Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Si Bibik hari ini sangat senang karena Handoko mengijinkannya menengok Nara. Bahkan ia sendiri yang mengantar si bibik ke Rumah Sakit.
"Malam ini biar Bibik yang menemani Nara. Kamu pulang dan istirahat." titah Handoko pada Gerry.
"Besok Kamu masuk kerja seperti biasa, ya? Sudah cukup 2 hari ini Kamu menemani Nara." kata Handoko lagi.
"Baik, Pa." angguk Gerry. Ia memang terlihat seperti menantu yang patuh.
Gerry berjalan beriringan dengan Handoko setelah Handoko melihat keadaan Nara.
"Sejak kemarin memang begitu terus keadaannya, Pa." katanya memberi laporan. Handoko menghela nafas dengan berat. Ia tidak sanggup berlama - lama bersama Nara. Peralatan medis yang menempel di tubuh Nara mengingatkannya pada almarhumah istrinya. Rasanya sungguh berat.
Sudah 2 hari Nara dalam keadaan koma. Tidak ada perkembangan sama sekali.
Si Bibik menatap tubuh Nara yang hampir tertutup peralatan medis. Airmata sudah menganak sungai di pipinya.
"Bibik di sini, Non. Non Naya mau apa? Bilang sama Bibik, ya?" bibirnya bergetar. Tangannya tidak henti membelai lengan Nara. Tidak ada reaksi dari Nara.
"Bangun dong, Non. Tidurnya jangan lama - lama. Bibik kangen, Non." suaranya makin serak. Sudah setengah jam ia mengajak Nara berbicara meski tidak pernah ada gerakan dari Nara. Apalagi jawaban.
"Non, Non masih ingat Dirga? Dia sedang berangkat umroh, Non. Baru berangkat tadi pagi."
Tiba - tiba si Bibik merasa jari - jari tangan kiri Nara bergerak. Ia berhenti berbicara untuk mengamati dengan lebih seksama.
Bibik mengusap matanya. Mungkin ia salah melihat.
Perawat khusus yang berada di ruangan itu menyapa si Bibik,
"Bu, sudah cukup, ya? Silakan Ibu tunggu di luar."
"Kenapa Saya nggak bisa di sini aja, Sus? Saya kan nggak ganggu." protes si Bibik seraya mengusap airmatanya.
"Memang peraturarnnya begitu, Bu. Ini sudah malam. Biarkan pasien beristirahat."
Si Bibik terpaksa melepas baju khususnya dan menggantungnya lagi di tempatnya sebelum keluar dari ruangan.
"Biarkan pasien beristirahat. Emang dari tadi nggak istirahat? Kan Non Naya tidur terus dari kemarin." dumelnya kesal. Tapi ia harus menuruti aturan dari rumah sakit itu.
Si Bibik duduk di bangku depan ruangan ICU dengan menyelonjorkan kedua kakinya.
Perawat yang tadi keluar dari ruangan ICU karena lapar. Ia ingin makan di kantin Rumah Sakit.
"Eh, Neng!" panggil si Bibik. Perawat itu menoleh.
"Iya, Bu. Ada apa?"
"Neng mau kemana?" tanya si Bibik.
"Mau makan dulu, Bu. Saya lapar."
"Lah, terus Non Naya siapa yang jagain?"
"Naya?" Perawat itu menautkan alisnya.
Si Bibik tersadar.
"Nara. Inara." jawabnya cepat.
"Oh." perawat itu mengangguk.
"Sebentar kok, Bu. Saya belum sempat makan tadi."
"Tapi bagaimana kalau Non Naya kenapa - kenapa?" si Bibik merasa perawat itu kurang profesional. Masa' meninggalkan pasiennya sendirian? Tidak ada penggantinya, kah?
"Sebentar aja kok, Bu. Daripada Saya pingsan karena kelaparan? Kan lebih repot." perawat itu tersenyum. Ia biasa menghadapi keluarga pasien seperti ini.
"Bagaimana kalau Saya yang nungguin di dalam?" si Bibik merasa punya ide yang brillian. Kalau perawat itu sampai menolaknya ia akan..
"Baiklah, tapi hanya sampai Saya kembali, ya?" perawat itu mengangguk dengan senyuman yang masih bertengger di wajahnya.
"Ya udah. Pergi aja, Neng. Saya yang jagain Non Naya. Tapi kalau ada apa - apa Saya harus gimana?"
"Apa - apa gimana, Bu?" tanya perawat itu geli.
"Kalau Non Naya bergerak - gerak, gitu." tanya si Bibik bersemangat.
"Ooh, itu. Di atas pasien ada tombol, Bu. Pencet aja, ya." jelas perawat itu.
"Oke. Neng pergi sana. Tapi jangan lama - lama. Saya takut sendirian."
Si perawat mengangguk seraya tertawa.
"Ibunya lucu." gumam perawat itu sambil berjalan ke kantin.
******************
"Bagaimana rumahnya, Sayang?" tanya Gerry mesra. Hal pertama yang terpikir olehnya setelah tiba di kamarnya adalah Maya.
Ia menghabiskan gajinya bulan ini untuk membayar kontrakan Maya selama 2 tahun.
"Lumayan." jawab Maya pendek. Dibandingkan rumah Dirga tentu masih kurang besar. Tapi untuk apa juga besar - besar? Toh ia hanya tinggal sendirian.
"Lumayan?" dahi Gerry berkerut. Gaji bulan ini tak bersisa, bahkan tabungannya sudah menipis, semua untuk memenuhi keinginan pujaan hatinya ini.
Maya tersadar. Ia seperti tidak tau berterimakasih. Ia berpikir sejenak untuk mencari kalimat yang dapat menyenangkan Gerry.
"Lumayan, Sayang. Lebih lumayan lagi kalau Kamu ikut tinggal bersamaku." Maya melancarkan rayuannya dan berhasil,
"Apa boleh?" tanya Gerry bersemangat. Maya tertawa kecil.
"Ya nggak boleh, lah! Mau Kita digrebek orang sekampung?" katanya dibuat manja.
"Nggak papa, kan? Kita jadi dikawinin, deh."
Gerry tertawa lepas. Ia lupa kalau ia harus mengkondisikan dirinya sebagai suami yang berduka. Untung kamar Handoko terletak jauh dari paviliunnya.
Para pelayan yang mendengar suara tawanya saling berpandangan. Mereka tentu saja merasa aneh.
"Ih! Nggak sudi Aku!" teriak Maya.
"Kalau Aku nikah itu harus dipestain yang meriah, bukan kawin di KUA karena digrebek masa!" Dirga tertawa lagi.
"Tentu saja, Sayang. Apa sih yang enggak, buat Kamu?"
"Makanya cepetan!" kata Maya lagi.
"Cepetan apanya?"
"Cepetan nikahin Aku! Apa lagi yang ada di pikiranmu?" Maya terdengar merajuk.
Gerry menghela nafas.
"Sabar, Sayang. Istriku masih koma. Masa' tiba - tiba Aku kawin lagi? Lagian Kamu kan masih masa iddah."
Maya merasa kesal. Kenapa selalu ada yang menghambat atau menghalanginya untuk bahagia?
"Kenapa, sih. Istrimu itu nggak mati aja?" ceplosnya begitu saja.
Gerry tercekat. Memang itu yang ia inginkan saat Nara memintanya untuk bercerai. Tapi Nara masih beruntung. Nyawanya tidak lepas dari tubuhnya setelah apa yang ia lakukan.
"Kenapa Kamu nggak bikin Dia jadi titik?" cerocos Maya lagi. Titik?
"Apa maksudmu, Sayang?" terdengar helaan nafas kasar di seberang sana.
"Masa' Kamu nggak ngerti? Titik, bukan koma lagi!" Gerry merasa ada yang menampar pipinya. Kenapa ia tidak berpikir jika Nara sadar nanti ia akan menuntutnya karena telah berusaha menghabisinya karena Nara meminta bercerai dengannya?
"Gerry, Kamu dengar Aku?" terdengar suara Maya karena ia tidak kunjung menjawab.
"Gerry, itu cuma omong kosong. Aku nggak serius. Jangan Kamu ambil hati, ya?" ucap Maya lagi. Ia takut Gerry menjauhinya karena menganggapnya jahat, meskipun kenyataannya ia memang menginginkan Gerry menghabisi Nara, istri tajirnya.
"Gerry?" suara Maya lembut mendayu.
"Ya, Sayang?" Gerry seolah kembali sadarkan diri.
"Aku cinta padamu." bisik Maya mesra. Gerry bagaikan melambung ke langit ke tujuh.
"Aku juga cinta padamu." bisik Gerry tak kalah mesra.
"Aku rindu padamu, Sayang. Di mana Kita bisa ketemu?"
Tok - tok - tok!
Ada yang mengetuk pintu kamarnya.
"Siapa?!" teriak Gerry merasa terganggu.
"Dipanggil Bapak besar, Den." suara pelayan sayup - sayup sampai ke telinga Gerry.
"Sudah dulu ya, Sayang? Ada panggilan dinas." bisiknya seraya memutuskan panggilan.
"Ger? Gerry!" teriak Maya.
"Kok main diputusin aja, sih?" gerutu Maya.
Gerry meletakkan ponselnya dan turun dari tempat tidur.
*******************