Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keisengan Mas Bojo.
"Dek, bangun! Udah sampai, yuk masuk!" telingaku menangkap suara Mas Bojo yang sedang berusaha membangunkanku.
Aku membuka kedua bola mataku dengan sempurna, ketika ada yang menepuk pelan pundakku.
Deg!! Jantungku serasa mau loncat, ketika di hadapanku ada wajah tampan laki-laki yang pagi tadi telah menghalalkanku.
Dengan bibir yang terasa kaku aku pun menarik bibirku, memberikan senyuman terbaik. "Sudah sampai Mas?" tanyaku dengan suara serak, dan juga rasa kantuk yang masih menggelayuti kedua mataku.
"Sudah, turun yuk! Nanti di lanjut lagi tidurnya di kamar" ucapnya dengan membantuku memegang gaun yang cukup berat. Sungguh aku sendiri ingin segera berganti dengan daster atau baju tidur, rasanya badan sangat kaku dan tidak nyaman ketika mengenakan gaun berat seperti ini. Namun, karena hal ini hanya sekali seumur hidup, aku pun menikmatinya, karena hal ini akan menjadi cerita indah nantinya.
Setelah memesan satu kamar yang paling bagus fasilitasnya, kami pun kembali melangkahkan kaki mengikuti petugas hotel yang mengantarkan kami menuju kamar yang kami pesan.
"Berat yah?" tanya suamiku dengan suara parau khas bangun tidur.
Kembali aku memberikan jawaban dengan anggukan kepala. "Tidak apa-apa hanya sekali seumur hidup, jadi dinikmati saja," jawabku dengan senyum terbaik.
Kini kami sudah berada di kamar hotel yang aku tahu tidak sebaik hotel-hotel di Jakarta, tetapi untuk sekedar beristirahat, kamar hotel ini aku rasa jauh lebih baik dari pada di rumahku yang pastikan tidak akan bisa tidur kalau suasananya saja berisik sekali.
"Maaf yah Mas, kamar hotel di sini hanya seperti ini, pasti jauh banget sama hotel-hotel di Jakarta," ucapku begitu pintu kamar ditutup oleh petugas yang mengantar kami.
"Tidak apa-apa Dek, yang penting nggak berisik. Lagian nggak terlalu buruk kasur empuk dan ruangan juga luas dan bersih," jawab suamiku, entah lah itu benaran sesuai dengan isi hatinya atau justru itu untuk menenangkan aku saja, agar aku tidak merasa tidak enak.
"Ada yang bisa di bantu?" tanyanya lagi, ketika tanganku beberapa kali gagal membuka pernak-pernik pernikahan di atas hijabku.
"Kalau nggak keberatan, bagian belakang susah untuk di buka," jawabku sembari menunjukan bagian mana yang harusnya di buka.
"Enggak dong, masa bantu istri saja keberatan. Ini mah gampang," ucapnya seraya berjalan ke arahku, dan mulai membuka satu persatu jarum pentul yang menempel hampir di setiap sisi hijab yang aku kenakan.
Jangan ditanya perasaanku seperti apa? Rasanya jantung loncat-loncat tidak menentu. Aku pikir rasa deg-degan yang teramat sudah aku lewati semuanya. Nyatanya salah, aku justru semakin deg-degan ketika Mas Aarav berdiri di belakangku dan dengan tanganya membuka satu persatu pernak pernik di atas kepala ku.
"Kayak gini nggak berat Dek?" tanya Mas Aarav mungkin dia juga gerogi berada diposisi seperti ini, sehingga mencoba membuka obrolan.
"Berat Mas, sakit juga, tapi kan udah jadi tradisi memang dan-danan wanita seperti ini ribetnya, jadi nikmati saja, toh tidak setiap hari. Kalau setiap hari baru saya protes," ucapku setengah berkelakar karena jujur aku berasa lebih tegang saat ini dari pada acara saat ijab kabul tadi pagi.
"Satu, dua, tiga... ada enam belas jarum pentul yang nempel di kepala kamu Dek. Aku jadi berasa lagi nyabutin paku di atas kepala," ucapnya, sehingga kami tertawa dengan renyah.
"Mas pikir aku jelmaan kunti. Lydia mandi dulu yah, udah gerah banget," balasku sebelum benar-benar hijabku terbuka secara sempurna, rasanya masih canggung kalau harus lepas penutup kepalaku, meskipun laki-laki yang ada di belakangku sudah sah menjadi suamiku.n
"Ngak mandi sekalian bareng saja," ucapnya, aku tahu kalau ini hanyalah candaan Mas Aarav saja.
"Mungkin lain kali, kalau sekarang jangan dulu," ucapku sembari melangkah meninggalkan Mas suami. Dari ekor mataku aku bisa melihat Mas Aarav terus memeperhatiakn aku hingga tubuhku tertelan pintu kamar mandi.
"Baiklah, Mas tunggu loh," ucapnya sebelum benar-benar pintu kamar mandi tertutup sempurna.
Ku sandarkan tubuh di balik pintu, jantungku berdisko ria seolah tengah mengejek diriku yang sangat malu berada di samping mantan majikanku. Yah kini Mas Aarav sudah berubah menjadi suamiku. Ku putar kembali memory ku pada perjalanan singkat ini. Sungguh tidak menduga bahwa semua jalan dari-Nya sangat cepat seperti ini, dari majikan dan pembantu, dan dihari ini sudah berganti menjadi suami dan istri.
Setelah hampir satu jam aku membersihkan tubuh, kembali aku ke luar, dengan mengenakan setelan tidur dan hijab instan bergo senada dengan warna pakaianku.
"Mas, mau mandi sekarang?" tanyaku, ah itu hanyalah pertanyaan iseng agar aku tidak terlalu canggung berdekatan denganya, sudah jelas atuh mandi sekarang, masa iya besok baru mandinya.
"Sekarang atuh Dek. Aku tadi pesan makanan sama petugas hotel nanti kamu bayar yah, uangnya ada di dompet, ambil saja sekalian beri tips untuk pelayanya," ucapnya sembari menatapku tajam. Seolah tengah mencari sesuatu di wajahku.
Seperti biasa aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Benar saja setelah suamiku pergi ke kamar mandi petugas hotel mengantarkan satu meja makanan lezat untuk makan malam, seperti yang sumiku katakan aku membayar sesuai nominal dan menambahkan satu lembar berwarna merah untuk petugas hotel.
"Tumben Mas Aarav pesan makanan segini banyak, mana jam makan malam, apa dia lupa kalau pagi dan malam biasanya dia hanya makan-makanan yang tinggi protein, tapi kayaknya hari ini suamiku lupa kebiasaanya," gumamku seorang diri.
"Dekkk...." Suara suamiku memanggil dari kamar mandi.
"Iya Mas, ada yang bisa Lydia bantu?" tanyaku sembari mendekat ke pintu kamar mandi.
"Tolong ambilkan pakaianku di dalam koper, aku lupa membawanya."
"Baik Mas." Gegas aku mengambil pakaian santai untuk Mas Bojo. Setelah mengambil satu set pakaian berserta pakaian dalamnyanya aku langsung berbalik dan hendak memberikan ke Mas Bojo.
Brukkk...
Akhhh... tubuhku langsung terasa melayang ketika tanpa sadar Mas Bojo sudah berdiri di belakangku.
Untuk beberapa detik aku diam mematung, menatap begitu indah ciptaan Tuhan.
Tessttt... buru-buru aku tersadar, ketika tetesan air dari rambut Mas Bojo menetes tepat di mataku.
"E... Maaf Mas, Lydia nggak sengaja," ucapku sembari buru-buru bangkit dari pelukanya. Yah, seolah semesta tengah meledeku, aku yang tengah gerogi justru hampir jatuh dan dengan gerakan sekali tari, tubuhku tidak sempat terpelanting karena Mas Suami yang menahannya.
"Kenapa harus minta maaf, Mas senang malah lihat wajah kamu yang merah seperti itu, lucu," ucapnya sembari mengambil pakaian dari tanganku yang aku peluk.
Kembali aku salah tingkah ketika laki-laki yang da di hadapanku secara sengaja meledekku.
"Bajunya mau di pake, kalau mau peluk nanti orangnya saja," ucapnya sembari pergi ke kamar mandi lagi. Aku mengerjapkan kedua bola mataku berkali-kali, ketika aroma mint menyeruak dari nafasnya, di mana wajahnya yang berada tepat di hadapku. Pandanganku kembali ternodai dengan tubuh setengah telanjang, perut sixpack seperti para binaragawan membuat mataku yang suci ternodai karena tubuh atletis mas bojo.
"Apa seperti ini perasaan para istri ketika mau menghadapi malam pertama? Rasanya seperti tengah uji nyali, semua serba salah dan juga seba bingung mau ngapain aja." Aku termenung menatap punggung kokoh suamiku yang kembali masuk ke dalam kamar mandi.
"Sabar Lyd, surga taruhanmu, kalau kamu mampu melayani suami dengan baik." Kembali aku mengingat ingat pesan Ibu.
...****************...
Bonus Mas Bojo lagi buka baju, yang bikin jantung Mbak Lidi jadi berdisko ria.
Mbak Lidi baek-baek yah, Om Duda kadang suka lupa diri...