"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Niklas
Ada ketenangan berlangsung malam ini karena Niklas tak berada di rumah sejak selesai makan malam. Ada baiknya dia tak di sini karena aku makin muak melihat wajahnya setelah terang-terangan membawa Bianca ke sini.
Aku tidak kesal karena merasa cemburu atau marah atau apa pun itu. Hanya kasihan pada mendiang Elma yang sekarang tak bisa melihat kelakuan sang suami. Tak tahu betapa brengseknya Niklas Pandu Atmaja.
"Non, saya izin masuk." Terdengar suara Bu Hesti berbarengan dengan ketukan pada daun pintu kamarku. Beliau muncul sembari tersenyum dan membawa nampan, di atasnya terlihat secangkir minuman hangat. "Cuacanya lagi nggak bagus dan akhir-akhir ini lagi dingin, Non. Silakan diminum," katanya.
"Terima kasih, Bu."
"Em, Non Tsania, saya sebenarnya mau minta maaf," katanya tiba-tiba saja.
"Untuk apa? Apa Ibu membuat kesalahan?"
"Saya membiarkan Mbak Bianca masuk ke sini seenaknya. Seharusnya saya ...."
Kalimat Bu Hesti tertahan saat aku menggeleng. Senyum tipis aku perlihatkan pada wanita itu. "Bukan salah Bu Hesti. Niklas sendiri yang mengizinkan sekretarisnya masuk ke rumah ini. Jadi, jangan merasa bersalah."
"Tapi, Non Tsania adalah nyonya di rumah ini. Harusnya Non juga memperingatkan Mbak Bianca biar nggak seenaknya," tukas Bu Hesti.
"Nggak apa-apa, Bu. Niklas nggak akan suka kalau saya mengatur-atur kehidupannya." Aku menggigit bibir selama sekian detik. Lalu melanjutkan, "Bu Hesti jangan bilang dulu pada Ibu Julia, ya? Biar nanti saya yang ngomong pelan-pelan."
Wanita paruh baya itu hanya mengangguk sekenanya, lalu berpamitan keluar. Meninggalkan aku yang kembali memikirkan kejadian beberapa jam lalu saat menemukan Bianca di rumah ini. Karena Niklas membiarkannya datang, dia mungkin akan bersikap seenaknya nanti.
"Apa ibunya Niklas perlu tau? Tapi bagaimana kalau Niklas marah karena aku yang mengadukannya? Dia pasti berpikir aku ikut campur urusannya dengan Bianca," gumamku.
Demi menyingkirkan keresahan itu, aku kembali menatap layar laptop dan fokus bekerja. Malam ini aku harus membuat slide presentasi pada PowerPoint untuk pertemuan dengan wali murid minggu depan. Meski isinya perkembangan kelas, foto kegiatan anak-anak, dan rencana kegiatan bulan berikutnya, aku sesekali mengerutkan kening.
Pada kolom-kolom lain, aku mengisi daftar nama anak yang harus diisi pada laporan perkembangan. Memberikan catatan-catatan mengenai perilaku mereka yang membuatku senyum-senyum sendiri. Apalagi pada bagian kolom berisi nama Aurora. Anak-anak itu selalu membuat semangatku kembali.
Atensiku beralih pada ponsel yang bergetar. Beberapa pesan masuk terlihat pada layar ponsel. Nama Ibu Julia dan Ervin terlihat di bar notifikasi. Pesan masuk dari masing-masing kontak itu. Aku memilih membuka pesan tersebut.
Ervin: malam, San. Sudah tidur belum? Besok aku mau menjemput Aurora, mau makan siang bersama? Dia pasti senang kalau kamu ikut.
Ibu Julia: San, besok makan siang bersama ayah dan Ibu, ya. Ayah Sandy besok malam akan pergi ke Malang, jadi dia ingin kita makan malam bersama. Ibu sudah mengabari Niklas juga.
"Duh, gimana ini?" gumamku.
Padahal gampangnya, aku bisa menolak Ervin karena ajakan mertuaku lebih penting. Namun, aku merasa menolak Ervin tidak akan membuat hatiku tenang. Selama sekian jam, aku hanya mengabaikan pesan itu. Tak ada satu di antara mereka yang kubalas.
———oOo———
"Bunda?" sapa Aurora saat kelas mulai sepi. Hanya dia yang belum beranjak pergi.
Aku masih duduk di kursi sembari merapikan beberapa buku yang digunakan anak-anak saat pelajaran tadi. Ketika Aurora mendekat, aku mengulas senyum lembut. Anak itu terlihat sangat antusias.
"Kenapa, Rora?" tanyaku.
"Bunda, mau ikut makan siang denganku dan Om Ervin, 'kan? Semalam aku sudah bilang ke Om Ervin agar mengajak Bunda Tsania," katanya.
Sejujurnya aku belum menjawab pesan Ervin semalam. Tentu saja karena acara makan siang dengan keluarga Niklas harus menjadi prioritasku. Rencananya, aku akan menolak ajakan Ervin secara langsung, bukan lewat pesan.
Akan tetapi, melihat wajah antusias Aurora membuat nyaliku menciut. Anak ini pasti sangat berharap jika aku iku. Ah, andai saja aku bisa membelah diri atau memiliki jurus menduplikat diriku sendiri.
"Em, memangnya Om Ervin sudah datang, Sayang?" tanyaku.
"Belum. Pasti Om terlambat lagi menjemputku, Bunda. Kebiasaan." Pipi tembam Aurora tertekuk, terlihat menggemaskan.
Aku mencubitnya dengan lembut. "Ya sudah, kita tunggu Om Ervin dulu. Baru nanti Bunda memutuskan ikut atau tidak."
"Yah, Bunda ikut saya. Ya, ya?" Aurora lagi-lagi mendesakku.
Ajakannya hanya aku balas dengan senyuman tipis. Lalu, aku mengajak Aurora untuk keluar dari kelas. Menemani dia di halaman depan sekolah sembari menanti kedatangan Ervin.
Berselang lima menit kemudian, Ervin datang. Audi hitamnya terlihat memasuki pekarangan sekolah. Lelaki yang memakai kemeja berlengan pendek itu turun dari mobil seraya melepas kacamata hitam. Aurora turun dari ayunan dan berlari menyambut sang paman.
"Om Ervin! Aduh, lama sekali," komentar bocah itu.
"Sorry, Rora, di jalan macet. Lama ya nunggunya?" Ervin berjongkok seraya mengambil alih tas Aurora.
Aku termenung di tempat, menyaksikan pria dewasa yang terlihat lucu menyampirkan tas bocah kecil berwarna pink di lengannya yang kemar. Melihatku tersenyum, Ervin memperlihatkan hal yang sama. Aurora kembali mendekat. Kini sambil memegangi jemariku.
"Bunda, jadi ikut, 'kan?" tanya Aurora seraya mendongak.
"San, apa ada acara lain?" Ervin seakan-akan bisa memahami isi kepalaku.
"Em, sebenarnya ...."
Aku belum sempat menjawab saat suara klakson terdengar dari arah belakang kami. Jeep hitam itu tampan sangat familiar. Pengendaranya terlihat dari balik kaca yang mobil. Siapa lagi kalau bukan Niklas?
Oh, Tuhan! Apa yang dia lakukan di sini?
Sependek ingatan, aku tak pernah membuat janji dengannya untuk bertemu. Apalagi sampai datang ke sekolah segala. Aku mengernyitkan dahi dengan heran. Begitu pula Ervin yang menatapku sedikit penasaran.
"Kamu ngapain ke sini, Niklas?" tanyaku saat dia turun dan mendekati kami.
"Menjemput kamu," jawab Niklas dengan santai. "Kamu nggak lupa hari ini kita ada rencana makan siang bersama ayah dan ibuku? Mereka menunggu kita."
"Aku bilang kita ...." Kalimatku tertahan saat melihat area parkir. Mobil yang biasa aku kendarai hari ini mendadak masuk bengkel. Sialan, aku tak bisa mengelak.
Tiba-tiba Aurora maju dan mendongak ke arah Niklas. "Om siapa? Kenapa mau menjemput Bunda Tsania? Bunda akan pergi bersamaku dan Om Ervin," katanya.
"Bunda?" Niklas menyeringai sesaat. Tatapannya terbagi antara aku dan Ervin. "Sorry, Gadis Kecil. Tapi, Bunda kamu ini akan pergi dengan saya."
"Tidak!" Aurora bersikeras. Dia mendongak pada Ervin. "Om, itu bohong kan? Bunda akan pergi bersama kita."
"Tanya saja pada bundamu ini," kata Niklas lagi-lagi memancing kekesalan Aurora.
Aku berjongkok di depan Aurora. Berusaha agar kata-kataku bisa membuatnya tenang. "Maaf, Rora. Bunda nggak bisa ikut hari ini. Bunda harus pergi dengan Om Niklas."
"Memangnya dia siapa, Bunda? Kenapa harus pergi dengan Om ini?" Aurora menatap Niklas dengan sorot jengkel.
Bukan aku atau Niklas yang menjawab, tetapi Ervin yang bersuara saat mengangkat tubuh Aurora dan menggendongnya. "Om ini suaminya Bunda Tsania, Rora. Jadi, kita pergi berdua saja hari ini. Jangan cerewet lagi, oke?"
Sesaat setelah itu, Ervin berpamitan meninggalkan aku dan Niklas.