Mendadak Nikah
Di sebuah rumah sakit, terbaring seorang laki-laki paruh baya. Dengan kondisi yang benar-benar memperihatinkan, seluruh tubuh penuh luka, tangan dan kakinya patah. Bahkan, sebagian tulang remuk. Namun, dia masih bertahan dan memanggil seseorang kepercayaannya.
"Tuan, sebaiknya Anda tidak banyak bicara dulu," pinta seorang laki-laki lainnya yang datang tergesa setelah seorang perawat memintanya untuk datang.
"Darwis, aku titipkan Denis kepadamu. Berikan ini padanya, hadiah dari ayah. Bila suatu saat ayah atau orang kepercayaannya melihat, mereka akan mengenali Denis dengan mudah. Uhuk-uhuk!" ucap Surya dengan suara yang lemah.
"Tuan! Tolong, jangan berbicara seolah-olah Anda akan pergi meninggalkan tuan muda. Tuan Muda sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini selain Anda. Saya mohon, bertahanlah, Tuan. Demi tuan muda," mohon Darwis sambil menangis pilu.
Laki-laki yang dipanggilnya tuan itu tersenyum. Menepuk lengan sang asisten meski tanpa tenaga. Dia sangat mempercayai Darwis.
"Jangan bawa Denis kembali ke rumah itu. Ambil saja semua uangku, dan bawa dia pergi bersama keluargamu. Aku percayakan Denis kepadamu. Hanya kau yang dia miliki ... dia ... dia ... argh!"
Laki-laki tersebut terkulai, lunglai tak bernapas. Alat pendeteksi jantung berbunyi nyaring, menampilkan garis lurus yang berkepanjangan.
"Tuan! Tuan! Bagaimana ini?" Dia yang bingung segera menekan tombol untuk memanggil para tenaga medis.
Harapan masih memiliki banyak waktu untuk bersama, tapi takdir berkata lain. Sang tuan pergi untuk selamanya, meninggalkan tanggung jawab besar. Seorang anak berusia lima tahun yang harus dia lindungi. Ibunya meninggal saat melahirkan, dan banyak orang yang menginginkan kematiannya. Kecuali sang kakek, yang terus mencari keberadaannya.
****
Dua puluh tahun berlalu, anak yang dulu ditinggal mati oleh ayahnya kini telah tumbuh dewasa. Menjadi sosok pemuda tampan nan rupawan meski memiliki bekas luka di wajah. Itu diakibatkan karena kecelakaan dulu bersama sang ayah.
"Paman, Bibi, terima kasih sudah merawatku dengan baik. Aku berjanji pada kalian akan hidup dengan baik. Beristirahatlah dengan tenang, sampaikan salamku pada ayah. Katakan padanya, aku tumbuh dengan baik dan akan tetap baik-baik saja," ucapnya di hadapan dua gundukan tanah yang baru saja mengubur ayah angkatnya.
Dia Denis Agata Mahendra, putra dari Surya Mahendra, juga cucu dari Jaya Kusuma Mahendra. Seorang pengusaha sukses yang memiliki kuasa di kota tempat dia tinggal. Denis memiliki postur tubuh tinggi, mata setajam elang dibingkai alis yang tebal. Hidungnya mancung serta bibir yang seksi membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona. Ia bangkit, menatap ketiga pusara yang berdampingan. Enggan untuk pergi, tapi cepat atau lambat itu semua akan ia tinggalkan jua.
"Tuan Muda, selanjutnya bagaimana? Apa Anda akan tetap di sini!" tanya seorang laki-laki seusia Denis. Ia berdiri berdampingan, menabur bunga di pemakaman kedua orang tuanya. Dia Haris, anak dari Darwis--orang kepercayaan ayah Denis sekaligus yang telah merawatnya dari kecil.
"Tidak, Haris. Aku akan meninggalkan tempat terpencil ini, aku akan ikut denganmu ke kota," jawab Denis sembari tersenyum menatap Haris.
"Jangan panggil aku tuan, kita saudara. Kamu harus ingat," tambah Denis lagi yang disambut anggukan kecil oleh Haris.
"Baiklah. Aku sudah menyiapkan apartemen untukmu. Lalu, bagaimana dengan perusahaan? Apa kau akan mulai menduduki kursimu?" tanya Haris lagi berharap Denis akan mulai bekerja dan tidak melulu mengandalkan dirinya.
Denis melirik sambil mengulas senyum tipis.
"Belum saatnya, Haris. Aku ingin bertemu keluargaku terlebih dahulu, terutama kakek. Setelah itu, aku akan datang ke perusahaan," jawab Denis disambut helaan napas panjang dan dalam oleh Haris.
"Baiklah, terserah kau." Haris mengalah, berbalik dan pergi terlebih dahulu. Kini, tanggung jawab menjaga Denis berada di tangannya sesuai perintah sang ayah.
Denis mengejar, merangkul bahu saudara angkatnya itu. Mereka sangat dekat, seperti saudara sendiri. Hari itu juga, Denis memutuskan untuk pergi ke kota asalnya. Mencari tahu tentang anggota keluarga sekaligus penyebab kecelakaan beberapa tahun lalu yang menewaskan ayahnya. Juga membuatnya cacat, bekas luka di pipi tak akan pernah ia lupakan.
"Kau tidak ingin pergi mengobati bekas luka itu? Kudengar sada dokter bedah plastik yang mampu menghilangkannya," ucap Haris setelah mereka duduk di dalam mobil.
"Tidak, biarlah. Aku senang dengan bekas luka ini karena mengingatkanku pada balas dendam atas kematian ayah," jawab Denis dengan dingin.
Haris mengangguk dan tak lagi banyak bicara. Ada rasa enggan dan besar meninggalkan daerah terpencil itu. Di mana banyak kenangan manis yang mungkin akan pupus ditelan waktu. Deburan ombak di pantai mengiringi perjalanan mereka, seolah-olah melepas kepergian sanak saudara dari buaian.
Suasana pedesaan yang tenang dan tentram, damai dan penuh kebahagiaan. Mungkin tak akan pernah mereka temukan lagi di kota yang akan dituju.
****
Setengah hari menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di kota tujuan. Alih-alih beristirahat, Denis justru ingin melihat-lihat keadaan kota tersebut. Jalanan begitu dipadati kendaraan, kemacetan mengular hingga puluhan kilometer. Gedung-gedung pencakar langit berjejer di kanan dan kiri jalan. Sangat jarang sekali pepohonan, tak seperti desa tempat tinggalnya dulu.
"Kenapa malam begini masih macet? Apa memang setiap hari seperti ini?" tanya Denis pada Haris yang setiap Minggu bolak-balik pergi ke kota.
"Iya, memang seperti ini. Bagaimana? Apa kita ke apartemen saja dan beristirahat?" tanya Haris.
"Oh, tidak! Aku ingin pergi ke tempat itu." Denis menunjuk gedung paling tinggi dengan lampu yang berkelap-kelip.
Tanpa berkata-kata, Haris segera pergi menuju gedung tersebut. Sebuah hotel milik keluarga Mahendra yang sedang mengadakan pesta pertunangan.
"Hotel ini milik keluargamu, sepertinya di dalam sedang ada pesta," ujar Haris setelah berhenti di seberang jalan hotel tersebut.
"Milik keluargaku? Itu artinya kakek ada di dalam? Aku ingin masuk," jawab Denis yang hendak membuka pintu, tapi dengan cepat dicegah Haris.
"Memang siapa yang mengenalimu? Aku sendiri belum pernah melihat kakekmu. Kau tidak akan pernah diizinkan masuk," sergah Haris.
"Aku punya ini," ucap Denis sambil mengeluarkan kalung pemberian Darwis.
Haris memutar bola mata malas, "Ayah bilang hanya kakek yang mengenali kalung tersebut. Mereka tidak." Haris menunjuk para penjaga di pintu masuk.
Denis membanting tubuh, membenarkan ucapan Haris. Berselang dia melihat seorang laki-laki tua tengah berjalan sendirian di tempat sepi. Di belakangnya, seseorang mengikuti dengan pisau di tangan. Denis tersentak, tanpa menunggu waktu dia keluar.
Tepat, saat orang tersebut hendak menikam laki-laki tua itu, Denis menariknya dan menahan pisau itu dengan tangannya. Lalu, menendang si penjahat dengan sangat kuat hingga terjengkang. Tak hanya itu, Denis melempar pisau tersebut dan memberikan bogem mentah hingga babak belur tiada berdaya.
Di saat itu kalung yang dikenakannya keluar, dan laki-laki tua tersebut melebarkan mata saat melihatnya.
"Itu ... itu ...."
"Kakek, Anda tidak apa-apa?" Denis mendongak, terlihat panik saat melihat serombongan orang berseragam datang.
"Tuan! Tuan!" Mereka memanggil.
"Itu ... kau ...." Laki-laki tua itu menatap Denis dengan saksama.
"Maaf, Kek. Saya harus pergi." Denis pergi dan kembali masuk ke dalam mobil. Meminta Haris segera melaju.
"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya salah seorang dari mereka.
"Tangkap orang itu!" Beberapa orang meringkus si penjahat.
"Temukan pemuda dengan luka di wajahnya. Aku ingin kau segera membawanya kepadaku," titah laki-laki tua itu.
"Baik, Tuan." Meski bingung, sang pengawal tetap mematuhi perintahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Tuh kakek kamu tolong gih..
2024-11-14
0
martina melati
br bab 1 sdh seru... langsung bertemu kakek
2024-09-10
0
riiina
Baru nemu lagi punya kak Aisy...😊
2024-07-26
1