seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 18
Mentari pagi menyapa perlahan, menghangatkan jalanan kota yang masih lengang. Ayana duduk di kursi penumpang mobil Biantara. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya diisi dengan suara lembut musik yang mengalun dari radio. Biantara melirik Ayana beberapa kali, namun tak berani berkata banyak. Di wajah Ayana terpancar kelelahan, namun ada ketenangan yang perlahan tumbuh kembali.
"Bian, cukup sampai gerbang depan saja. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman." ucap Ayana dengan suara lembut
Biantara mengangguk pelan. Ia tahu Ayana sedang berusaha menjaga batasan, meski ia ingin memastikan wanita itu benar-benar aman.
"Baiklah. Tapi jika ada apa-apa, kau tahu di mana mencariku, kan?"
"Aku tahu. Terima kasih sudah selalu ada untukku."ayana mengangguk tersenyum tipis
Mobil berhenti di depan gerbang rumah Ayana. Ia melangkah keluar, menoleh ke arah Biantara yang masih menatapnya dengan cemas. Ayana melambaikan tangan, menegaskan bahwa ia baik-baik saja, sebelum masuk ke dalam rumah.
Langkah Ayana terdengar jelas di rumah yang sepi. Ia menatap sekeliling, berharap melihat tanda-tanda keberadaan Devano. Namun, tidak ada suara atau kehadiran yang menyambutnya. Ayana memeriksa ruang tamu, dapur, hingga kamar tidur, namun rumah itu benar-benar kosong.
Ia berhenti sejenak di tengah ruang tamu, menarik napas panjang.
"Dia tidak di sini... mungkin lebih baik begini."dalam hati Ayana
Matanya melirik ke taman kecil di luar, tempat mawar hitam kesayangannya tumbuh. Dengan langkah pelan, Ayana keluar dan mulai merawat bunga-bunga itu, seolah menemukan kedamaian di antara kelopak yang gelap namun indah.
Di lain tempat, Devano terbangun dari tidurnya. Sinar matahari sore masuk melalui celah gorden apartemennya, menusuk matanya yang masih berat akibat mabuk semalam. Kepalanya berdenyut, namun pikirannya langsung teringat pada Ayana.
Ia meraih ponselnya di meja, melihat waktu menunjukkan pukul lima sore. Sebuah pesan dari asisten rumah tangga muncul di layar, terkirim pukul sembilan pagi tadi.
"Nyonya sudah pulang pagi ini. Saat ini dia ada di rumah."
Devano terdiam sesaat, membaca pesan itu berulang kali. Perasaan lega memenuhi hatinya, menggantikan kecemasan yang semula membelenggu. Ia tersenyum kecil, meski kepalanya masih terasa berat.
devano berbisik pada dirinya sendiri
"Dia sudah pulang... dia baik-baik saja."
Tanpa berpikir panjang, Devano bangkit dari sofa. Ia meraih jaketnya dan keluar dari apartemen tanpa memperhatikan penampilannya. Kegembiraannya untuk segera bertemu Ayana mengalahkan semua hal lainnya.
Ayana masih sibuk dengan mawar-mawar hitamnya. Matahari mulai turun ke ufuk barat, mewarnai langit dengan jingga yang hangat. Tangannya perlahan menyentuh kelopak bunga, membersihkan daun yang layu. Ada rasa damai di hatinya, meski bayangan pembicaraannya dengan Devano terus menghantui pikirannya.
Sementara itu, suara langkah kaki mendekat dari gerbang. Devano tiba dengan napas tersengal, wajahnya terlihat lelah namun penuh semangat. Ia berhenti sejenak di gerbang, memperhatikan Ayana dari kejauhan.
"dia ada disini, di rumah ini"batin devano
Ayana menyadari kehadiran seseorang dan menoleh. Mata mereka bertemu, namun Ayana tetap tenang, meski ada sedikit kejutan di wajahnya. Devano melangkah mendekat dengan ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak tahu harus mulai dari mana.
dengan nada lembut, namun tegas
"Kau sudah pulang?"
Devano mengangguk, mencoba menutupi kecanggungannya dengan senyum kecil.
"Aku... Aku dengar kau sudah kembali."
Ayana menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke bunga-bunga di hadapannya.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, tapi kita bisa melakukannya nanti. Kau terlihat lelah, Devano."
"Tidak apa-apa. Aku ingin mendengar apa yang ingin kau katakan."devano berusaha tegar
Ayana hanya tersenyum samar, kemudian bangkit berdiri. Matahari yang hampir tenggelam menyorot wajah mereka berdua, menciptakan bayangan panjang di taman itu.
Saat ia mendekati Ayana, aroma alkohol menyeruak, membuat Ayana tanpa sadar mengerutkan kening. Ia menatap Devano dengan sorot mata yang sulit ditebak.
dengan nada datar Ayana berkata
"Kau mabuk?"
Devano menunduk, menyadari penampilannya yang berantakan. Rasa malu menghinggapi wajahnya.
"Aku hanya..."
Ayana memotong, dengan nada tegas
"Mandilah dulu, Devano. Kita bicara setelah itu."
Devano mengangguk pelan, tidak berani membantah. Ia berbalik dan berjalan menuju kamar mandi dengan langkah berat, meninggalkan Ayana yang berdiri di ruang tamu. Ayana menghela napas panjang, lalu duduk di sofa. Matanya menatap kosong ke depan, tangannya meremas ujung bajunya.
"bagaimana aku harus mengatakan ini tanpa membuat semuanya lebih rumit?"batin ayana
Ia mulai menyusun kalimat di kepalanya, mencoba menemukan cara terbaik untuk menyampaikan keputusannya. Meski hatinya terasa berat, Ayana tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil.
Ruang Tamu, Setelah Devano Kembali
Devano kembali ke ruang tamu setelah membersihkan diri. Rambutnya masih basah, dan ia mengenakan kaos sederhana. Aroma alkohol telah tergantikan dengan wangi sabun, namun matanya tetap menunjukkan kelelahan yang mendalam. Ia duduk di sofa di seberang Ayana, menatapnya dengan ragu.
"Kau ingin bicara?"
Ayana mengangguk, mengatur napasnya sebelum mulai berbicara. Suaranya tenang, namun ada ketegasan yang sulit disembunyikan.
"Devano, aku tahu ini tidak mudah, tapi kita tidak bisa terus seperti ini. Pernikahan kita sudah terlalu lama menjadi beban, bukan hanya untukku, tapi juga untukmu."
Devano mengerutkan kening, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia memajukan tubuhnya, menatap Ayana lebih dalam.
"Apa maksudmu, Ayana?"
Ayana menatap langsung ke matanya
"Aku ingin kita berpisah. Aku ingin membebaskan kita berdua dari belenggu ini."
Raut wajah Devano berubah. Perkataan itu seperti pukulan telak baginya. Ia terdiam beberapa saat, mencoba memproses apa yang baru saja ia dengar.
Devano dengan suara bergetar
"Jadi... kau ingin menceraikan aku?"
Ayana mengangguk pelan
"Iya, Devano. Bukan karena aku membencimu, tapi karena aku tahu kita berdua tidak bahagia. Kau tahu itu."
Devano menggelengkan kepala, suaranya meninggi sedikit.
"Apa ini karena Biantara? Setelah kita bercerai, kau akan kembali padanya, kan?"
Ayana dengan nada tegas mengatakan
"Ini bukan tentang Biantara. Ini tentang kita, Devano. Hubungan kita tidak sehat. Aku tidak ingin kita terus saling menyakiti."
Devano menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada kepedihan dan ketakutan yang jelas tergambar di wajahnya.
"Ayana, aku tahu aku banyak salah. Aku tahu aku tidak pernah menjadi suami yang baik untukmu. Tapi tolong, beri aku kesempatan lagi. Jangan akhiri ini."
Ayana menggeleng perlahan, menahan emosi
"Ini bukan tentang kesempatan, Devano. Ini tentang kenyataan. Kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang tidak ada. Aku sudah memutuskan, dan aku harap kau bisa menerima ini."
Devano berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu, mencoba mengendalikan pikirannya yang berantakan. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan rasa putus asanya.
"Kau benar-benar sudah memutuskan? "
dengan suara yang bergetar namun masih terdengar tegas ayana menjawab
"Aku sudah memutuskan, Devano. Aku ingin kita berpisah, demi kebaikan kita berdua."
Devano berhenti melangkah, lalu menatap Ayana dengan pandangan kosong. Ia tahu, meski ia mencoba membujuk Ayana, keputusan wanita itu sudah bulat. Dengan berat hati, ia mengangguk pelan.
"Baiklah... Kalau itu yang kau inginkan."
Ayana menunduk, merasakan beban yang sedikit terangkat dari dadanya, meski rasa bersalah masih membayangi. Devano berjalan ke arah pintu, berhenti sejenak sebelum benar-benar pergi.
"Aku hanya ingin kau tahu... aku mencintaimu, Ayana. Meski aku tak pernah tahu bagaimana cara menunjukkannya."
Ia pergi, meninggalkan Ayana yang duduk diam di sofa. Air mata perlahan mengalir di pipi Ayana, namun ia tidak menyesali keputusannya. Ia tahu, ini adalah jalan yang terbaik bagi mereka berdua.