Erlangga Putra Prasetyo, seorang pemuda tampan dengan sejuta pesona. Wanita mana yang tidak jatuh cinta pada ketampanan dan budi pekertinya yang luhur. Namun di antara beberapa wanita yang dekat dengannya, hanya satu wanita yang dapat menggetarkan hatinya.
Rifka Zakiya Abraham, seorang perempuan yang cantik dengan ciri khas bulu matanya yang lentik serta senyumnya yang manja. Namun sayang senyum itu sangat sulit untuk dinikmati bagi orang yang baru bertemu dengannya.
Aira Fadilah, seorang gadis desa yang manis dan menawan. Ia merupakan teman kecil Erlangga. Ia diam-diam menyimpan rasa kepada Erlangga.
Qonita Andini, gadis ini disinyalir akan menjadi pendamping hidup Erlangga.Mereka dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
Siapakah yang akan menjadi tambatan hati Erlangga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali ke Surabaya
Keesokan harinya.
Pagi-pagi Aira sudah datang ke rumah Bu Fatimah. Ia menyapu halaman rumah itu. Ia khawatir Bu Fatimah akan mendahuluinya seperti beberapa hari kemarin saat kejadian naas Bu Fatimah digigit ular.
Mendengar suara sapu di halaman rumah, Erlangga membuka pintu. Ia pikir Neneknya yang menyapu, ternyata Aira. Erlangga menyunggingkan senyum.
"Pagi Aira." Sapa Erlangga dari jauh.
"Pa-pagi, Mas Er."
"Kak Iwan ada di rumah?"
"Ada Mas, masih mandiin anaknya."
"Oh... "
Erlangga duduk di teras rumah menikmati udara pagi yang sangat sejuk. Aira lanjut menyapu halaman, namun hatinya tidak tenang. Padahal menurutnya tidak mungkin Erlangga memperhatikannya, namun dia saja yang merasa gugup.
Tidak lama kemudian, Bu Fatimah keluar. Ia membawakan segelas susu hangat untuk Erlangga.
"Diminum biar hangat badannya. "
"Makasih, Nek."
Bu Fatimah duduk di samping Erlangga.
Ia memperhatikan Aira yang sedang menyapu. Sekilas kemudian ia melihat Erlangga. Dalam hatinya muncul ingin memancing pendapat Erlangga.
"Er.. "
"Iya, Nek."
"Aira itu cantik ya?" Tanya Bu Fatimah dengan suara yang sangat pelan.
"Iya, namanya perempuan cantik Nek."
"Nenek tanya secara pribadi, cantik ndak?"
"Iya, cantik."
Bu Fatimah mengulum senyumnya.
"Nenek ndak bisa bayangin kalau Aira itu nantinya menikah dan dapat orang jauh, terus dibawa sama suaminya. Nanti Nenek sama siapa ya Er?"
Erlangga terkejut dengan ucapan Neneknya. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu.
"Ya sudah, kalau nanti Aira menikah dan ikut suaminya, Nenek ikut Er, hehe... Sudah, nenek jangan jauh-jaih dulu pikirannya. Memangnya Aira sudah ada calon Nek?"
"Belum, dia selalu menolak lamaran laki-laki karena takut tidak bisa menjaga Nenek. kenapa, apa kamu mau melamarnya?
"Nek, Erlangga sudah menganggap Aira itu adik Er sendiri."
"Tapi kenyataannya kalian itu bukan Kakak adik, kalian bisa menikah."
"Sudah ya Nek, jangan bahas itu."
Tiba-tiba terdengar suara dering handphone Erlangga dari dalam kamarnya. Ia segera masuk ke kamarnya untuk menerima panggilan. Ternyata yang menelpon adalah Papanya. Papa Pras ada agenda ke luar kota besok. Jadi kalau bisa Erlangga segera kembali masuk ke kantor untuk menghandle proyek yang sudah berjalan. Karena merasa Neneknya sudah baik-baik saja, Erlangga pun mengatakan kalau dirinya akan pulang hari ini juga.
"Siapa yang telpon, Er?"
"Papa."
"Kenapa?"
Erlangga pun menjelaskan persoalannya. Bu Fatimah sangat mengerti dengan keadaan Erlangga. Ia pun mengizinkan Erlangga untuk kembali hari ini juga ke Surabaya.
"Nenek nggak pa-pa, kan?"
"Nggak pa-pa. Asal nanti akhir bulan kamu ke sini lagi ya, tengok in Nenek."
"InsyaAllah, Nek. "
Erlangga pun mengemas barang-barangnya. Ia berusia untuk kembali ke Surabaya. Tepat jam 9 pagi setelah selesai sarapan bersama Neneknya, Erlangga pamit untuk balik.
"Hati-hati ya."
"Iya, Nek. Nenek juga hati-hati. Jangan kerjakan apa pun di luar rumah. Cukup di dalam rumah saja."
"Iya, iya."
"Aira, aku tiap Nenek ya."
"Iya, Mas."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Bu Fatimah dan Aira melambaikan tangannya kepada Erlangga. Bu Fatimah memperhatikan wajah Aira yang nampak ada sesuatu yang lain.
"Nduk, kamu baik-baik saja?"
"Ah iya, Nek. Tentu Aira baik-baik saja. Ayo masuk ke dalam Nek."
"Iya, ayo."
Erlangga sudah berada di di separuh perjalanan. Ia menyetel musik lagu sholawatan untuk menemani perjalanannya agar tidak mengantuk.
Setelah satu jam kemudian, akhirnya ia telah sampai di tol Sidoarjo. Sebentar lagi ia akan sampai di Surabaya.
Akhirnya ia pun sampai di rumah. Bunda Winda sudah menunggunya di depan rumah. Erlangga menyunggingkan senyum saat melihat sang Bunda mondar mandir di depan pintu rumah.Melihat putranya datang, Bunda bersyukur.
"Assalamu'alaikum... "
"Wa'alaikum salam. "
Erlangga mencium punggung tangan Bunda Winda lalu mengecup keningnya.
"Kenapa Bunda mondar-mandir kayak orang bingung gitu?"
"Bang, Bunda mana bisa tenang kalau abang belum sampai rumah."
"Sekarang Er sudah sampai Bunda. "
"Iya, alhamdulillah. Ayo masuk, mandi dan shalat dulu setelah itu makan siang. "
"Iya, Bunda."
Erlangga memberikan oleh-oleh yang ia bawa dari Kediri. Jambu air dan ubi."
Erlangga masuk ke kamarnya, kamu menelpon Neneknya untuk memberitahu bahwa dirinya telah sampai. Kemudian ia mandi dan shalat Dhuhur. Setelah itu, ia turun ke bawah untuk makan siang bersama dengan keluarganya yang lain.
Setelah selesai makan bersama, Bu Widia menanyakan kabar Bu Fatimah kepada Erlangga. Erlangga pun menceritakan keadaan Neneknya di sana. Ia juga menceritakan tentang Aira yang sangat tulus merawat Neneknya.
"Kalau dari ceritamu, Aira itu sepertinya sayang banget sama Bu Fatimah ya, Er?"
"Iya, Oma. Aira sudah menganggap Nenek itu Neneknya sendiri. Anaknya juga baik dan rajin."
"Kamu suka?"
"Maksud Oma?"
"Ya kali aja kamu suka sama Aira gitu. Kan enak, biar nggak usah cari-cari calon lagi kamu."
"Nggak Oma nggak Nenek sama saja." Batin Erlangga.
Erlangga pun tidak menanggapi pertanyaan Oma Widia. Ia pamit kembali ke kamar karena ia mengantuk dan capek.
"Ya sudah sana tidur."
"Oma tahu itu hanya alasanmu untuk menghindari Oma, Er. Sebenarnya perempuan yang seperti apa yang kamu mau?" Batin Bu Widia.
Erlangga pun masuk ke kamarnya. Ia benar-benar langsung naik ke atas tempat tidur dan merebahkan diri karena capek dan mengantuk. Tidak lama kemudian, ia pun terlelap.
Malam harinya.
Selesai makan malam bersama, Erlangga dan Papanya berada di ruang kerja.Mereka membahas proyek.
"Sebenarnya Papa inginnya kamu yang berangkat ke Jawa Barat, biar kamu ada pergerakan. Tapi kamu baru balik. Jadi Papa saja. Next ksmu nanti yang berangkat."
"Iya, Pa."
Tok tok tok
"Siapa?"
"Bunda."
"Masuk, Bun."
Winda masuk dengan membawa nampan yang berisi minuman dan sepiring kue lapis.
"Serius sekali sih. Ini minum dulu wedang jahenya."
"Terima kasih ya, Bun." Ucap Erlangga.
"Sama-sama."
Winda hendak keluar dari ruang itu, namun suaminya melarangnya.
"Hei, mau ke mana?"
"Keluar, Pa."
"Duduk saja di sini, kita sudah selesai kok."
"Baiklah."
Winda duduk di samping suaminya. Mereka ngobrol seadanya. Tiba-tiba Winda ingat kalau Erlangga belum pergi ke makam Mama dan Kakeknya. Ia pun mengingatkan Erlangga untuk pergi nyekar ke makam Mamanya.
"Iya, Bunda. InsyaAllah besok pagi sebelum ke kantor Er akan ke makam Mama."
"Udah malam, kalau memang sudah selesai, istirahat saja, Pa, Bang."
"Bilang saja kalau Bunda minta ditemani tidur." Ucap Pras.
"Ya Allah, Papa...."
"Duh repot kalau sudah berurusan dengan ABG tua, Er ke kamar duluan deh."
Er segera beranjak dari sofa dan keluar dari ruangan itu. Ia tak ingin mengganggu kemesraan kedua orang tuanya.
Bersambung....
...****************...
lanjut
semangat untuk up date nya
semoga bahagia terus Erlangga dan Rifka