"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Anjani!" panggil Asya membuat Anjani kaget. Gadis itu tampak kelabakan dan langsung memutuskan panggilan telpon tersebut.
"Asya," lirihnya pelan.
Asya berjalan ke arah Anjani yang terlihat ketakutan.
'Aduh! Tadi Asya denger pembicaraanku gak ya? Gawat kalo sampe dia denger.' Batin Anjani ketakutan. Apalagi saat melihat raut wajah Asya. Gadis itu terlihat sedang marah.
"Ayo duduk sini," ajak Asya menepuk kursi kayu panjang yang sisinya kosong. Meski takut, Anjani tetap duduk di sana.
"Kamu beneran hamil?" Tanpa basa-basi Asya langsung bertanya saat Anjani sudah duduk di sampingnya.
Anjani mendongak menatap Asya dengan mata yang melebar. Ternyata benar dugaannya. Asya mendengar pembicaraannya tadi.
"Iya," jawab Anjani mengangguk lemah. "Tapi, aku mohon kamu jangan ngomong apa-apa ya sama keluarga kita," katanya sembari memegang tangan Asya. Memohon.
Asya menghela napas panjang. Dia benar-benar tak habis pikir. Entah apa yang ada dalam pikiran sepupunya itu sampai bisa sebodoh ini. Selama ini yang Asya tahu, Anjani itu tidak pernah sekalipun pacaran. Dia sosok yang sangat tertutup dengan yang namanya laki-laki. Bersentuhan saja dia tidak mau. Lalu sekarang apa? Baru beberapa bulan tinggal di kota, dia sudah hamil. Sungguh takdir itu tidak ada yang tahu ke depannya akan seperti apa.
"Astaga, Anjani. Kok kamu bisa kayak gini sih?" kata Asya.
"Aku juga gak tau, Sya ... hiks," Anjani mulai terisak di sana.
"Ada orang lain yang tau gak tentang masalah ini?" tanya Asya.
Anjani menghapus air matanya lalu menggeleng pelan. "Gak ada."
Gadis itu kembali menangis dan karena merasa iba Asya pun menepuk punggung sepupunya itu lembut. Meski kecewa, tapi Asya tidak punya hak untuk menghakimi Anjani.
"Sumpah aku sebenarnya takut banget kalo sampai ketahuan. Keluarga besar kita pasti bakalan kecewa banget."
Itu sudah pasti, apalagi Anjani itu anak emas keluarga mereka. Anak dan cucu yang selalu dibanggakan dimana pun dan kapanpun.
"Makanya kemarin pas Bapak bilang ada yang datang melamar, aku langsung iyain aja," lanjut Anjani.
Asya merasa ada yang janggal. "Tunggu sebentar, maksud kamu yang datang ngelamar itu bukan cowok yang hamilin kamu?"
Anjani menggeleng. "Bukan."
Wah! Gila! Bener-bener gila situasi ini. Pikir Asya.
"Soalnya cowok yang hamilin aku itu udah punya cewek dan mereka juga udah tunangan dan bentar lagi nikah."
Raut wajah Asya berubah kesal. "Terus kenapa kamu mau padahal kamu tau tuh cowok udah punya cewek bahkan udah mau nikah? Bego banget sih kamu."
"Aku sayang ama dia, Sya," jawab Anjani.
Asya seketika bungkam. Jika jawaban seperti itu Asya tidak akan bisa berkata apa-apa lagi.
"Aku mohon, Sya. Tolong jaga rahasia aku ini ya?" kata Anjani lagi. Dia sungguh takut jika Asya sampai buka mulut.
Asya terdiam cukup lama namun pada akhirnya dia mengangguk. Menyetujui untuk menyimpan rahasia besar itu.
***
Akhirnya Anjani benar-benar menikah dengan pria yang datang melamarnya hari itu. Dan tentang kehamilannya, tidak pernah ada yang tahu kecuali Asya dan Anjani sendiri. Asya juga tidak berniat ingin mengatakannya karena itu sama saja membongkar aib keluarga.
Asya hanya kasihan pada pria yang menikah dengan Anjani itu. Apalagi pria itu terlihat sangat baik. Dia akan bertanggung jawab pada anak yang bukan miliknya. Namun mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi.
Empat bulan setelah Anjani menikah, Asya akhirnya lulus SMA. Yani dan Hamid memanggil putrinya itu untuk duduk bersama di ruang keluarga mereka yang sederhana.
"Asya?" panggil Hamid dengan nada yang begitu lembut.
"Iya, Pak," jawab Asya sedikit degdegan sebab wajah orangtuanya terlihat begitu serius.
"Maaf ya, Nak. Tapi kayaknya Bapak sama Ibu gak bisa biayayain kamu buat kuliah," ujar Hamid dengan penuh penyesalan akan ketidakmampuannya. Ketahuilah, dia sudah berusaha mencari pinjaman namun tak satupun orang yang mau membantunya. Mereka berpikir apa yang akan dijadikan jaminan oleh keluarga miskin seperti mereka. Rumah saja bukan milik mereka.
Sebenarnya Asya sudah tahu hal ini akan terjadi. Asya sampai harus menghindari setiap kali gurunya bertanya apakah Asya akan lanjut kuliah atau tidak sebab Asya sudah yakin jika kedua orangtuanya tidak akan mampu. Namun mendengarnya secara langsung seperti ini membuat hati Asya berdenyut sakit.
"Iya, gak apa-apa kok, Pak, Bu. Asya ngerti," jawab Asya mencoba tetap mengulas senyuman meski itu sangat dipaksakan. Yani mendekat ke arah putrinya lalu membawanya ke dalam pelukannya. Asya mungkin berkata jika dia baik-baik saja tapi Yani yakin jika di lubuk hatinya tidak demikian.
Suasana tiba-tiba menjadi haru. Mereka menangis dalam diam. Hamid yang lebih dulu beranjak. Pria itu memilih keluar dari rumah dan bergabung bersama para bapak-bapak yang sedang meronda. Setidaknya mengobrol dengan mereka bisa membuat dia sejenak melupakan masalah keluarganya.
Yani melepaskan pelukannya. Mengusap lembut pipi anak gadis itu untuk menghapus air matanya.
"Nanti kalo Bapak sama Ibu udah punya uang, kami janji bakalan masukin kamu kuliah. Untuk sekarang kamu nganggur dulu ya," kata Yani. Dia tidak ingin anaknya itu terlalu kecewa meski dia sendiri tidak tahu apakah suatu saat nanti dia dan suami bisa menepati janji atau tidak.
"Iya, Bu," jawab Asya. Gadis itu kemudian pamit untuk tidur. Saat sampai di dalam kamar dia melihat adiknya yang sedang serius belajar. Sama seperti Asya, Luna pun akan segera menjalani ujian akhir. Asya tidak mengatakan apa-apa. Dia lebih memilih tidur. Sebab dia tahu adiknya juga pasti mendengar pembicaraan mereka tanpa harus Asya jelaskan.
Padahal Asya sudah mengatakan tidak apa-apa namun pada kenyataannya air matanya tetap mengalir sampai membasahi sarung bantal yang juga sudah usang dan sedikit robek tersebut.
Apakah dia benar-benar akan berakhir seperti ini saja?
Padahal dia juga ingin sekali menjadi anak yang bisa orangtuanya banggakan, terutama keluarga sang ayah agar mereka tak lagi merendahkan keluarganya. Tapi jika keadaannya seperti ini, rasanya mimpi itu sangat jauh.
Apakah akan ada yang namanya keajaiban untuk gadis itu?
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,