Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 35
Beberapa hari setelah pertemuan dengan Shanum, hatiku gelisah tak menentu. Rasa penasaran atas apa yang ia ucapkan waktu itu, membelenggu keingintahuanku. Apa yang selesai? Ya Allah, dosakah aku jika ingin mengetahuinya?
"Kenapa ngelamun terus?" tegur Umi yang membuat tubuhku tersentak. Kubenahi duduk tatkala wanita berhijab lebar itu duduk di seberang sofa.
"Pasti mikirin Shanum, ya?" Kutatap wajah Umi dengan segera begitu ia menggodaku. Ada senyum nakal terbit di bibirnya, ia juga memainkan alis semakin menggoda.
Aku tertawa hambar, apa yang dikatakan Umi tidaklah salah. Aku memang sedang memikirkan Shanum, tapi aku sadar semua itu tidaklah pantas bagiku.
"Nggaklah, Mi. Masa iya, Shanum itu perempuan bersuami. Nggak bagus kalo Dzaki mikirin dia," kilahku tanpa berniat menatap matanya yang menyelidik.
"Kata siapa? Sebentar lagi nggak. Jangan gengsi digedein, nanti nyesel kalo keduluan disambar orang," cetus Umi yang membuatku segera memalingkan wajah padanya sambil menautkan alis bingung.
"Maksud Umi? Dzaki nggak ngerti, emang Dzaki udah keduluan, 'kan? Nggak salah," sahutku lesu.
Apa yang Umi ucapkan tidaklah salah, aku memang keduluan untuk menikahi Shanum. Apa lagi? Kuhela napas sembari melabuhkan punggung pada sandaran sofa. Kutekan rasa kecewa yang kembali timbul, agar tidak merusak diriku sendiri. Astaghfirullah al-'adhiim!
"Iya, emang kamu udah keduluan, tapi Umi nggak mau kecolongan lagi kedua kalinya."
Aku semakin bingung dengan ucapan ngelantur Umi, kutatap ia dengan mata menyipit. Menuntut penjelasan, tapi Umi justru beranjak dan meninggalkan aku dalam kebingungan.
"Maksud Umi apa, sih? Kok, ngebingungin gitu. Siapa yang kecolongan dua kali?" Kutatap meja di hadapan, berpikir dengan keras mencerna ucapan Umi.
"Jangan-jangan Umi mau ngejodohin aku sama perempuan lagi? Haduh, jangan dulu, Mi, kalo bisa. Dzaki belum siap bikin perempuan lain kecewa karena penolakan Dzaki nantinya." Aku meracau seorang diri, teringat pada waktu itu.
Waktu Umi mengenalkan aku dengan seorang gadis, anak dari temannya. Dia cantik, baik, pendiam, santun, dan juga lulusan terbaik di sebuah pesantren. Begitu katanya, tapi entah kenapa hatiku tidak menginginkan.
"Aku dengar Kakak dosen di sebuah universitas?" tanyanya waktu itu kala kami berbincang berdua.
Suaranya mengalun merdu, tapi yang mendengung di telinga justru alunan suara milik Shanum seorang. Aku belum mampu menggantikan nama itu di hati. Ia meraja di sana, menolak hadir nama lain.
"Ya, kenapa emangnya?" tanyaku tanpa menoleh ke arahnya. Kutatap langit cerah waktu itu, terbayang wajah Shanum yang tersenyum manis saat melepas kepergianku.
"Kakak laki-laki idaman pasti banyak perempuan yang mau jadi istri Kakak, tapi Kakak malah datang ke sini?" Kulirik gadis di samping, ia tertunduk tersipu. Apa yang membuatnya seperti itu?
"Ini kemauan Umi, bukan aku. Umi yang mengajakku ke sini, aku juga nggak tahu buat apa? Kenapa malah suruh ngobrol sama kamu, aku juga nggak tahu," balasku jujur.
Aku tak ingin membuatnya berharap, yang hanya akan menambah luka di hati nantinya. Biarlah, dia tahu jika semua ini bukan inginku. Melainkan Umi yang begitu antusias mencarikan aku jodoh.
"Jadi, Kakak nggak tahu kalo kita dijodohin?" tanyanya cukup membuatku tersentak.
Aku berpaling menatapnya tajam, sungguh itu refleks saja. Timbul dari rasa terkejut karena Umi tidak pernah mengatakan perjodohan.
"Maaf, tapi aku nggak tahu. Tolong, kamu jangan terlalu berharap karena aku belum bisa menerima gadis manapun buat jadi istri untuk sekarang. Permisi!"
Tak ingin berlama-lama berbincang yang tak ada manfaat, aku beranjak dan menghampiri Umi di dalam. Mengajaknya untuk kembali, dan membicarakan hal ini lagi bersamaku. Jujur aku kesal, tapi aku tidak memojokkan Umi karena tindakannya ini.
Raut kecewa dari gadis itu, masih sangat jelas dalam ingatan. Aku tidak ingin ada lagi yang terluka karena sikapku.
Bugh!
"Ya Allah!" Aku berpaling ketika sebuah pukulan mendarat di bahu. Umi berkacak pinggang menatapku tajam.
"U-umi, kenapa?" Bertanya dengan bingung kenapa tiba-tiba Umi memukulku?
Wanita berhijab lebar itu tidak menyahut, melainkan mengangkat piring di tangan bersiap untuk memukulku kembali. Refleks kuangkat tangan melindungi wajah.
"Siapa yang mau ngejodohin kamu? Udah cukup sekali aja umi malu karena kamu menolak perjodohan!" Umi melipat kedua tangan di perut, garis wajahnya mengeras. Ia tengah marah terhadapku, mungkin karena kejadian waktu itu.
"I-iya, Mi. Duduk dulu, jangan marah-marah. Ini bukan Umi, Umi Dzaki nggak pernah marah kayak gini," rayuku sembari menarik tangannya dengan lembut dan menuntun untuk duduk di sofa.
Umi menghela napas, menatapku dengan lembut kembali. Inilah umiku, bukan yang tadi.
"Ada apa, Mi? Kok, malah mukul Dzaki tadi?" tanyaku setelah Umi terlihat lebih tenang.
"Umi bukannya mau jodohin kamu, tapi apa kamu belum denger kabar tentang Shanum?" tanya Umi yang kembali membuatku bingung.
"Tahu, Mi, tapi Shanum bilang semuanya udah selesai. Apa lagi coba?" kataku seraya menjatuhkan punggung pada sandaran sofa.
"Bukan itu. Kamu tahu selesai itu apa?"
Aku menatap Umi, menggeleng pelan.
"Kemarin Umi nggak sengaja ketemu sama mamahnya Shanum, dia cerita banyak tentang rumah tangga anak itu. Shanum memilih cerai dari suaminya karena dia ketahuan selingkuh, di rumah mereka lagi," ujar Umi membuat tubuhku refleks menegak.
Aku tidak tahu bagian ini, kenapa baru mendengarnya? Ya Allah, apakah ini karena doa-doaku? Atau memang takdir akan memihak padaku?
"Beneran ini, Mi?" tanyaku memastikan.
Rasanya seperti angin segar di tengah gurun.
"Iya, mamahnya yang cerita. Dia minta maaf sama Umi karena udah maksa Shanum buat nikah sama laki-laki itu. Ya, mau gimana lagi? Kalo emang jodoh, nggak akan ke mana, tapi apa kamu mau nerima Shanum yang sekarang?" ucap Umi menyentak kesadaranku.
Pertanyaan itulah yang aku tanyakan pada diri sendiri beberapa waktu lalu. Seandainya Shanum berpisah dengan Raka, apakah aku siap menerimanya kembali dengan status baru? Aku terdiam, kelu rasanya lidah untuk beberapa saat.
"Shanum akan jadi janda dan punya anak, statusnya bukan lagi gadis. Kalo emang hati kamu nggak bisa nerima sepenuhnya, mending jangan. Umi nggak mau kalo kamu justru akan menambah luka di hatinya. Dia udah sakit," tutur Umi sedih.
Benar, apa yang diucapkan Umi memanglah benar. Itu juga yang aku pikirkan beberapa waktu lalu. Ketidaksiapan diriku akan status barunya itu, hanya akan menambah luka pada hati Shanum. Akan tetapi, ini adalah sebuah harapan. Benang merah itu mungkin saja akan terjalin kembali. Aku sudah siap menerima apapun statusnya.
"Kalo itu emang bener, Insya Allah Dzaki siap nerima, Mi."
Senyum lebar terbit di bibir yang hampir keriput itu. Apapun, untuk kebahagiaan kalian. Aku akan mendatangi Shanum mencoba memastikan kabar yang disampaikan Umi tadi.