Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Kakak Ipar
“Mil, kapan kamu nyusul? Sinta saja udah hamil anak kedua loh,”
“Iya nih, kami udah gak sabar pengen gendong anaknya Arman. Setelah ini kamu harus nyusul ya, Mil. Masa iya nikahnya bareng, hamilnya enggak?”
Hanya senyum tipis yang mengembang dari kedua sudut bibir Camila tatkala mendengar pertanyaan itu. Lantas, dia memilih pergi dari ruang tamu, “permisi, saya mau ke belakang sebentar, sepertinya kompornya belum mati,” pamitnya.
Bulir air mata mulai membasahi pipi setelah Camila berada di dapur. Dia berdiri di depan meja dengan kedua tangan berpegang pada pinggiran meja. Hatinya bergemuruh setiap mendengar pertanyaan mengenai kehamilan ataupun anak.
“Kenapa sih mereka suka mengulang pertanyaan yang sama?” gerutu Camila sambil menyiapkan minuman untuk kakak iparnya yang baru tiba. “Kenapa masalah anak selalu dipertanyakan kepadaku? Padahal, mereka pun tahu jika semua itu kuasa Tuhan.” Helaan napas berat terdengar saat Camila menggerutu.
Camila menatap nanar ke arah jendela dapur di mana kebun belakang rumah mertuanya terlihat jelas di sana. Wanita cantik itu sedang memikirkan rumah tangga yang dibina selama empat tahun ini. Belum ada tanda-tanda kehamilan meski Camila dan Arman sudah menjalani program hamil di klinik terbaik yang ada di Mojokerto.
“Sayang, kenapa melamun di sini?”
Suara bariton seorang pria terdengar di belakang tubuh Camila. Tentu hal ini membuat sang empu menoleh ke belakang. Rupanya suaminya menyusul ke dapur.
“Mas Arman dengar sendiri ‘kan bagaimana bude Sinah dan bulek Siti bertanya? Aku sedih tahu gak sih,” tanya Camila kepada suaminya dengan suara yang bergetar.
“Sudahlah. Tidak perlu diambil hati, nanti kamu bisa setres,” tutur Arman seraya mengambil nampan di rak. “Sebaiknya cepat bawa minumannya ke depan. Kasihan mas Yudi dan mbak Sinta sudah menunggu. Setelah ini kita pergi jalan-jalan, oke?” bujuk Arman agar istrinya tenang kembali. Dia sengaja datang ke dapur untuk membantu Camila.
Camila hanya menghela napas panjang setelah mendengar penuturan suaminya. Dia segera membawa nampan berisi minuman dan beberapa makanan ke ruang tamu. Sementara Arman termangu menatap punggung Camila yang perlahan hilang dari pandangan.
“Semoga Mila tidak mendengarkan ocehan orang-orang yang ada di ruang tamu,” gumam Arman. Pasalnya di ruang tamu ada beberapa kerabat yang ikut menyambut kedatangan Yudi dan Sinta.
Arman menyusul ke ruang tamu dan dia duduk di sofa yang ada di samping ibunya. Raut bahagia terlihat jelas dari wajah Aminah—ibunda Arman—saat mengamati bocah laki-laki berusia tiga tahun yang ada di atas pangkuan Yudi. Begitu pula beberapa orang yang ada di sana. Mereka sangat antusias ngobrol dengan Sinta.
“Man, masmu akan tinggal sementara di sini karena mbak Sinta kan gak bisa ditinggal sendirian di rumah. Jadi, nanti kamu dan Mila bantu-bantu menjaga Zafi ya. Kasihan Mbakmu sedang hamil muda,” jelas Aminah seraya menatap anak bungsunya itu.
“Iya, Man. Aku dipindahkan ke Surabaya. Kalau Mbakmu aku tinggal di Solo kasihan. Jadi, sekalian aku ajak saja tinggal di sini biar ada temannya. Zafi lagi aktif bergerak sedangkan mbakmu ini sedang hamil muda. Terus aku juga biar bisa pulang walau sebentar.” Yudi ikut menjelaskan perihal penting ini kepada Arman.
Yudi, kakak kedua Arman bekerja di salah satu perusahaan BUMN. Beberapa kali Yudi dipindahkan ke anak cabang yang ada di beberapa kota. Seperti saat ini, dari Solo dia harus pindah ke Surabaya. Alhasil anak dan istrinya ikut diboyong ke kota kelahirannya—Mojokerto—agar lebih dekat dengannya.
“Oh … iya, Mas. Silahkan saja. Lagipula rumah ini pun masih luas. Lalu, rencananya Mas mau PP Surabaya-Mojokerto setiap hari kah?” tanya Arman.
“Tidak, Man. Mungkin akhir pekan baru pulang. Aku tinggal di mes biar gak capek di jalan,” jawab Yudi.
”Ibu senang akhirnya bisa berkumpul dengan kalian. Biasanya Ibu suka kepikiran kamu, Yud. Terus kepikiran Mbakmu yang di Malang. Kalau sudah begini kan lega. Kalian lebih dekat dengan Ibu dan Bapak.” Aminah menimpali obrolan kedua putranya.
Sementara Camila hanya menyimak pembicaraan kakak beradik itu. Entah mengapa firasatnya menjadi tidak enak setelah tahu jika Sinta akan tinggal di rumah ini. Camila membayangkan bagaimana kehidupannya setelah ini. Pasti penuh dengan siksa batin. Mengingat kakak iparnya itu diam-diam menghanyutkan. Tutur katanya yang halus seringkali menjadi duri di hati Camila.
“Semoga saja mbak Sinta sudah berubah.” batin Camila seraya menatap Sinta sesaat.
Pernikahan Yudi-Sinta dan Arman-Camila dilangsungkan secara bersamaan empat tahun yang lalu. Mengingat, keduanya bertemu dengan jodohnya di waktu yang sama. Setelah menikah Yudi tinggal di rumah peninggalan orangtua Sinta di Solo. Sementara Arman tinggal di rumah orangtuanya. Pria yang berprofesi Guru Negeri SMA itu harus tetap tinggal di Mojokerto karena tuntutan pekerjaan. Alhasil Camila yang harus meninggalkan kariernya sebagai Teller Bank di Surabaya demi mengikuti langkah sang suami.
“Sebaiknya kalian istirahat saja. Pasti capek habis perjalanan jauh. Bapakmu tadi masih kumpulan haji di rumah abah Samsul.” ucap Aminah setelah cukup lama berbincang bersama beberapa kerabat yang masih ada di sana.
“Bu, setelah ini aku mau keluar sama Mila sebentar.” Arman berpamitan kepada orangtuanya.
“Kamu ini bagaimana toh, Man? Mas mu kan baru datang, kok malah mau keluar. Gak pantas lah,” sahut Sinah, kakak tertua Aminah.
“Iya, Man. Benar kata budemu itu. Mending di rumah saja. Lagipula setelah ini Mila juga harus bantu-bantu Ibu menyiapkan makan siang, ya, Mil?” Sahut Aminah seraya menoleh ke tempat Camila.
“Emm … i—iya, Bu.”
Camila hanya bisa pasrah setelah mendengar ucapan ibu mertuanya. Dia merasa kecewa karena rencananya gagal. Lagi dan lagi ibu mertua serta saudara-saudaranya ikut campur urusannya bersama Arman dan mungkin, setelah ini Sinta pun mengikuti jejak mereka.
“Bagaimana jika jalan-jalannya nanti malam saja?” tanya Arman setelah semua orang pergi dari ruang tamu. Dia pindah tempat di samping istrinya.
“Terserah Mas Arman saja,” jawab Camila dengan wajah murung.
“Jangan murung begitu, dong,” bujuk Arman seraya menangkup wajah cantik istrinya. “Akhir pekan nanti kita touring ke kota Batu yuk! Terus mampir ke rumahnya mbak Ana,” Ajak Arman. Ana adalah kakak pertama Arman.
Seketika ekspresi wajah Camila berubah setelah mendengar ajakan suaminya. Dia senang mendengar ajakan itu. Lagipula sudah lama mereka berdua tidak pergi ke luar kota karena ada beberapa kegiatan yang harus Arman lakukan. Musim panen cabai keriting pun menjadi salah satu penghalangnya. Mengingat, kedua orangtua Arman petani cabai keriting. Entah berapa banyak ladang yang dimiliki. Satu hal yang pasti, mereka salah satu keluarga terpandang di desanya. Entah dari segi ekonomi ataupun agama.
“Emmm … tapi sepertinya rencana kita nanti bakal kacau deh, Mas. Pasti ada saja yang menghalangi,” gumam Camila setelah sekelebat wajah Sinta terlintas di kepala. Sementara Arman hanya bisa tersenyum tipis seraya membelai rambut Camila.
...🌹TBC🌹...
...Selamat datang di karya baruku ya teman-teman❤️...
Arman mana tau,,berangkat pagi pulang sore
terimakasih
Anak sekarang benar2 bikin tepok jidat
Lagi musim orang sakit..
Fokus sama usahanya biar makin lancar..
Goprutnya ntar sampai hafal sama Mila 😀😀
Camila harus lebih tegas lagi
Yg g boleh itu jadi pengadu domba
Fokus saja sama keluarga dan usaha biar sukses