NovelToon NovelToon
Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Mantan Pacarku Ternyata CEO Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Kaya Raya / Fantasi Wanita
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Prolog:

Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 1 Bagian 22 Pertemuan yang Menyentuh

Nadia terbangun di sore hari, saat jarum jam menunjukkan pukul 5 tepat. Matahari mulai condong ke barat, memberikan semburat oranye di langit yang terlihat dari balik tirai apartemennya. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa ia harus bersiap untuk bertemu Reza seperti yang telah dijanjikan.

Dengan sedikit tergesa-gesa, Nadia berjalan menuju kamar mandi. Air hangat menyegarkan tubuhnya, menghapus sisa kantuk dan kelelahan. Ia memilih mengenakan gaun cantik berwarna hitam dengan aksen renda di bagian lengan, yang memberinya kesan anggun dan sedikit misterius.

Saat Nadia selesai bersiap, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza muncul di layar:

"Aku sudah di Kafe Mirazza. Aku akan menunggumu di meja dekat jendela. Sampai bertemu."*

Nadia menarik napas dalam. Kafe Mirazza adalah tempat yang cukup populer di pusat kota, terkenal dengan suasana hangat dan jendela-jendela besar yang menghadap ke jalanan sibuk. Ia mengambil tas kecilnya, mengenakan sepatu hak tinggi, dan bergegas keluar.

Nadia keluar dari apartemennya dengan anggun, langkahnya mantap meski perasaannya sedikit bercampur aduk. Tak lama, sebuah taksi berhenti di depan gedung, seperti sudah ditakdirkan untuk membawanya ke pertemuan penting malam itu.

Ia masuk ke dalam taksi dan memberi tahu tujuannya kepada sopir. "Ke Kafe Mirazza, di pusat kota."

Sopir taksi, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah, menoleh sebentar. "Kafe Mirazza, ya? Tempat itu memang sedang ramai akhir-akhir ini. Ada acara spesial, Nona?"

Nadia tersenyum kecil sambil memandangi jalanan yang mulai dipenuhi lampu-lampu kota. "Bukan acara. Saya hanya bertemu seorang teman."

"Ah, semoga pertemuannya menyenangkan. Saya sering antar orang ke sana, katanya tempatnya nyaman," kata sopir itu sambil melirik Nadia melalui kaca spion.

"Semoga," jawab Nadia singkat, pikirannya mulai melayang ke pertemuannya dengan Reza. Ia bertanya-tanya apa yang akan dibahas malam ini dan bagaimana reaksi Reza terhadap pertanyaan-pertanyaannya.

Perjalanan tidak terlalu lama, hanya sekitar 20 menit. Sopir itu kadang-kadang berbicara tentang kemacetan di kota, tentang cuaca yang berubah-ubah belakangan ini, tetapi Nadia hanya merespons seadanya.

Saat taksi berhenti di depan Kafe Mirazza, Nadia melihat bangunan itu bersinar dengan lampu-lampu hangat. Suasananya ramai, tetapi tidak terlalu berisik, menciptakan kesan yang sempurna untuk pertemuan pribadi.

"Sudah sampai, Nona," kata sopir itu sambil tersenyum.

Nadia membayar ongkosnya, menambahkan sedikit tip sebagai tanda terima kasih. "Terima kasih, Pak. Semoga harinya baik."

Ia keluar dari taksi dan berdiri sebentar di depan kafe, menghela napas dalam untuk menenangkan dirinya.

Setelah itu Nadia melangkah masuk ke dalam Kafe Mirazza, suasana hangat langsung menyambutnya. Aroma kopi dan makanan manis mengisi udara, sementara suara obrolan santai dari pengunjung menciptakan atmosfer yang nyaman. Ia memindai ruangan dengan matanya hingga akhirnya melihat Reza duduk di sudut ruangan, mengenakan kemeja kasual dengan jam tangan mewah yang mencolok.

Reza sudah memperhatikannya sejak Nadia masuk. Ia tersenyum kecil, berdiri sebentar untuk menyambutnya. "Nadia, di sini," katanya sambil melambaikan tangan.

Nadia menghampiri dengan langkah percaya diri meski ada sedikit ketegangan di hatinya. Ia menarik kursi di depannya dan duduk. "Maaf kalau aku terlambat," katanya sambil meletakkan tas kecilnya di meja.

"Tidak masalah, aku baru sampai beberapa menit yang lalu," jawab Reza santai, matanya jelas terpaku pada penampilan elegan Nadia malam itu. "Kamu terlihat cantik."

Nadia tersenyum samar. "Terima kasih. Kamu juga terlihat berbeda dari biasanya."

Pelayan mendekati mereka, menyerahkan menu. "Selamat malam. Ada yang ingin dipesan sekarang, atau butuh waktu?"

"Aku pesan cappuccino, dan kamu, Reza?" Nadia bertanya sambil melirik pria itu.

"Sama, dan tambahkan croissant," jawab Reza.

Setelah pelayan pergi, suasana di antara mereka sempat hening sesaat. Reza mengamati Nadia, seolah mencoba membaca apa yang sedang ia pikirkan. "Jadi, apa kabar? Rasanya sudah lama kita tidak duduk santai seperti ini."

Nadia menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya saling bertaut di pangkuannya. "Cukup baik, meskipun banyak hal yang membuat aku memikirkan ulang semuanya," katanya pelan, tapi tetap tegas.

Reza mengangkat alis, sedikit terkejut. "Memikirkan apa, kalau boleh aku tahu?"

Belum sempat Nadia menjawab, pelayan kembali dengan pesanan mereka, menaruh dua cangkir cappuccino dan croissant di meja. Nadia menghirup aroma kopi itu sebentar sebelum akhirnya menatap Reza.

"Aku memikirkan kita. Dan juga tentang... siapa kamu sebenarnya, Reza."

Mendengar itu, senyum Reza memudar sedikit, tapi ia tetap menjaga ketenangannya. "Aku tahu kamu pasti punya pertanyaan. Aku di sini untuk menjelaskan apa saja yang ingin kamu tahu."

Reza mengaduk cappuccinonya perlahan, lalu menatap Nadia dengan sorot mata serius. "Nadia, aku tahu ada banyak hal yang mungkin membuatmu ragu tentang aku sekarang," katanya dengan suara berat. "Dan aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau memutuskan untuk pergi. Tapi aku ingin kau tahu satu hal: semua yang aku lakukan di masa lalu adalah kesalahan besar yang terus menghantui aku hingga hari ini."

Nadia terdiam, jari-jarinya mencengkeram pinggiran cangkir kopi. "Kesalahan seperti apa, Reza? Sampai-sampai kamu merasa tidak bisa mengendalikannya?"

Reza menarik napas panjang, lalu mulai berbicara pelan. "Dulu, aku terlalu muda dan terlalu bodoh. Aku pikir bisa melakukan segalanya sendiri tanpa perlu bergantung pada keluargaku. Tapi keputusan itu membawaku ke tempat yang salah, ke lingkungan yang salah. Dunia bisnis ilegal... itu tidak pernah menjadi pilihanku dari awal. Tapi ketika aku sadar, aku sudah terlalu dalam."

Nadia menatapnya dengan mata tajam. "Kenapa tidak berhenti? Kenapa terus bertahan di situ, kalau kamu tahu itu salah?"

Reza menggelengkan kepala. "Aku mencoba, Nadia. Berkali-kali. Tapi keluar dari dunia itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada risiko besar, untuk diriku sendiri, bahkan untuk orang-orang di sekitarku. Satu-satunya alasan aku bisa keluar adalah karena aku mengambil langkah ekstrem... menyerahkan semua yang aku punya untuk kebebasan."

Kata-katanya menggantung di udara. Nadia merasa dadanya berat mendengar pengakuan itu. "Dan sekarang? Apa yang kamu lakukan?"

"Aku membangun ulang hidupku. Semua ini," Reza melambaikan tangannya ke sekeliling, "adalah hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Aku tidak lagi terlibat dalam hal-hal itu. Tapi aku tahu masa lalu itu akan selalu ada di belakangku."

Nadia menatap ke arah meja, pikirannya berkecamuk. Ia bisa merasakan penyesalan mendalam dari Reza, tapi bayangan tentang apa yang telah ia lakukan sulit untuk diabaikan.

Pengakuan yang Mengejutkan

Nadia menatapnya tajam, bibirnya bergerak seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menahan diri. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk berbicara.

"Reza," ucap Nadia pelan tapi tegas, "aku tidak hanya mendengar semua ini darimu. Aku bertemu seseorang yang memberitahuku lebih banyak tentang dirimu."

Reza mengangkat alis, jelas terlihat terkejut. "Seseorang? Maksudmu siapa?" tanyanya hati-hati.

Nadia meneguk kopinya perlahan sebelum menjawab, mencoba menjaga ketenangannya. "Hendrik," katanya akhirnya. "Aku menemui Hendrik. Aku tahu dia kenal dekat denganmu, dan aku ingin mendapatkan jawaban langsung darinya."

Reza membeku di tempatnya. Wajahnya tampak kaku, dan ia terdiam beberapa saat. "Hendrik? Apa yang dia katakan padamu?" tanyanya dengan nada rendah, hampir berbisik.

Nadia menghela napas panjang, menatap Reza dalam-dalam. "Dia bilang kamu berasal dari keluarga kaya, tapi menolak bergantung pada mereka. Hendrik juga menceritakan bagaimana kamu terjebak dalam dunia bisnis ilegal jual beli narkoba dan senjata."

Reza menunduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. "Jadi, kamu tahu semuanya," gumamnya. "Aku tidak tahu harus berkata apa."

"Aku ingin tahu kebenarannya darimu," ujar Nadia, nadanya tegas tapi tidak menghakimi. "Apakah itu semua benar? Apakah Hendrik mengatakan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan?"

Reza mengangkat kepalanya perlahan, menatap mata Nadia. "Hendrik tidak berbohong," jawabnya dengan suara berat. "Tapi dia tidak tahu seluruh cerita. Aku terjebak dalam situasi itu karena keputusanku sendiri. Awalnya aku hanya ingin membuktikan bahwa aku bisa sukses tanpa bergantung pada keluargaku, tapi aku salah langkah. Dan ketika aku sadar, semuanya sudah terlalu jauh."

Nadia mendengarkan tanpa menyela, meskipun hatinya terasa berat.

"Aku berhenti, Nadia," lanjut Reza. "Aku sudah meninggalkan semua itu. Aku tidak mau lagi hidup dalam bayang-bayang kesalahan masa lalu. Sekarang aku ingin memulai yang baru, tapi aku tahu itu tidak mudah—terutama untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali."

Nadia terdiam. Kata-kata Reza terdengar tulus, tetapi luka dari apa yang ia ketahui masih segar. Ia memalingkan pandangannya, mencoba mencerna semuanya.

"Aku butuh waktu, Reza," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima ini semua dengan mudah. Tapi aku menghargai kejujuranmu."

Reza mengangguk pelan. "Aku mengerti, Nadia. Ambillah waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku hanya berharap suatu hari nanti, aku bisa membuktikan bahwa aku benar-benar berubah."

Suasana kembali hening di antara mereka. Meskipun percakapan ini membuka luka lama, Kemudian Nadia bertanya.

"Jadi, kenapa kamu tidak jujur padaku dari awal? Saat kita bersama dulu?" tanyanya akhirnya.

Reza tersenyum pahit. "Aku ingin melindungimu, Nadia. Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam kekacauan hidupku. Dan sejujurnya, aku takut... takut kehilanganmu kalau kau tahu semuanya."

Kata-kata itu membuat Nadia semakin bingung. Ia melihat kesungguhan di mata Reza, tapi luka dan keraguannya sendiri tidak bisa hilang begitu saja.

"Ini terlalu banyak untuk aku cerna sekarang," katanya sambil memijat pelipisnya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan atau menerima semua ini."

Reza mengangguk pelan, tidak memaksa. "Aku mengerti. Aku tidak akan memintamu untuk memutuskan sekarang. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, kamu bisa melihat aku sebagai seseorang yang ingin berubah... bukan seseorang yang terjebak di masa lalu."

Hening kembali melingkupi mereka, sementara Nadia menatap cangkir kopinya yang dingin. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan perasaan yang saling bertentangan.

Nadia menegakkan tubuhnya di kursi, mencoba menenangkan diri dari kekacauan emosinya. Ia menatap Reza yang tampak bersungguh-sungguh, namun masih ada dinding besar di antara mereka.

"Aku tidak tahu, Reza," kata Nadia pelan, suaranya mengandung keraguan. "Aku hanya takut... kalau aku memberimu kesempatan, aku malah akan tersakiti lagi."

Reza memajukan tubuhnya sedikit, wajahnya dipenuhi dengan keseriusan. "Aku tidak akan pernah menyalahkanmu atas keraguan itu, Nadia. Aku tahu aku membawa banyak beban dari masa lalu, dan aku juga tahu itu tidak adil bagimu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku benar-benar ingin berubah. Bukan hanya untukmu, tapi untuk diriku sendiri."

Nadia tetap diam, hanya menatap tangan Reza yang menggenggam cangkir dengan erat.

"Aku mengerti kalau kamu butuh waktu. Aku tidak ingin memaksamu untuk percaya padaku seketika," lanjut Reza. "Tapi... aku hanya berharap kamu mau memberiku kesempatan kecil untuk membuktikan bahwa aku sudah berbeda. Aku ingin menjadi orang yang pantas untukmu, Nadia."

Kata-kata Reza membuat dada Nadia terasa sesak. Ia bisa merasakan ketulusan di setiap kata yang diucapkan Reza, tetapi rasa takut masih menguasai dirinya.

"Reza," katanya akhirnya, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Ini terlalu banyak untukku."

Reza mengangguk dengan berat hati. "Aku mengerti, Nadia. Aku akan menunggu. Aku tidak akan memaksa. Tapi satu hal yang ingin aku tegaskan aku tidak akan menyerah untuk memperbaiki semuanya."

Nadia menatap Reza, matanya dipenuhi dengan berbagai emosi. Ada rasa tenang, tetapi keraguan besar tetap membayangi pikirannya.

Pertemuan itu diakhiri dengan suasana yang menggantung. Reza menawarkan untuk mengantar Nadia pulang, tetapi ia dengan sopan menolak, memilih untuk kembali sendirian dengan taksi.

Nadia keluar dari kafe, menghirup udara malam yang dingin, sambil mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan. Di satu sisi, ia ingin percaya bahwa Reza benar-benar telah berubah, tetapi di sisi lain, bayang-bayang masa lalu Reza terlalu sulit untuk diabaikan begitu saja.

Setelah keluar dari kafe, Nadia melangkah menuju tepi jalan untuk mencari taksi. Malam semakin larut, udara dingin terasa menusuk, namun pikirannya jauh lebih ramai daripada suasana di sekitarnya.

Ia menoleh ke belakang sekali lagi, melihat Reza yang masih duduk di dalam kafe, menatap ke arahnya dari balik jendela dengan ekspresi yang sulit diartikan. Nadia cepat-cepat mengalihkan pandangannya, memutuskan untuk tidak membiarkan perasaannya menguasai dirinya.

Beberapa menit kemudian, sebuah taksi berhenti di depannya.

"Ke apartemen," katanya singkat kepada sopir setelah masuk ke dalam kendaraan.

Selama perjalanan, Nadia hanya terdiam, memandang keluar jendela ke arah lampu-lampu jalan yang berkilauan. Percakapan dengan Reza tadi terus berputar di kepalanya. Kata-katanya yang penuh penyesalan, janjinya untuk berubah, dan permohonannya untuk diberi kesempatan kedua.

"Apa semuanya benar-benar akan berbeda kali ini?" gumam Nadia dalam hati.

Sopir taksi melirik sekilas melalui kaca spion, lalu mencoba memecah keheningan.

"Sepertinya malam ini berat, ya, Mbak?" tanyanya dengan nada ringan.

Nadia tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab. Ia hanya ingin segera sampai di rumah dan meresapi semuanya dalam keheningan.

Tak berapa lama, taksi berhenti di depan apartemen Nadia. Ia membayar ongkos perjalanan dan melangkah keluar, lalu masuk ke dalam gedung tanpa banyak basa-basi.

Begitu tiba di apartemennya, Nadia langsung melepas sepatu dan menggantungkan tasnya di dekat pintu. Ia merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Setelah sejenak berdiri di tengah ruangan, ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, berharap air dingin bisa sedikit meringankan pikirannya yang berat.

Setelah mandi, Nadia mengenakan pakaian tidur yang nyaman dan langsung menuju tempat tidur. Ia merebahkan diri, memandang langit-langit dengan pandangan kosong.

"Kenapa semuanya harus menjadi rumit begini?" bisiknya pada diri sendiri.

Meski pikirannya terus berputar, kelelahan akhirnya menguasai Nadia. Perlahan, ia tertidur dengan hati yang masih diliputi keraguan dan kebingungan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!