Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota Duran
Araya mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan memohon kepada Una dan Fran agar segera membawanya pulang. Melihat tekad kuat di mata Araya, Una dan Fran langsung setuju meskipun sedikit kebingungan dengan kegelisahan temannya itu. Fran menuntun Araya yang masih lemah ke perahu, sementara Una yang memakai tongkat karena cedera di kakinya. Mereka bergantian menaiki perahu yang telah dipersiapkan Pak Mur untuk mengantarkan mereka pulang ke kota Duran.
Sepanjang perjalanan pulang, Araya berdiam diri. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan, mulai dari ingatan tentang niat jahat Evlin, rasa khawatirnya terhadap Vaneca dan para prajurit yang bertarung melawan makhluk kegelapan, hingga rasa gelisah terhadap Muya yang terus berputar di kepalanya, seolah menghantuinya. Kata-kata itu bergaung di dalam dirinya, menuntut aksi atau pemahaman yang lebih mendalam.
Setibanya di desa, mereka kembali ke rumah masing-masing. "Besok datanglah ke rumahku. Ada sesuatu yang harus kalian tahu," ucap Araya dengan nada serius kepada kedua temannya itu. Una dan Fran hanya mengangguk karena kelelahan setelah perjalanan panjang mereka.
Joi, yang melihat Araya pulang dalam kondisi lemah, segera berlari menghampirinya. Ia terkejut karena cucunya yang seharusnya mengikuti ujian lanjutan kini berada di depannya. "Ada apa, Araya? Apa yang terjadi? Mengapa kau kembali secepat ini?" tanya Joi dengan nada khawatir.
Araya berusaha menjelaskan semua yang dialaminya, termasuk hal-hal tak masuk akal tentang sihir dan rahasia kehidupan dirinya serta keluarganya. Joi yang mendengar semuanya tidak menyangka bahwa cucunya harus menerima kenyataan ini secepat ini. Di tengah malam yang sunyi, setelah menyampaikan segala yang terjadi, Araya mendengar sebuah kenyataan yang tak pernah ia duga. Joi menatapnya dengan penuh makna, seolah bersiap membuka rahasia yang telah lama terkubur.
"Araya," ujar Joi dengan suara pelan namun jelas, "ibumu, Viline, memang bukan wanita biasa. Dia memiliki kekuatan besar. Itu sebabnya banyak yang menginginkan kekuatannya, termasuk orang-orang dari masa lalunya."
Araya menatap neneknya dengan ragu. "Apa yang kau maksudkan, Nek?"
Joi menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. “Kau tahu, ayahmu dulu meninggal dalam keadaan yang tak wajar. Ia bukan meninggal karena kecelakaan, melainkan karena seseorang sengaja membunuhnya.”
Kata-kata Joi membuat Araya tercekat. Selama ini, ia percaya bahwa ayahnya meninggal dalam kecelakaan biasa. Ia menggenggam erat tangan Joi, berharap penjelasan lebih lanjut.
“Lalu, siapa yang melakukannya, Nek?” tanyanya dengan suara bergetar.
Joi menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Itulah alasan ibumu pergi. Sebelum ia menghilang, ia meninggalkan pesan untukku. Ia mengatakan akan mencari pembunuh ayahmu. Orang yang ia cari berasal dari kota kelahirannya, kota yang dipimpin oleh ayah kandungnya sendiri, Vincente Akof."
Mendengar nama itu, Araya merasa asing sekaligus ngeri. Nama tersebut seakan membawa aura yang dingin. "Jadi… Vincente Akof, dia kakekku?"
Joi mengangguk. "Ya. Vincente adalah pria berkuasa dengan kekuatan besar, tetapi dia juga terkenal karena ketegasannya. Ibumu menolak untuk menjadi penerusnya memimpin klan Ve, dan karena itu, ibumu terusir dari kota kelahirannya. Itulah alasan ibumu meninggalkan kota itu. Dia memilih hidup sederhana bersama ayahmu, menjauh dari bayangan kelam keluarganya."
Saat pagi tiba, Joi menggenggam tangan Araya, menuntunnya menuju makam ayahnya yang terletak di ujung desa. Makam itu berada di sebelah makam suami Joi, kakek Araya, yang telah meninggal beberapa tahun lalu. Setiap langkah menuju makam terasa berat bagi Araya, bebannya semakin bertambah dengan rasa sakit dan keingintahuan yang mendalam.
Sesampainya di makam, Joi berdiri di hadapan batu nisan ayah Araya. Sambil memandang nisan itu, Joi mulai bercerita tentang masa lalu yang tidak pernah diketahui oleh Araya.
"Ayahmu adalah pria yang baik dan pemberani, Araya. Dia tahu bahwa menikahi ibumu berarti harus menerima segala risiko yang datang dengan kekuatan luar biasa dalam darah keluargamu,” kata Joi dengan suara pelan namun tegas. “Namun, dia tidak pernah gentar. Bahkan, ia harus kehilangan nyawanya karena kekuatan sihir jahat.”
Araya terdiam, membiarkan kata-kata neneknya meresap. Hatinya penuh dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan — kesedihan, keingintahuan, dan kemarahan yang perlahan muncul.
“Ketika ibumu meninggalkan kota kelahirannya dan memilih hidup bersamamu, dia telah membuat musuh dari mereka yang menginginkan kekuatan keluarga kalian. Musuh yang tidak segan-segan membunuh demi mendapatkan apa yang mereka inginkan,” lanjut Joi. “Ibumu tahu bahwa bahaya selalu mengintai, terutama bagi dirimu.” Ibumu bahkan berusaha untuk lepas dari segala hal yang terkait dengan sihir.
Araya menatap makam ayahnya, seakan-akan merasakan keberadaan sang ayah di dekatnya. Kini, semuanya mulai terasa masuk akal. Ia mengerti mengapa ibunya begitu melindunginya dan berusaha keras menjauhkan Araya dari dunia kekuatan supranatural yang tak pernah ia pahami sepenuhnya. Dalam benaknya, sebuah pertanyaan muncul. Siapa pembunuh ayahnya? "Evlin… mungkinkah dia?" gumamnya dalam hati.
Araya menghela napas panjang. "Jadi… ibuku pergi dari kota itu untuk membalas kematian ayahku?"
Joi mengangguk pelan. “Ya, Araya. Tapi bukan sekadar balas dendam. Ibumu ingin mencari keadilan untuk ayahmu. Ia ingin menghentikan mereka yang memanfaatkan kekuatan keluargamu demi tujuan jahat.” Dalam pesan terakhirnya, yang disertai dengan kalung yang kau pakai, dia memintaku untuk menjagamu dan mengatakan bahwa tuduhannya terhadap Vincente Akof selama ini ternyata salah.
Araya merasakan dadanya sesak, seolah semua emosi yang ia tahan selama ini mengalir keluar. Ia berlutut di hadapan makam ayahnya, merasakan kepedihan yang begitu dalam. “Ayah, Ibu… aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk menjalani semua ini. Namun, aku ingin melindungi apa yang kalian perjuangkan.”
Joi meletakkan tangannya di bahu Araya. “Kau lebih kuat dari yang kau kira, Araya. Aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi kau tidak sendiri. Aku akan mendampingimu, dan kau memiliki kekuatan yang telah diwariskan dalam darahmu dari generasi ke generasi.”
Araya sudah mengetahui tentang kematian ibunya dari cerita Vaneca. Namun, satu hal yang baru ia tahu adalah, ibunya sebenarnya tidak ingin lagi bersentuhan dengan dunia sihir. Akan tetapi, kematian suaminya, Arya, membuatnya kembali berurusan dengan dunia sihir. Alih-alih mencari pembunuh suaminya, ia malah dihadapkan dengan pertempuran besar melawan Kuos. Permintaan maaf kepada ayahnya, Vincente Akof, menjadi ucapan terakhirnya sebelum hilang terbawa ke dalam dimensi kegelapan, karena Viline sadar bahwa pembunuhnya bukanlah sang ayah.
Araya bangkit berdiri, tekadnya semakin menguat. Ia tahu bahwa ibunya telah memberikan pengorbanan besar, dan kini giliran dia untuk melanjutkan perjuangan itu. “Nek, ajari aku. Ajari aku cara menggunakan kekuatanku,” ucapnya dengan suara mantap.
Joi tersenyum tipis, namun pandangannya penuh makna. “Tidak, Nak. Aku hanyalah orang biasa yang tidak memiliki kekuatan sihir, sama seperti ayahmu dan semua warga di sini. Satu-satunya orang yang bisa membantumu adalah kakekmu."
Sore itu, di teras rumahnya yang sederhana, Araya membuka catatan yang ditulis oleh ibunya. Joi mengeluarkan semua benda peninggalan sang ibu dan tertarik dengan sebuah pedang yang berukuran kecil dengan kilauan permata biru berbentuk huruf V di tengahnya. Araya mengeluarkan pedang itu dan merasakan energi besar yang ada di dalamnya. Joi, yang melihat Araya mengayunkan pedang tersebut, hanya tersenyum kecil.
Ketika Araya tengah asyik membaca catatan yang ditulis ibunya, Fran dan Una datang menemuinya sesuai janji mereka. Awalnya, Araya ingin mengajak Fran dan Una pergi ke kampung halaman ibunya. Namun, melihat Una yang masih menggunakan tongkat karena cedera, Araya mengurungkan niatnya.
"Aku akan pergi kesuatu tempat. Tempat dimana ibuku dilahirkan" ucap Araya kepada kedua temannya itu.
"Dimana tempat itu?, apakah kau akan mengajak kami juga", dengan antusias Fran mencoba merayu Araya agar diajak pergi bersamanya.
"Aku tidak bisa mengajak kalian, Una masih sakit, kakinya harus terus diobati" jawab Araya.
Seolah tak peduli dengan kondisi kakinya, Una ternyata juga ingin ikut pergi, namun tak yakin apakah keluarganya mengizinkannya.
Mendengar hal tersebut, Nenek Joi yang tahu akan kedekatan mereka berkata, "katakan pada ibumu jika kalian pergi bersamaku, ayah dan ibumu pasti percaya aku pasti menjaga kalian.
Mendengar bahwa neneknya akan menemani perjalanan ini membuat Araya tersenyum bahagia, ia juga membayangkan reaksi teman-temannya yang akan berpetualang bersamanya di dunia penuh sihir nantinya.
Walaupun kegelisahan yang masi menghantui mengingat seperti apa kondisi Vaneca dan yang lainnya.
"Tunggu aku Bi" ucapnya dalam hati.
Setelah mereka bersiap, mereka berempat memulai perjalanan mereka untuk pergi ke tempat kelahiran ibunya Araya.