Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 - Babak Baru, Ujian Lama.
"0822-6767 abis itu berapa ya? 8886 coba ...."
"The number your calling_"
"Ck, bukan juga, coba lagi ...."
"8844?"
"8845?"
"8847?"
"Ays, masih salah juga ... terus berapa?"
Ganeeta mengacak rambutnya setelah lima kali gagal dalam mencoba mengacak nomor telepon Zion. Dia yang memang agak pelupa sedari dulu selalu lemah dalam menghapal nomor telepon, bahkan nomor telepon pribadi saja juga tidak ingat.
Hendak menghubungi teman-teman Zion juga tidak ada harapan, karena semua nomor telepon mereka Papi musnahkan kemarin. Hendak menghubungi Zion via akun sosial medianya juga tidak bisa karena selain memblokir semua akun teman Ganeeta yang dianggap membawa pengaruh buruk, Papi Cakra juga mengganti semua pasword akun Ganeeta hingga dia tidak bisa melakukan apa-apa.
Tinggal satu-satunya jalan adalah menghubungi Zion dengan nomor yang berbeda, nomor Mba Nora. Hal itu dia lakukan dengan maksud ingin memberikan penjelasan pada Zion yang dia yakini tengah terpukul setelah Faaz ajak bicara.
"Gimana, Non? Masih tidak bisa?"
"Hem, Mba kira-kira hapal nomor Zion tidak ya?"
"Ya ampun pertanyaannya ada-ada saja, mana mungkin Mba hapal, Non," jawab Mba Nora sedikit terkejut mendengar pertanyaan konyol Ganeeta.
Ganeeta berdecak pelan seraya mengusap kasar wajahnya. "Tanya doang, Mba, mana tahu hapal."
"Tidak, memangnya kenapa? Nomornya diblokir ya sama Gus Faaz?"
"Iya, orang-orangan sawah itu makin resek!! Masa dia tiba-tiba maksa aku sama Zion putus, kan aneh, Mba," keluh Ganeeta menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengembuskannya perlahan.
Sama seperti yang dilakukan Mba Nora, ingin sekali dia berkata "Itu mah situ yang aneh." tepat di hadapan Ganeeta. Namun, dia yang masih sayang dengan pekerjaannya sebagai pengabdi di rumah keluarga Darwangsa mana mau ambil risiko dan memilih iya-iya saja.
"Tuh, Mba saja tahu dianya aneh ... dan lagi, Mba tahu tidak? Papi suka banget sama dia, semenjak malam aku dianterin pas mabuk itu Papi selalu bahas Gus Faaz melulu sampai panas telingaku mendengarnya."
"Oh iya?"
"Iya, Mba, pokoknya anak Papi sekarang dia, bukan aku lagi," ucap Ganeeta terdengar makin lesu saja.
Tidak sedang berbohong, sikap Papi Cakra memang terasa berbeda pasca malam itu. Seakan tidak ada jeda ikan, Papi Cakra begitu membanggakan pria bernama Rafardhan Faaz Imtiyaz sampai Ganeeta muak mendengarnya.
Hingga, di malam berikutnya dia tahu bahwa ternyata pertunangan mereka telah direncanakan dan membuat Ganeeta semakin frustrasi.
Siapa sangka, hingga detik ini Faaz berhasil menjadi penguasa dan dipersilakan melakukan apapun oleh papinya. Selain itu, Faaz juga mendapat dukungan penuh dari Mami Ameera dan juga Khalif - adiknya hingga tidak seorang pun yang berada di pihak Ganeeta.
Terpaksa, untuk beberapa waktu Ganeeta hanya bisa menurut dan mengikuti alurnya. Meski awalnya cukup berat, beberapa kali Ganeeta sempat berpikir untuk kabur dan menemui Zion ke markas, tapi berakhir urung karena Faaz tahu tempat persembunyiannya.
.
.
Hari demi hari Ganeeta lewati dengan cukup baik, berlagak sebagai istri penurut dengan imbalan tugasnya sedikit lebih ringan adalah simbiosis mutualisme yang cukup menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Sementara itu, Faaz juga cukup menikmati proses dalam mendidik Ganeeta meski lebih banyak tantrum dibanding tentramnya.
Memasuki hari ketujuh, mengingat Ganeeta sudah dalam keadaan suci, Faaz memulai babak baru dimana dia akan mengajari Ganeeta baca Al-Qur'an. Ya, kalau dari pengalaman, Faaz paling suka bagian ini sedari dahulu, dan dia harap tidak berubah meski muridnya agak berbeda.
Jadwal belajarnya dimulai sepulang Faaz shalat Magrib di masjid, sampai memasukinya waktu Isya dan ditutup dengan shalat berjama'ah.
Sewaktu memasuki kamar, Faaz sudah disambut dengan Ganeeta yang duduk di hamparan sajadah sembari menunggunya.
Entah shalat sungguhan atau hanya duduk saja, Faaz juga tidak tahu karena sewaktu dia pergi, Ganeeta masih sibuk menjadi mukenanya.
"Sudah shalatnya?" tanya Faaz mengulas senyum hangat pasca Ganeeta mengecup punggung tangannya.
Ganeeta mengangguk, dia kembali duduk bersila di hadapan Faaz yang sudah siap memulai aktivitas mereka.
"Kamu belum bisa sama sekali, agak bisa atau bisa banget?"
"Belum bisa," jawabnya sembari menggeleng pelan.
"Sama sekali?"
"Bisa sih, dulu pernah ngaji di masjid sana," aku Ganeeta yang cukup menenangkan bagi Faaz.
Dengan begitu, setidaknya Ganeeta tidak benar-benar buta dan masih ada harapan hanya sekadar memperlancar bacaan saja.
"Alhamdulillah, berapa lama ngajinya kalau Mas boleh tahu?"
"Eum, mungkin enam bulan," jawab Ganeeta lagi dan ya, perasaan Faaz masih sama, lega.
Berbekal enam bulan, rasanya sudah sangat cukup dan Faaz semakin bersemangat untuk memulainya.
"Masya Allah, mau langsung dites?"
"Boleh, aku pakai Iqro' tapi ya? Kalau langsung Al-Qur'an belum bisa."
"Iya, ini Iqro'-nya?" tanya Faaz menatap buku yang dulu pernah dia gunakan juga sewaktu masih kecil.
Kembali seperti anak yang amat patuh, Ganeeta mengangguk. "Iya, Mas."
Tanpa bertanya, Faaz langsung memulai dari Iqro' satu lebih dulu, permulaan dan demi memastikan Ganeeta sudah mengenali keseluruhan huruf hijaiyah sebagai modal untuk melangkah ke tahap selanjutnya.
"Ta'awudz dulu."
"Hah?"
"Ta'awudz, Sayang," ucap Faaz lagi dan tetap tidak membuat Ganeeta mengerti.
"Yang gimana?"
"A'udzubillaahi minassyaithoonirrajim."
"Oh itu, bilang dong dari tadi," ucap Ganeeta yang memang hanya tahu lafadz, tapi dia tidak tahu namanya.
Usai Faaz memberikan contohnya, Ganeeta ikut melakukannya dan semua lancar-lancar saja sampai lafadz Basmalah selesai.
"Alif ... Ba ... Ta ... Tsa ... Jim ...."
Satu persatu Faaz tes masih aman, hingga tiba di huruf ketiga belas, tepatnya Syin dia mulai bingung dan selalu melirik ke arah sang suami sebagai pertanda bahwa dirinya memang lupa.
"Ayo apa yang ini?"
"Duh apa ya ...."
"Kalau ini yang ini Sin, tidak jauh beda maka sebelahnya dibaca?"
"Sun," jawab Ganeeta asal ceplos dan berakhir membuat Faaz mengatupkan bibir.
"Masa sun?"
"Terus apa? Katanya tidak jauh beda sama yang sebelah."
"Syin, Sayang, bukan Sun."
"Oh, iya ... Siin," ucap Ganeeta dan tak begitu tepat sebenarnya.
"Tidak begitu, Syin bukan Siin."
"Ck, gimana-gimana?"
"Makhraj Huruf Syin terletak pada bagian tengah lidah dan bagian tengah langit-langit mulut paling atas, adapun cara pengucapannya adalah Sya ... Syin ... Sya, perhatikan baik-baik ... Sya, okay?"
Ganeeta menyimak dengan begitu seksama, mulutnya sampai ikutan meniru tatkala Faaz memberikan contohnya.
"Coba ulangi."
"Sya."
"Bagus, sekarang yang ini," ucap Faaz lanjut ke huruf selanjutnya.
Lama Ganeeta lihat, dan dia sama sekali tidak bisa ingat. "Lupa," ucapnya kemudian hingga Faaz makin ragu tengah pengalaman Ganeeta yang mengatakan pernah mengaji sampai enam bulan lamanya.
"Ganeeta Mas boleh tanya?"
"Hem, boleh."
"Kamu tadi bilang, pernah mengaji sampai enam bulan bukan?"
"Iya, kenapa memangnya?"
"Selama mengaji, belajar apa sama ustadz-nya?"
"Tidak tahu," jawab Ganeeta mengedikkan bahu.
"Kenapa bisa tidak tahu?"
"Orang aku cuma sampai teras, pak Ustadz ngajar ngajinya di dalem masjid jadi mana aku tahu, Mas," aku Ganeeta lagi dan kali ini benar-benar membuat Faaz sontak memijat kepala. "Astaghfirullah ... Ya Allah, kuatkan Hamba menghadapinya."
.
.
- To Be Continued -
Kamu dah mahasiswi loh..bkn anak kecil lagi
Bisa kan mencerna ucapan Faaz
Kalian sama² terpaksa awalnya...bahkan kamu kabur Neet
Tp seiring berjlnnya wkt mulai sama² nyaman kan...mulai saling membutuhkan
Klwpun kamu marah & kecewa....jgn ke Faaz dong...ke Papimu sana
Kalian sama² 'korban' disini
Klw boleh jahat....biangnya sebenarnya Om Pras...salah memperlakukan sedari balita...itu menurut aku
Jd sampai kamu remaja kamu salah mengartikan sayangnya Om Pras ke kamu
jiwa posesif Faaz muncul jga..
😀😀😀😀❤😉😉
Plg dulu sana Om
dan semoga dngan dtang ny Pras konflik rumhtngga ny Anet ma Faaz cpet kelar
Gaspol no rem 😂
ak sendiri klo jd anett jangankn Deket liat muka orgnya aja udh GK mau,,
pasti butuh pelampiasan entah pelukan atau sandaran,, 😔🤧