Aruna, namanya. Gadis biasa yatim-piatu yang tidak tau darimana asal usulnya, gadis biasa yang baru memulai hidup sendiri setelah keluar dari panti asuhan di usianya yang menginjak 16 tahun hingga kini usianya sudah 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lima belas
Setelah membuat keributan, menghajar habis Tama hingga pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Arjun langsung menutup cafenya setelah para pengunjung berbondong-bondong keluar, apalagi dengan keadaan cafe yang tampak begitu hancur berantakan.
Setelah menutup cafe. Arjun melongos pergi mengendarai motornya dengan kecepatan penuh untuk pulang, dia butuh mendinginkan kepalanya.
"Loh? Kamu udah pulang, Arjun? " kaget Aretha, melihat Arjun yang tiba-tiba datang masuk kedalam rumah. Membuang asal tasnya, wajah anak semata wayangnya itu tampak mengeras.
"Hei, kamu kenapa, nak? Ada masalah di cafe? " tanya Aretha lembut, dia menarik tangan Arjun agar duduk di sampingnya.
"Arjun udah ketemu siapa laki-laki yang yang udah memperk*sa Aruna, ma. " kata Arjun langsung. Tangannya mengepal kuat menahan emosi.
"Bajing*n itu bukan cuman perk*sa, Aruna. Dia bahkan gak ada niatan sama sekali untuk tanggung jawab atas perbuatan bej*t yang udah dia lakuin sama Aruna. "
Aretha shock mendengarnya, "Astaga, kasian Aruna. Dirinya sudah di perk*sa dengan keji, pelakunya malah santai-santai saja seperti tidak melakukan sesuatu. "
"Kalau laki-laki itu gak mau tanggung jawab, gak usah dipaksa. Mama takut dia bakal siksa Aruna nanti kalau kamu masih bersikeras menikahkan mereka. " ucap Aretha takut.
"Gak bisa begitu, ma. Mau bagaimanapun laki-laki baj*ngan itu harus bertanggung jawab, mama gak perlu takut, kalau berani dia sakiti Aruna akan Arjun seret dia ke penjara. " sungut Arjun bersungguh-sungguh, dia tidak mau laki-laki yang sudah menghamili Aruna masih bisa hidup tenang dan damai, lepas dengan tanggung jawabnya. Sedangkan Aruna mati-matian mengurus anaknya.
Arjun akan menunggu sampai seminggu, bila baj*ngan itu tidak datang untuk bertanggung jawab. Akan Arjun patahkan lehernya nanti.
•••••••
Sudah tiga hari berlalu. Tama sudah keluar dari rumah sakit seorang diri, orangtuanya tidak ada satupun menjenguk setelah pengakuannya. Tama kesel dibuatnya, apalagi wajahnya masih ada memar, pukulan membabibuta diberikan Arjun tidak main-main, sudah rutin diberi salep pun oleh dokter, memar di wajahnya tidak juga sembuh hingga tiga hari.
Tiga hari inipun Tama sudah berusaha menelpon terus Alana tapi nomornya tidak pernah aktif, bahkan sepulangnya dari rumah sakit Tama langsung mendatangi rumah Alana untuk membicarakan hubungan keduanya yang tengah terombang-ambing, tapi Alana tidak ada di rumahnya. Dari informasi yang di dapatkan dari satpam rumah Alana, perempuan itu berada di luar kota, tapi tidak memberitahukan dengan lengkap kota mana yang Alana pergi.
Tama kalut, apalagi orangtuanya terus mendesak Tama untuk mendatangi Aruna dan bertanggung jawab. Dirumah, Tama benar-benar sendirian, kedua orangtuanya ada, tapi dua orang dewasa itu kompak mendiaminya, Jaedan akan berbicara pada Tama hanya membahas kapan Tama mau bertanggung jawab.
'Hhaahhh'
Tama menghembuskan nafas panjang, bingung ingin berbuat apa. Dirinya kalut, melirik jam yang bertengker di meja nakas. Pukul tujuh malam sekarang, Tama bangkit dari duduknya di kasur, mengambil asal jaket jeans didalam lemari.
Malam ini Tama akan menyusul teman-temannya yang tengah berada di lapangan basket dekat rumah Juan, sedikit menyegarkan otaknya yang tengah buntu dengan masalah-masalah yang terjadi ini.
"Mau kemana kamu. "
Tama menghentikan langkahnya saat suara ayahnya terdengar, membalikkan badannya menatap Jaedan yang tengah santai menyeruput kopi hitamnya.
"Main bentar sama Adit dan Juan. " jawabnya.
Jaedan mengangguk pelan kepalanya, menyimpan gelas putih itu dia atas meja. Tangannya melipat diatas dada, menatap datar pada Tama. "Jadi, kapan kamu kerumah perempuan itu dan bertanggung jawab? "
Tama menghembuskan nafasnya, obrolan ini lagi.
"Yah, Tama belum siap. Hubungan Tama sama Alana juga belum putus sampai sekarang, bisa kasih waktu Tama dulu sebelum Tama benar-benar akan bertanggung jawab seperti apa yang ayah inginkan. " pungkasnya, Tama sebenarnya udah capek. Andai saja malam itu dia tidak ke club pasti kejadian kelam yang menimpanya bersama Aruna tidak akan terjadi.
"Tiga bulan. " ujar Jaedan, dia bangun dari duduknya melangkah mendekati Tama. "Sudah tiga bulan usia anak kamu di perut perempuan itu, butuh waktu berapa lama lagi kamu mau tanggung jawab, hmm? Sampai anak kamu udah lahir, iya?"
"Ayah kecolongan tiga bulan, Tama. Tiga bulan! Kemarin-kemarin otak kamu pikirannya di mana aja? Di pacar kamu itu? Atau di minuman keras yang sering kamu ke club itu? Yang mana Tama, ayah tanya sama kamu. " Jaedan mendorong bahu Tama hingga laki-laki itu mundur beberapa langkah. Kepalanya tertunduk tidak berani menatap ayahnya.
"Udah, sana kamu pergi main susul teman-teman kamu, malam ini kamu puasin mainnya. Karena besok kita datang ke rumah perempuan yang sudah kamu hamilin itu untuk membahas pernikahan kalian. " putuskan Jaedan tidak terbantahkan.
Tama sontak mengangkat kepalanya menatap tidak percaya pada ayahnya. "Yah, gak bisa–
–Apa yang gak bisa? Ayah tanya sama kamu, apa yang gak bisa? Kamu laki-laki kan, Tama? Laki-laki itu dilihat dari sikap tanggung jawabnya, ada masalah harus segera l diselesaikan, bukannya terbelit-belit sampai lepas tanggung jawab begini. " Jaedan memotong ucapan Tama yang ingin membantahnya.
"Ayah gak butuh pendapat dan penolakan kamu, yang pasti kita datangi dia dan kamu harus nikahin dia. " Jaedan membalikkan badannya menuju kamarnya, segelas kopi yang masih tersisa itu dibiarkan hingga dingin begitu saja.
Sepeninggalnya Jaedan. Tama mengerang kesal, rambutnya di acak-acak nya dengan kesal. "B*ngsat! B*ngsat! " m*kinya kesal, menendang kursi sofa yang berada di dekatnya.
Dia membalikkan badannya, melanjutkan langkahnya menyusul teman-temannya berada. Dia butuh mendinginkan sebentar otaknya yang terisi penuh akan masalah yang dihadapinya ini.
Entah kemana keberadaan Alana sekarang, Tama belum siap untuk putus dengan Alana. Apalagi bertanggung jawab menikahkan Aruna.
Tama belum siap semuanya.
•
•
•