Kubungkam Hinaan Keluarga Dengan Kesuksesan
"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!" hardik Rania mendorong tubuh Yani membuat wanita itu terjatuh di atas tanah.
Setelah itu, Rania juga melempar baju-baju milik wanita itu dan keluarganya ke arah Yani.
"Astagfirullah, Mbak...hiks," tangis Yani memunguti pakaiannya dan keluarganya satu persatu.
Hamid, suami Yani yang baru saja datang dari sawah langsung menghampiri sang istri.
"Ya Allah, Ibu!" kata Hamid menghampiri sang istri.
"Mbak, ini apa-apaan sih?" tanya Hamid kemudian melirik ke arah sang kakak, Rania yang tengah menatap jengkel ke arah mereka.
"Kalian harus pergi dari sini," kata Rania menatap kesal mereka.
"Tapi, kenapa, Mbak?" tanya Hamid lagi. "Lagian ini kan rumah Bapak sama Ibu. Emang salah kalo aku dan keluargaku tinggal di sini?" ujarnya lagi mulai tersulut emosi namun Hamid mencoba untuk tetap menahannya. Bagaimana pun juga wanita itu adalah kakak perempuannya.
"Ya salah lah. Kalian kalian itu cuma jadi beban buat Bapak sama Ibu," kata Rania. "Kamu itu gak malu apa numpang di rumah orangtua padahal anak udah pada gede-gede juga," hardiknya kemudian.
Ya. Hamid akui setelah dia menikah dengan Yani hingga dikarunia dua orang anak, pria itu masih belum mampu untuk membeli rumah sendiri untuk keluarganya. Itulah sebabnya dia masih tinggal bersama orangtua.
Hamid terdiam tidak tahu harus berkata apa. Terlebih ketika dia melihat dari balik kaca, Bapak dan Ibunya tengah duduk di sana. Menyaksikan semuanya tanpa ada niat untuk menghentikan apa yang dilakukan Rania.
Jadi, mereka juga menganggap Hamid dan keluarga adalah beban? Sepertinya iya.
"Tapi, aku harus bawa keluargaku kemana, Mbak?" tanya Hamid dengan nada putus asa sembari memeluk istrinya yang sejak tadi hanya bisa menangis.
"Ya mana aku tahu!" kata Rania masa bodoh. "Pokoknya kalian harus pergi dari sini. Ngerti!" bentaknya tak peduli jika sekarang mereka tengah menjadi tontonan para warga yang lewat atau sengaja melihat karena mendengar suara Rania yang begitu besar.
Asyafa atau gadis yang lebih akrab di panggil Asya itu (anak pertama Hamid dan Yani) menghampiri Bapak dan Ibunya yang tengah menangis sembari memunguti pakaian mereka.
"Loh, Pak, Bu, ini ada apa?" tanya Asya yang baru saja pulang dari membantu tetangganya di kebun.
Yani mengusap lembut wajah Asya sambil menahan tangisnya.
"Kita diusir, Nak," jawab Yani.
"Apa? Kita diusir?" tanya Asya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Dia menoleh ke arah Rania yang tengah menatap mereka seakan mereka adalah hal yang begitu menjijikkan. Asya tahu jika keluarga Bapaknya itu tidak pernah suka pada keluarganya. Namun tak pernah terbesit dalam benak Asya jika mereka akan tega mengusir mereka seperti ini.
"Ayo kita pergi dari sini," kata Hamid pada istri dan anaknya.
"Tapi, kita mau pergi kemana, Pak?" tanya Yani.
"Pokoknya kita pergi aja dulu ya," kata Hamid sebab dia sendiri tidak tahu harus membawa keluarganya kemana. Yang terpenting mereka pergi dulu karena dia juga sudah tidak tahan dengan perlakuan kakak perempuannya terhadap keluarganya.
Meski berat Yani dan Asya terpaksa mengikuti saja apa yang dikatakan Hamid. Mereka pergi dari sana. Sementara Aluna yang biasa dipanggil Luna, adik Asya dijemput di tempat bermainnya. Anak itu juga tampak bingung saat mereka justru berjalan menjauh dari rumah kakek dan neneknya. Namun karena belum tahu apa-apa, anak itu tidak bertanya sama sekali.
Hamid melirik ke arah istri dan anaknya. Sungguh hatinya sangat sakit. Sebagai seorang kepala keluarga, Hamid merasa telah gagal. Seharusnya dia memberi kebahagiaan namun pria itu malah memberi penderitaan pada orang-orang yang sangat dia sayangi.
'Ya Allah! Aku harus bawa keluargaku kemana?' Batin Hamil menjerit.
***
Beberapa tahun kemudian.
Asya menghempas begitu saja tubuhnya yang lelah ke atas kasur yang terbuat dari kapuk tersebut. Empuk? Tentu saja tidak. Malah kasur itu terasa sangat keras. Meski demikian kasur itu tetap menjadi tempat ternyaman untuknya.
Kaki Asya terasa begitu capek karena harus berjalan kaki dari sekolah ke rumahnya. Gadis yang kini duduk dibangku sekolah kelas tiga SMA itu harus menempuh jarak yang lebih karena sejak diusir dari rumah sang nenek, jarak dari rumah dan sekolahnya jadi semakin jauh.
Cklek!
Daun pintu yang terbuat dari papan yang ditempel seadanya itu terbuka menampilkan seorang gadis remaja lain.
"Kak, makan yuk," ajak Luna, adik Asya. Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas tiga SMP.
"Duluan aja. Aku masih capek," ujar Asya tak ingin beranjak dari kasurnya. Dia malah berbalik membelakangi Luna.
"Ya udah," jawab Luna mengerucutkan bibirnya kemudian berlalu dari sana meninggalkan Asya.
Sekitar dua puluh menit berlalu barulah Asya bangkit dari tempat tidur. Mengganti pakaiannya dengan pakaian sehari-hari. Dia lalu menuju dapur yang berada tepat di samping kamarnya. Gadis itu membuka tudung saji untuk melihat apa yang bisa dimakan.
Tempe goreng dan ikan asin. Menunya mungkin sederhana namun Asya tetap bersyukur karena masih bisa makan hingga kenyang. Rumah Asya akan selalu sepi di siang hari karena kedua orang tuanya pergi bekerja. Bahkan sekarang Asya sudah harus menyusul sang ibu ke kebun untuk membantunya. Luna? Gadis itu sudah pergi lebih dulu tadi.
Dengan berbekal sebotol air minum Asya berangkat dari rumahnya menuju kebun yang berada cukup jauh di belakang rumahnya.
Tidak. Kebun itu bukan milik keluarga Asya, mereka hanya bekerja di sana membantu pemilik kebun untuk menjaga sayuran mereka. Setelah laku barulah mereka akan diberi upah.
"Ibu! Luna!" panggil Asya begitu dia sampai di kebun. Sang pemilik nama pun mendongak sambil tersenyum simpul. Yani sedang menyirami sayur menggunakan gembor, wadah berbentuk cerek besar dengan corong besar diujungnya. Sementara Luna sedang menabur racun siput di sisi lain kebun yang lumayan luas tersebut.
"Sini, Bu, biar Asya yang gantiin ibu nyiram sayurnya," kata Asya mengambil alih gembor tersebut dari tangan sang ibu. Sebenarnya Yani sudah melarang kedua putrinya untuk datang ke sana. Namun Asya dan Luna ngeyel pengen ikut membantu. Mereka tidak tega melihat ibu mereka bekerja sendirian. Lagipula jika ada Asya dan Luna, Yani jadi ada teman bicara di sana.
"Ya udah kalo gitu Ibu istirahat sebentar ya," kata Yani pada putrinya. Di tepi kebun tersebut ada sebuah rumah kecil tempat mereka untuk beristirahat.
Yani melihat kedua putrinya dengan tatapan sendu. Mungkin mereka tersenyum dan menganggap apa yang sedang mereka kerjakan itu sebuah permainan untuk menghibur diri. Sungguh Yani merasa begitu bersalah telah menyeret kedua putrinya dalam kesulitan. Namun dia bisa apa. Yani hanya seorang wanita lulusan SD yang tidak mungkin medapatkan pekerjaan yang lebih layak. Tidak jauh beda dengan suaminya. Dia sudah sangat bersyukur karena kedua putrinya bisa bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi tanpa mengkhawatirkan biaya sebab biaya sekolah mereka ditanggung oleh pemerintah setempat. Setidaknya kedua putrinya harus bisa punya masa depan yang lebih baik dari pada dia dan suaminya.
Yani juga sangat bersyukur punya Asya dan Luna, dua anak gadis yang tidak pernah menuntut orangtuanya untuk mengabulkan keinginan mereka. Padahal Yani tahu pasti dalam lubuk hati keduanya mereka juga ingin seperti anak-anak yang lain. Yang bisa bermain bukannya bekerja membantu orang tua mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments