Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Althea menatap kamarnya yang baru saja selesai direnovasi dengan senyum lega. Warna ungu yang mendominasi ruang itu memberikan rasa nyaman yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Seolah ruangan itu adalah simbol kebebasan dari belenggu masa lalunya. Dia menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Sebuah pesan baru masuk dari seseorang yang dia suruh menyelidiki masa lalu ibunya.
Pesan itu membuat darahnya mendidih. Arina ternyata bukan ibu kandungnya. Ibu kandung Althea telah meninggal saat melahirkannya, dan fakta yang lebih mengerikan adalah Arina-lah yang menghancurkan kehidupan keluarganya. Althea mengepalkan tangan, matanya memerah karena amarah yang dia tahan. Dalam hati, dia bersumpah untuk membuat wanita itu merasakan penderitaan yang sama.
"Hei, Thea!" Suara Reina membuyarkan lamunannya.
Althea menoleh dan mendapati Reina bersandar di pintu kamarnya, tangan menyilang di dada dengan ekspresi santai. "Ayah memanggil. Sebaiknya cepat turun."
Tanpa menunggu jawaban, Reina sudah berlalu begitu saja. Althea menenangkan dirinya, lalu mengikuti jejak Reina menuju ruang tamu.
Begitu tiba, dia mendapati Leon sedang duduk dengan tenang sambil menyeruput teh hijau. Di atas meja, beberapa brosur sekolah tertumpuk rapi. Pria itu melirik sekilas saat mereka mendekat dan meletakkan cangkirnya.
"Aku nggak nyangka Ayah sudah menemukan beberapa brosur sekolah lebih cepat dari yang aku duga," ucap Reina dengan senyum cerah, mencoba menggoda Leon.
Leon hanya mengangkat alis dengan ekspresi sarkastik. "Aku tidak repot-repot mencarinya, Reina. Mereka sendiri yang mengirimkan tawaran kepada kita. Jadi, jangan terlalu bersemangat."
"Wah, kalau sekolah elit ini pasti banyak dramanya, kan, Ayah? Aku sudah memutuskan untuk bersekolah di STM," balas Reina dengan nada menggoda.
Sementara itu, Althea memilih brosur dengan serius, membaca jurusan yang sesuai dengan minatnya. "Aku sudah menemukan sekolah yang cocok untukku," ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari brosur.
Reina menoleh dengan seringai khasnya. "Wah, apa kau akan jadi penjilat lagi di sekolah itu?" sindirnya dengan nada tajam.
Althea menghela napas pendek, berusaha tidak terpancing. "Aku hanya melihat situasi, Reina," balasnya datar.
Leon, yang mendengarkan percakapan itu, menatap Althea tajam. "Kau ahli memanipulasi sejak kecil, Althea. Jika kau punya bakat itu, gunakan dengan benar. Ingat, rumah ini bukan tempat untuk orang yang suka mencari perhatian pria di luar sana."
"Ya, Om. Aku mengerti," jawab Althea dengan kepala tertunduk. Meski terkadang kata-kata Leon dan Reina menusuk, Althea tahu mereka tidak bermaksud menyakitinya.
Leon berdiri dan menunjuk kedua gadis itu dengan gaya khasnya. "Beban satu, Beban dua, kita pergi ke ladang anggur sekarang. Bantu aku atau kalian bisa keluar dari sini."
Reina mengangkat bahu dengan ekspresi licik. "Ya ampun, Ayah. Aku harap kau menambahkan bonus untuk kami kalau pekerjaan kami memuaskan."
Leon menyipitkan mata ke arah putrinya. "Kita lihat nanti," ucapnya sebelum berjalan ke pintu, diikuti oleh Althea dan Reina yang saling melirik dengan seringai kecil di wajah masing-masing.
✨
Leon tersenyum puas, menatap hasil kerja dua gadis muda di depannya. Ladang anggur yang tadinya berantakan kini terlihat lebih rapi dan terawat setelah seharian mereka bekerja. Setelah para pekerja pulang, Leon melangkah mendekat, memperhatikan Reina dan Althea yang tampak lelah namun puas.
“Kerja bagus, kalian berdua,” ucap Leon dengan nada tegas namun tidak dingin, membuat dua gadis itu menoleh.
Althea berdiri tegak, menunggu dengan gugup apa yang akan dikatakan Leon. Pria itu menepuk pundaknya singkat. “Althea, untuk pemula, kau bekerja dengan baik meskipun terlihat lambat. Aku suka melihat usahamu. Tetap tingkatkan kemampuanmu.”
Althea tertegun, matanya sedikit berkaca-kaca. Baru kali ini Leon mengkritiknya dengan tambahan pujian. Biasanya, pria itu hanya melontarkan komentar sarkastis.
Sementara itu, Leon mengalihkan pandangannya ke Reina yang masih memegang sekeranjang anggur. “Dan kau, Reina. Seperti biasa, kau bekerja dengan baik. Tapi, seperti biasa juga, jangan memakan anggur yang belum sepenuhnya matang.”
Reina terkekeh tanpa rasa bersalah, mengangkat bahu. “Itu hanya uji kualitas, Ayah.”
Leon mendengus kecil sambil menggeleng. “Ayo, kita pulang. Dan satu hal lagi—jangan masak makan malam. Kita makan di luar saja.”
Dengan langkah santai, Leon berbalik meninggalkan kedua gadis itu di belakangnya. Reina dan Althea saling melirik, seringai kecil di wajah mereka sebelum mereka mengikutinya dengan langkah riang.
.
"Ini uang saku kalian untuk sebulan," ucap Leon seraya menyerahkan dua amplop berisi uang kepada Reina dan Althea. Seperti biasa, Reina langsung menerima dengan sukacita, sementara Althea tampak lebih tenang meskipun senyum kecil tersungging di bibirnya.
Namun, Leon belum selesai. Ia mengeluarkan dua amplop tambahan dan meletakkannya di depan mereka. "Dan ini upah kalian."
Althea memandang amplop itu dengan mata membesar, lalu menatap Leon penuh kebingungan. "Ini sungguhan, Om?"
Leon mengangguk singkat. "Ya. Kau sudah berubah, Althea. Tidak lagi bermalas-malasan, dan aku menghargai usahamu."
Dengan hati-hati, Althea mengambil amplop itu. "Terima kasih, Om," ucapnya pelan, suaranya bergetar sedikit. Ia membuka amplop itu dan hampir tak percaya melihat jumlahnya. Upah ini hampir sama dengan uang saku bulanannya!
Dulu, Althea sering merasa iri setiap kali melihat Leon memberikan uang tambahan pada Reina, yang selalu tampak begitu percaya diri. Kini, ia sadar bahwa uang tambahan itu adalah bentuk penghargaan Leon atas kerja keras Reina—sesuatu yang dianggap Arina sepele namun ternyata bernilai di mata Leon.
Reina, yang sudah biasa dengan rutinitas ini, menyenggol Althea dengan siku. "Ayo, jangan melamun. Ayah bilang segera bersiap. Kita mau pergi, kan?"
Althea tersadar dari lamunannya dan mengangguk. "Baik," jawabnya sebelum berjalan ke kamarnya untuk bersiap, kini dengan hati yang jauh lebih ringan.
✨
Reina dan Althea menikmati suasana pasar malam dengan penuh semangat. Mereka mencicipi berbagai makanan kaki lima yang menggoda, dari sate gurita hingga kue cubit. Gelak tawa mereka sesekali terdengar, mencairkan suasana malam yang ramai.
Sementara itu, Leon dan Alan berjalan santai tak jauh di belakang mereka, mengawasi dengan tenang. Percakapan ringan sesekali mengalir di antara keduanya, hingga tiba-tiba keributan terjadi.
Seorang wanita paruh baya bersama wanita lain yang tampak berusia akhir tiga puluhan muncul entah dari mana dan mulai menyerang Althea tanpa peringatan. Reina yang mencoba melindungi Althea ikut terkena dampaknya. Keributan itu menarik perhatian orang-orang sekitar, membuat kerumunan berkumpul.
Leon dan Alan, yang awalnya hanya mengamati dari kejauhan, langsung berjalan cepat menuju pusat keramaian. Leon menatap dua wanita itu dengan ekspresi dingin dan nada penuh sindiran.
"Apa yang kalian lakukan, Nyonya? Menyiksa anak orang tanpa bukti? Bukankah kalian punya kehidupan sendiri yang lebih penting daripada membuat drama di sini?" ucap Leon dengan tajam.
Reina yang emosinya sudah memuncak, melangkah maju dan tanpa basa-basi menjambak rambut salah satu wanita itu. Namun, ia malah mendapat tamparan keras yang membuat wajahnya memerah.
Melihat itu, Althea menyeringai licik. Dengan gerakan cepat, dia lari menghampiri Leon dan Alan. "Ayah, hiks… hiks…" suara tangisnya terdengar memilukan, membuat beberapa orang mulai memandang penuh simpati. Penampilannya tampak kusut, dengan rambut berantakan dan pakaian yang sedikit kotor. "Kami nggak tahu apa yang terjadi! Mereka tiba-tiba menyerang kami!"
Althea mengusap air matanya yang mengalir deras. "Dia bilang… dia bilang Reina dan aku sedang berebut perhatian Ayah... Dan mereka pikir Ayah adalah sugar daddy kami!" suaranya terdengar tersedak, menambah drama yang membuat kerumunan mulai berbisik-bisik.
Leon menutup matanya sejenak, menghela napas panjang sebelum menatap kedua wanita itu dengan sorot tajam. "Apakah kalian benar-benar berpikir ini lucu? Membuat tuduhan tidak berdasar dan menyerang dua gadis muda? Aku pastikan kalian tidak akan lolos begitu saja."
Alan, yang biasanya pendiam, ikut menambahkan dengan suara rendah namun tegas, "Aku sarankan kalian pergi sekarang sebelum hal ini menjadi lebih buruk untuk kalian."
Kerumunan mulai bersorak mendukung Leon dan Alan, sementara kedua wanita itu tampak ketakutan dan salah tingkah. Reina, yang masih menahan amarah, hanya mendengus sambil merapikan rambutnya. "Lain kali jangan coba-coba main tangan dengan kami. Atau aku pastikan kalian tidak akan bisa melupakan malam ini."
Leon mengisyaratkan pada Althea dan Reina untuk pergi dari tempat itu. "Ayo, kita lanjutkan malam ini tanpa kekonyolan semacam ini." Suaranya tegas, namun ada nada protektif di dalamnya.
Reina dan Althea berjalan mengikuti Leon dan Alan meninggalkan kerumunan itu. Suasana sempat canggung beberapa saat, hingga Reina bersuara dengan nada menggoda.
"Hei, Ayah. Bukannya tadi kau kelihatan keren sekali, ya? Rasanya seperti sedang melihat film aksi."
Leon menatap Reina dengan ekspresi datar. "Kalau kau tidak memulai pertengkaran fisik, mungkin aku tidak perlu repot."
Reina mengangkat bahunya sambil tersenyum lebar. "Itu refleks! Mereka menyerang lebih dulu. Lagipula, aku tidak akan diam saja kalau mereka menyentuh adikku."
Althea yang berjalan di samping Reina menunduk, mencoba menahan senyumnya. Meski sering bertengkar, dia tahu Reina selalu melindunginya dalam situasi seperti ini.
Alan menyahut dengan tenang. "Kalian berdua terlalu mencolok di pasar malam. Tidak heran menarik perhatian orang-orang aneh."
"Kalau begitu, lain kali kami pakai jubah hitam, ya? Supaya lebih misterius," balas Reina dengan nada bercanda.
Leon menghela napas panjang. "Lebih baik kalian fokus mengurus sekolah daripada sibuk menjadi bintang drama di jalanan."
"Baik, Om," jawab Althea pelan, namun ada nada hormat dalam suaranya.
Setelah berjalan beberapa saat, mereka sampai di sebuah kedai makan kecil yang tampak nyaman. Leon memutuskan untuk menghabiskan malam itu di sana, membiarkan Reina dan Althea memesan apa pun yang mereka inginkan.
Sambil menikmati makanannya, Althea memberanikan diri bertanya, "Om, kenapa tadi kau langsung membantu kami? Bukankah biasanya kau menyuruh kami menyelesaikan masalah sendiri?"
Leon menatap Althea sejenak sebelum menjawab, "Karena kalian tidak bersalah. Aku tidak akan membiarkan orang lain menyentuh keluargaku tanpa alasan."
Kata-kata Leon membuat Althea terdiam, matanya sedikit berkaca-kaca. Reina, yang duduk di sebelahnya, menyikut pelan bahunya. "Lihat? Ayah kita itu sebenarnya pahlawan yang pura-pura jahat."
Leon mengabaikan komentar Reina sambil melanjutkan makan. Namun, ada senyum tipis yang terlintas di wajahnya, meskipun hanya sesaat.
"Aku masih kesal. Apa kau tidak kesal juga, Thea? Bagaimana kalau aku santet mereka? Aku sudah dapat rambut mereka, loh," usul Reina tiba-tiba sambil menyeringai lebar.
Althea menatap Reina dengan tatapan tajam, meskipun bibirnya sedikit tersenyum. "Kau gila, Reina. Jangan sampai kau benar-benar melakukannya. Mereka memang menyebalkan, tapi kita nggak boleh sampai turun ke level mereka."
Reina mendengus kesal, tapi senyumnya tak kunjung pudar. "Aku cuma iseng, kok. Lagipula, kadang mereka layak mendapatkan pelajaran."
Althea menggelengkan kepala, meski dia tahu betul betapa lezatnya balas dendam yang dijanjikan Reina. Namun, dia juga tahu bahwa ada cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah. "Kita harus tetap tenang. Jika kita ikuti cara mereka, kita nggak akan pernah keluar dari lingkaran ini."
Reina mendesah, lalu menatap Althea dengan senyum nakal. "Kau ini bijak sekali, Thea. Tapi kalau aku santet mereka, aku janji akan buat mereka menyesal, kok."
"Jangan macam-macam," kata Althea, meskipun di dalam hati, dia bisa merasakan sedikit geli dengan ide jahat Reina. "Ayo, kita pulang. Kita sudah cukup buat masalah hari ini."