"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Mulai sekarang kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha mengatur napas. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu benaran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue mengangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekalinya Terbebas
...Antari...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
...────୨ৎ────...
...Gue nggak mau bangunin lo tadi. Tidur lo nyenyak banget. Maaf gue pergi dengan cara begini, tapi gue harus bantu nyokap. Sampai ketemu nanti, Es Batu....
...Ella....
...────୨ৎ────...
Gue senyum, baca catatan yang dia tinggalin di meja samping tempat tidur. Bangun, ngulet dikit, masih telanjang.
Mata gue langsung ngelirik ke kasur yang acak-acakan, sisa dari semalam bareng Ellaine. Keingatan cara dia menggenggam sprei erat-erat, suara dia, cara dia merespon tiap gerakan gue.
Gila, gue suka banget sama perempuan itu. Dia benar-benar bikin kepala gue muter. Dan akhirnya gue bisa merasakan dia, rasanya jauh lebih gila dari yang gue bayangin.
Nggak cuma soal sensasi atau bagaimana tubuh dia nempel di gue. Tapi cara dia menatap gue, cara bibirnya mencari bibir gue, semuanya bersatu, bikin itu jadi malam terbaik yang pernah gue rasain.
Habis mandi, gue siap-siap buat kerja. Lagi membenarkan dasi, tiba-tiba mata gue menangkap sesuatu di cermin. Ada bekas merah di leher, agak di bawah, ke samping. Gue nyengir, jari gue nyentuh tanda itu, dan ya, masih agak perih.
Kapan dia ninggalin ini?
Pikiran gue langsung nge-flashback ke tadi malam. Ellaine di atas gue, gerakannya makin liar, suara dia makin tinggi. Terus dia nyender ke depan buat nyium gue, awalnya di bibir, tapi habis itu dia turun ke leher gue, menyedotnya dengan kencang dan dia makin cepat gerakan pinggulnya.
Gue sempet ngeluarin suara kaget, karena jujur, itu lumayan sakit. Ellaine langsung berhenti dan memperhatikan gue dengan tatapan penuh rasa bersalah. "Maaf, gue keasyikan…"
Gue ketawa, napas masih berat. "Jangan pernah minta maaf gara-gara gerakan lo barusan. Jangan pernah."
Gue turun ke bawah, udah siap buat kerja.
Mood gue lagi bagus banget, sampai senyum-senyum sendiri tanpa alasan.
Kapan terakhir kali gue bangun dengan perasaan senyaman ini?
Gue nggak bisa ingat.
Masuk ke dapur, gue melihat Ellaine lagi nyiapin kopi buat gue. Senyum ini berusaha gue tahan, tapi tetep aja muncul. Gue jalan ke arahnya, merangkul dia dari belakang.
Dia kaget, hampir loncat. “Eh!”
Gue ketawa. “Pagi, kompor.” Gue cium dia sebentar.
Bibirnya yang lembut nempel ke bibir gue, cuma sekilas. Tapi sekarang, pas gue udah bisa nyium dia kapan aja, bisa meluk dia, gue nggak mau berhenti.
“Selamat pagi, Es Batu.”
“Gue kira lo udah bikin gue meleleh.”
Ellaine senyum licik. “Gue kira kebalikannya. Bukannya gue malah bikin lo keras?”
Gue angkat alis. “Kayaknya kita harus tes teori itu.”
Dia pura-pura nggak ngerti. “Gue nggak ngerti lo ngomong apa.”
Gue usap pipinya pelan, suaranya lebih rendah. “Ngomong-ngomong… lo mau pakai seragam itu buat gue… tapi privat, cuma buat gue?”
Dia pura-pura mikir. “Gue pikirin dulu.”
“Serius?”
Ellaine ketawa, matanya penuh goda. “Lo kira gue nggak tahu, lo ngebayangin ngehajar gue pakai seragam itu, kan?”
Gue ketawa, menyenderkan hidung gue ke hidungnya. “Gue seketara itu, ya?”
Dia angguk, dan sebelum dia sempet ngomong lagi, gue tarik dia lebih deket. Bibir kita nempel lagi, awalnya pelan, tapi makin lama makin panas. Gue merasakan dia, tiap sentuhan, tiap napas, dan kali ini tangan Ellaine naik ke leher gue, jari-jarinya mengelus di sana, kita makin kuat nyatuin bibir.
Jantung gue makin ngebut, dan anehnya, cuman dari satu ciuman ini, gue bisa merasakan segalanya.
Dia cewek pertama yang bikin gue nervous. Yang bikin gue tiba-tiba jadi kaku dan salah ngomong. Yang pertama kali gue suka, cewek pertama yang gue tembak. Yang pernah lihat sisi paling rapuh gue, yang selalu bisa bikin gue bangkit di tengah semua kekacauan.
Jadi, nggak heran kalau sekarang, pas akhirnya dia ada di pelukan gue lagi, semua perasaan ini meledak kayak begini.
Buat gue, Ellaine selalu jadi yang pertama.
Dia akhirnya tarik diri, melepaskan ciuman kita. Terus dengan lincah kabur dari dekapan gue, jalan santai ke arah rak buat ambil cangkir kopi.
“Orang tua lo atau Asta bisa turun kapan aja.” Suaranya ringan tapi ada peringatan di sana. “Sekarang kakek dan suster pribadinya juga tinggal di sini, jadi kita harus hati-hati.”
Gue ngelirik ke tangga, lalu melihat dia lagi. Gue ngalah, menyamping dikit, kasih dia ruang buat menuang kopi ke dua cangkir. Pas dia nyodorin salah satu ke gue, gue nerima dengan senyum.
“Lo nggak kerja hari ini?” Pertanyaan itu gak sengaja keluar dari mulut gue, dan pas Ellaine mengernyit, gue langsung nyesel.
Sial.
Dia kan nggak tau kalau gue sebernarnya udah tau dia kerja di perusahaan gue. Gue buru-buru ngeles.
“Maksud gue, lo ada rencana hari ini?” Gue nyoba menutupin kebodohan gue dengan minum kopi.
Dia kelihatan santai. “Nggak, paling nanti sore.”
Gue ngelirik jam di dinding.
Sial.
Gue udah telat.
Tidur kelewatan enak banget tadi malam.
“Gue harus cabut.” Gue nyuri satu ciuman lagi di bibirnya sebelum taruh cangkir di meja.
Tapi Ellaine tiba-tiba nyodorin satu wadah kecil ke gue. “Salad buah. Sarapan tuh penting.”
Gue otomatis nyengir kayak orang bego. “Lo perhatian sama gue sekarang?”
Dia balas dengan tatapan datar. “Kenapa lo kaget?”
“Gue nggak kaget.”
“Terus?”
Gue tatap dia lurus-lurus. “Gue suka.”
Ellaine menundukan kepala dikit, pipinya merah, terus buru-buru alihkan pandangan. Gue nahan diri buat nggak menyosor dia lagi, jadi, gue nanya aja, "Malam ini kita jalan?"
"Gue ada janji. Ntar ketemu di rumah pas lo balik."
"Janji?"
"Iya."
"Sama siapa?" Gue naikin alis, dia langsung balas dengan tatapan tajam. "Cuman nanya doang."
"Bukan sama cowok, tenang aja."
Gue ngakak pendek. "Gue tenang kok. Nggak kelihatan?"
Dia geleng-geleng, dorong gue pelan ke arah pintu. "Oke, Tuan Tenang, buruan pergi. Lo bakal telat."
"Lo keluar sama cewek-cewek? Ke bar? Ke bar gue aja, gue janji nggak bakal—"
"Bye, Antari."
Gue akhirnya cabut juga, meski agak malas.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Setelah rapat dua jam yang rasanya kayak dua tahun, gue udah kelaparan. Untungnya, ada satu cup salad buah dari Ellaine nunggu di meja gue. Tapi begitu gue masuk kantor, ada tamu tak diundang nongkrong di sofa gue.
"Lo nggak punya kantor sendiri?" Gue nyelip lewat samping sofa, nyari posisi nyaman di meja kerja.
Elnaro lagi selonjoran kayak bangkai, dua kantong es nempel di kepalanya, muka dia penuh penderitaan.
"Gue sekarat. Harusnya lo tunjukin sedikit belas kasihan," gumamnya pelan.
Gue pura-pura nggak dengar, siapa tau dia capek sendiri, terus pergi.
Gue menyandar di meja, buka tutup cup buah, terus mecomot satu potong pakai garpu. Sambil ngunyah, gue lihatin Elnaro yang masih aja terkapar di sofa kayak boneka rusak.
Tapi, sialnya, dia malah buka mata. Terus memperhatikan gue lama, kayak lagi menganalisa sesuatu. "Tumben aura lo nggak sekelam biasanya."
Gue buang napas. "Elnaro."
Dia menyipitkan mata, ekspresinya makin kepo. "Lo kenapa, happy?"
Elnaro cengengesan, padahal barusan ngeluh sakit kepala. "Sumpah, gue seneng banget. Kapan terakhir kali lo kelihatan kayak orang bahagia? Gue rasa bahkan dunia lebih anget sekarang."
Gue mendesah, lanjut menyuap salad buah, pura-pura nggak dengar.
Dia miringin kepala, masih aja mengobservasi gue kayak ilmuwan memperhatikan eksperimen.
"Biasanya kalau gue ngeledek lo, lo bakal ngasih tatapan kayak mau bunuh orang. Sekarang? Cuma diem. Terus.…" Dia berhenti ngomong, matanya tiba-tiba membesar pas lihat sesuatu di leher gue. "Antari! Itu bekas ciuman?"
Gue langsung menutupin pakai kerah baju. "Bukan, nyamuk."
Elnaro ngakak, "Nyamuknya seksi banget tuh sampai ninggalin tanda kayak gitu. Aduh, ini menarik." Dia mundur dikit, pura-pura mikir, tapi gue tau dia cuma cari cara buat ngeledekin gue. "Lo udah putus sama Maurice. Jadi… Ellaine?"
Gue alihkan pandangan, nggak jawab.
"Bingo!" Elnaro ketawa seneng banget kayak baru menang lotre. "Gila, kalau gue tau Ellaine bisa nyembuhin sindrom dingin lo, harusnya gue jadi mak comblang dari dulu."
Gue menelan kesal. "Lo nggak jadi pusing sekarang?"
"Pusing sih, tapi nggak tiap hari gue lihat sahabat gue yang akhirnya bisa move on dari cinta pertamanya." Dia nyengir lebar, "Romantis banget, Antari. Siapa sangka?"
Gue nyodorin tinju. "Elnaro, lo mau gue tonjok nggak?"
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Gue masuk lift dengan buru-buru, merasakan detak jantung gue makin kencang. Ellaine nggak pernah kayak begini. Dia selalu punya kendali atas dirinya.
Tapi sekarang?
Bisa-bisanya dia mabuk sendirian di tengah kota.
...📞...
^^^"Halo?"^^^
"Halo. Saya portir yang jaga malam ini, Pak."
^^^"Barusan ada cewek namanya Ellaine mau masuk, tapi kenapa ditolak?"^^^
"Iya, Pak. Dia nggak ada di daftar VIP, jadi..."
^^^"Dengarin gue baik-baik. Kalau dia balik lagi, lo kasih dia masuk. Jangan ada yang nyentuh dia. Gue otw."^^^
"Baik, Pak."
Gue keluar dari lift, jalan cepat ke parkiran.
Ellaine pasti lagi di trotoar atau di salah satu bar di sekitar sana, sama temen-temennya. Gue masuk mobil, nyalain mesin, dan tancap gas.
Jalan menuju bar gue nggak jauh, tapi macetnya gila banget jam segini. Gue tau mungkin ini lebay, Ellaine itu cewek yang bisa jaga diri. Tapi tetap saja, bagaimana gue nggak khawatir kalau dia sepenting itu buat gue?
Begitu sampai, gue parkir di depan bar dan langsung lihat Penjaga. Dia udah tau pertanyaan yang bakal gue tanyain dan langsung jawab sebelum gue buka mulut. "Mereka udah di dalam, Bos. Ruang V.I.P."
Gue hembuskan napas lega.
Gue masuk ke bar yang rame banget seperti biasanya, terus naik tangga ke area V.I.P. Begitu melihat dia, bahu gue langsung rileks.
Ellaine aman.
Dia ada di tengah dua cowok yang kayaknya pernah gue lihat, plus ada satu cewek di samping mereka.
"Es Batu!" Ellaine teriak begitu lihat gue, dan gue langsung jalan ke arah mereka. Mereka semua mendadak kelihatan lebih serius. "Lo datang."
Selalu saja dia, bego.
Mata Ellaine berbinar, terus dia kasih senyum yang bikin dia kelihatan gemesin banget. Rasanya pengen gue culik aja biar dia senyum kayak gitu cuma buat gue.
Tiba-tiba si cewek di samping mereka berdiri, jalannya agak oleng ke arah gue. "Kayaknya Ellaine udah minum terlalu banyak."
"Menurut lo?"
Dua cowok itu juga ikutan berdiri. "Yaudah, nih, pangeran dingin yang dia omongin udah datang. Kita cabut dulu, ya."
Mereka langsung tarik tangan si cewek. "Ayo, Irvy. Ellaine bakal baik-baik aja."
"Lo bakal jagain dia?" tanya Irvy, dan gue mengangguk.
Dia nepuk pundak gue. "Anak baik."
Mereka pergi, dan perhatian gue balik lagi ke si cewek mabok berambut pirang yang duduk nggak jauh dari gue. Ellaine menutup mulutnya sambil cekikikan.
"Gue dalam masalah, ya?"
Gue duduk di sampingnya. "Lo nggak kepikiran seberapa besarnya masalah ini?"
"Gue pantas dapet hukuman?" tanya Ellaine, mukanya merah.
"Lo mau dihukum?"
"Dari lo, gue mau semuanya."
Anjir.
Panas langsung naik ke leher gue, turun ke dada, terus ke perut. Gue geleng-geleng kepala. Dia jelas mabok.
"Ayo pulang!"
Tapi dia malah tarik wajah gue pakai kedua tangannya. "Lo ganteng banget."
Gue nggak bisa nahan senyum. "Makasih."
Dia melepas tangan dari muka gue, terus mulai meraba garis rahang gue, bibir, terus hidung. "Cuma ada lo di samping gue aja udah bikin gue panas."
Dia maju buat nyium gue, tapi gue langsung berdiri dan bopong dia sekalian. "Ayo, sebelum lo bikin gue bereaksi di tempat umum."
Gue melingkarkan tangan di pinggangnya, bawa dia turun tangga pelan-pelan. Dia sempat hampir jatuh beberapa kali, tapi gue pastikan dia tetep aman di samping gue.
Begitu sampai mobil, gue pasangin dia sabuk pengaman sebelum pindah ke kursi pengemudi dan mulai jalan.
Ellaine ngelirik keluar jendela, terus tiba-tiba menghela napas panjang. "Gue bahagia."
Gue sekilas melihat dia. Dia mulai gerak-gerakin tangannya di udara sambil ngomong sendiri.
"Hidup gue selalu rapi, terstruktur, semuanya ada di bawah aturan. Gue nggak pernah minum melebihi batas buat sekadar happy, nggak pernah benaran mabok. Tapi hari ini... gue mikir, ah, bodo amat lah! Hari ini gue bangun di samping cowok yang gue suka dari kecil, kerjaan gue lancar, bos gue muji gue depan semua orang. Jadi, kenapa gue nggak mabok aja? Gue juga punya hak buat bahagia."
Gue ngerti.
"Capek banget," bisiknya pelan, "selalu menjaga semuanya tetap terkendali tuh... capek banget. Gue baru 20 tahun, bukan 40, tapi gue hidup kayak lagi jalan di atas tali tipis terus. Gue..." suaranya bergetar, "...capek banget."
Dia ketawa kecil, tapi nadanya sedih. "Jadi ya udah, hari ini gue mabok. Gue nggak peduli kelihatan bego. Gue nggak pernah bikin diri gue kelihatan konyol, jadi sekali aja nggak masalah, kan?"
"Nggak masalah," jawab gue sambil ngulurin tangan buat genggam tangannya. "Lakuin aja apa yang lo mau, gue bakal jagain lo. Lo nggak sendirian lagi, Ellaine. Gue di sini. Lo bisa bagi bebannya sama gue."
"Lo manis banget," dia langsung megang kedua pipi gue, mencubitnya dikit sebelum duduk lebih tegak.
Begitu sampai rumah, gue ragu dia bisa jalan tanpa berisik. Bisa-bisa bangunin semua orang, terutama nyokapnya. Itu jelas bakal jadi masalah. Jadi, gue langsung gendong dia. Ellaine malah cekikikan pelan.
"Lo kuat banget," dia nyenderin kepala ke dada gue. "Wangi lo enak banget."
Gue ngelewatin ruang tamu menuju kamar tamu, karena nggak mungkin juga dia tidur sama nyokapnya dalam keadaan bebegini.
"Nggak." Dia tiba-tiba tarik baju gue. "Gue mau tidur sama lo, please. Gue suka bangun di samping lo."
Sial.
Cewek ini benaran bikin hati gue leleh.
"Gue janji nggak bakal godain lo," bisiknya, dan gue cuma bisa senyum kecil.
Gue bawa dia ke kamar gue, tidurin dia di kasur, terus menutupin badannya pakai selimut. Tapi dia masih gelisah, kelihatan banget bakal susah tidur.
Gue lepas jaket, kemeja, sama celana, tinggal pakai bokser doang, terus naik ke kasur, duduk di sampingnya di bawah selimut.
Ellaine memperhatikan perut gue dengan terang-terangan. "Mata lo ada di atas sini, Ellaine."
Dia gigit bibir bawahnya. "Gue boleh kasih tau lo satu rahasia, gak?"
"Boleh."
"Gue suka banget sama titit lo."
Gue langsung keselek ludah sendiri, batuk-batuk sambil nepuk dada. Gue benaran nggak siap buat itu. Ellaine buru-buru menutup muka pakai bantal.
Gue tarik bantalnya. "Coba jelasin, maksudnya?"
Dia langsung geleng-geleng kepala.
Alkohol kayaknya menghapus semua filter dan kendali dirinya. Dia tiba-tiba deketin gue, nyender ke samping sambil meluk, mukanya nempel ke leher gue.
"Dari dulu cuma lo, Antari. Cuma lo. Selalu." Suaranya pelan, napasnya kena kulit gue, bikin geli. "Kalau bukan karena dia, kita pasti udah lama pacaran."
Gue langsung mengerutkan alis.
Dia?
Siapa?
Maurice?
"Waktu itu, pas malam kembang api, gue seneng banget sama lo. Gue pengen itu jadi yang pertama dari banyaknya malam yang kita lewati sama-sama."
Tapi hari itu, dia nolak gue. Maksudnya apa, sih?
Terus gue keingat satu hal yang bikin gue penasaran. "Lo masih nyimpen boneka babi yang kita menangin di festival waktu itu?" Gue ingat setelah melihat boneka itu di meja samping tempat tidurnya. "Kenapa?
"Karena gue cinta sama lo, tolol. Gue selalu pengen sama lo."
"Tapi hari itu lo… nolak gue."
Ngomong itu aja rasanya nyesek.
Dia nguap, tapi gue masih nunggu jawaban.
"Ellaine?"
"Gue nggak nolak lo… gue harus...."
Gue langsung duduk tegak, megang mukanya pakai dua tangan biar dia melihat gue. "Maksud lo apa?"
Matanya udah setengah merem. "Nyokap lo…" suaranya lemah, "dia ngancem gue. Dia bilang kalau gue nggak nolak lo dan ngejauh dari lo, dia bilang bakal ngusir gue sama nyokap dari rumah."
Darah gue langsung mendidih, rahang gue otomatis ngering.
"Gue nggak bisa biarin itu terjadi, Antari. Gue sama nyokap nggak bisa lagi hidup di jalanan. Lo ngerti, kan?"
Gue tarik dia ke pelukan gue, merangkulnya erat.
Tentu aja gue ngerti. Nyokapnya segalanya buat dia. Gue nggak bakal pernah marah karena dia milih ibunya daripada gue. Yang bikin gue kesel bukan dia, tapi kalau dia bahkan nggak seharusnya ada di posisi itu. Dan yang lebih bikin mual, nyokap gue sendiri yang bikin dia ada di situasi ini.
Dan semua akhirnya masuk akal. Dari dulu gue ngerasa Ellaine juga suka sama gue. Itu kenapa pas dia nolak gue waktu itu, gue syok banget.
Gue mikir, kok bisa gue salah baca sinyal?
Tapi ternyata, gue nggak salah. Dia benaran suka sama gue. Cuma gara-gara nyokap, semuanya hancur.
Seberapa banyak lagi yang bakal lo hancurin buat kita, Ma?
Lo sebenarnya peduli nggak, sih?
Ellaine ngeluh pelan, terus tidur di pelukan gue. Gue kecup pelan kepalanya.
Mungkin emang takdir kita buat bersama. Soalnya, walaupun ada banyak halangan dan rintangan yang udah berlalu, pada akhirnya dia tetep ada di sini.
Di pelukan gue.
Di tempat dia seharusnya berada.
kesayangan keluarga batari🥰🥰
lah thor,udah selesay aja kisah ini. happy dan semangat trus yaaa 🥰🥰
btw, kalian gak mau nikah yaa,kisah ini bukan berlatar belakang luar negeri kan thoorr
ella emang paling cocok dampingi antari,antari butuh ella
gak pakai pengaman ya antari,siap hamil dong ai ella