.
"Dia adalah orang yang sangat berharga bagiku," Zen berkata dengan nada pelan, tatapannya menerawang jauh. "Dia mengajarkanku tentang arti kekuatan dan pengorbanan. Tapi pada akhirnya... aku kehilangan dia."
Selvina mendengarkan dengan tenang, tidak memotong cerita Zen. Ia memahami rasa kehilangan yang Zen bawa, tetapi ia juga merasa senang bahwa Zen cukup nyaman untuk berbagi hal seperti ini dengannya.
"Zen," Selvina berkata lembut, "aku tahu betapa beratnya kehilangan seseorang yang kita cintai. Tapi aku yakin, dia pasti ingin kamu terus melangkah maju. Melanjutkan apa yang dia percayai."
Zen tersenyum kecil, menatap Selvina dengan hangat. "Kamu benar. Mungkin aku terlalu sering terjebak dalam masa lalu. Tapi saat aku berada di sini... bersamamu, rasanya lebih mudah untuk melepaskan itu semua."
Selvina tersipu mendengar itu, tetapi ia mencoba menyembunyikannya dengan menyeruput teh di tangannya. Percakapan mereka perlahan beralih ke hal-hal yang lebih ringan, diiringi canda tawa. Selvina menceritakan beberapa kisah lucu tentang penduduk Lumoria, sementara Zen menimpali dengan komentar yang membuat mereka tertawa bersama.
Sore itu, Zen kembali melangkah menuju tempat pelatihan, siap untuk melanjutkan latihan sihir bersama Eryon. Dengan semangat yang baru, ia merasa lebih ringan dan lebih fokus daripada sebelumnya. Sejak pagi hari, ia telah merasakan perubahan pada dirinya, baik fisik maupun mental. Sesuatu dalam dirinya terasa lebih kuat, seolah istirahat dan waktu bersama Selvina memberi energi baru yang sangat diperlukan untuknya.
Eryon yang sudah menunggu di tengah lapangan pelatihan melihat Zen datang dengan ekspresi yang lebih tenang, tapi tatapan matanya penuh semangat. "Apa yang terjadi, Zen?" tanya Eryon, sedikit terkejut. "Kamu terlihat berbeda hari ini. Lebih fokus, lebih kuat."
Zen mengangguk, tidak ingin terlalu membicarakan perasaan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya, tetapi ia tahu bahwa semua itu datang dari ketenangan yang ia rasakan saat bersantai dengan Selvina. "Mungkin istirahat tadi cukup memberi dampak baik untukku," jawabnya sambil mempersiapkan diri.
Tanpa menunggu lama, Eryon langsung melancarkan serangan sihir. Zen dengan cepat menghindari serangan itu, gerakannya kini lebih lancar dan terarah. Bahkan serangan Eryon kali ini lebih kuat daripada sebelumnya, tetapi Zen mampu menanggapi dengan cara yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—menangkal dan membalikkan serangan itu dengan sihir cahaya yang ia pelajari.
Eryon terdiam sejenak, tidak percaya melihat perkembangan pesat yang terjadi pada Zen. "Ini... luar biasa," kata Eryon dengan nada takjub. "Kamu baru saja beristirahat, dan sekarang kekuatanmu meningkat begitu pesat. Apa yang membuatmu begitu kuat seperti ini?"
Zen merasa sedikit bingung dengan perubahan cepat itu, tetapi ia tahu bahwa kekuatan itu bukan hanya berasal dari latihan semata. "Mungkin," Zen mulai berbicara sambil menenangkan napasnya, "ketenangan dalam diriku juga berperan. Aku merasa lebih terhubung dengan dunia ini, dan mungkin itu memberikan aku lebih banyak kekuatan."
Eryon mengangguk, berpikir sejenak. "Ketenangan... itu adalah kunci. Mungkin memang benar, jiwa yang tenang bisa membuka potensi yang lebih besar. Kamu telah menemukan keseimbangan dalam dirimu, Zen. Itu yang membuatmu berbeda."
Zen tersenyum kecil, merasa lega mendengar pengakuan Eryon. Ia tahu bahwa perjalanan panjangnya baru saja dimulai, dan meskipun kekuatan sihir sangat penting, yang terpenting adalah menemukan kedamaian dalam dirinya untuk menggunakannya dengan bijaksana.
Hari semakin larut, dan Zen merasa tubuhnya mulai kelelahan setelah berjam-jam berlatih sihir. Meskipun semangatnya masih menyala, ia tahu bahwa istirahat adalah hal yang penting untuk memaksimalkan perkembangan dirinya.
Setelah menerima anggukan dari Eryon, Zen memutuskan untuk mengakhiri latihan sihir hari itu. "Aku rasa cukup untuk hari ini, Eryon," katanya dengan napas yang masih sedikit terengah. "Aku akan melanjutkannya besok."
Eryon mengangguk setuju. "Kamu sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, Zen. Istirahatlah, besok kita akan mulai lagi."
Dengan itu, Zen mengucapkan selamat tinggal kepada Eryon dan berjalan keluar dari tempat pelatihan. Langit sudah mulai gelap, dan angin malam yang sejuk menyambutnya. Tak lama kemudian, Selvina datang menghampiri, senyum hangat terlihat di wajahnya saat melihat Zen keluar dari lapangan pelatihan.
"Zen," Selvina memanggil dengan lembut, "Sudah selesai latihanmu?"
Zen mengangguk lelah namun senang. "Iya, Selvina. Hari ini cukup berat, tapi juga menyenangkan."
Selvina tersenyum dan menghampirinya, lalu menawarkan tangannya. "Ayo, mari kita pulang. Makan malam sudah siap, aku menantikan waktumu untuk bersantai setelah latihan."
Zen tersenyum, merasa lega mendengar tawaran itu. Dengan langkah yang sedikit lambat, mereka berdua berjalan menuju kastil. Keheningan malam yang tenang, hanya diiringi suara langkah kaki mereka, terasa damai. Zen merasakan betapa berharga momen-momen sederhana seperti ini, berada di sekitar orang-orang yang peduli padanya.
Di dalam kastil, setelah mereka tiba, Selvina menyiapkan makan malam yang lezat. Zen duduk di meja makan, merasa kenyang tak hanya secara fisik, tetapi juga batin. Ada rasa nyaman dan kedamaian yang ia rasakan, seperti rumah yang sesungguhnya.
"Terima kasih, Selvina," kata Zen, menyuap makanan yang telah disiapkan dengan penuh perhatian. "Ini sangat berarti bagiku."
Selvina hanya tersenyum, menikmati momen bersama Zen tanpa perlu kata-kata yang berlebihan. Mereka tahu, bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan banyak tantangan yang masih akan dihadapi. Namun untuk saat ini, mereka hanya ingin menikmati kebersamaan ini—sebuah kebersamaan yang membawa rasa damai, setelah seharian penuh latihan dan usaha.
Waktu berlalu, dan keduanya akhirnya beristirahat, siap menghadapi hari baru dengan penuh semangat.
Bersambung!