Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Jatuh cinta
Angkasa memasuki rumah dengan langkah pelan. Malam itu, pikirannya penuh dengan perasaan campur aduk, membuatnya sulit untuk fokus. Bayangan pertemuannya dengan Aletha terus mengambang dalam pikirannya. Gadis itu bukan hanya menarik, tetapi juga penuh teka-teki. "Kenapa gue malah kepikiran terus, sih?" gumamnya sambil melepas sepatu dengan asal di dekat pintu.
"Angkasa, sudah pulang?" Suara lembut Mama terdengar dari ruang tengah. Mama sedang duduk santai di sofa, mengenakan baju tidur yang sederhana tapi tetap terlihat anggun. Di hadapannya, TV menyala menampilkan sebuah acara yang tidak terlalu menarik perhatian.
"Iya, Ma. Baru sampai," jawab Angkasa sambil berjalan mendekat dan langsung menjatuhkan dirinya di sofa di samping Mama. Ia menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang masih menggelayutinya.
Mama menoleh, memperhatikan wajah putranya dengan senyuman kecil yang hangat. "Mukanya kenapa kayak orang habis ketemu hantu?" tanyanya setengah bercanda, matanya menatap lekat-lekat ke arah Angkasa.
Angkasa tersentak. "Hah? Nggak ada apa-apa kok, Ma," jawabnya cepat sambil menggaruk tengkuknya, sebuah kebiasaan yang muncul tiap kali ia merasa salah tingkah.
Mama mendengus kecil, jelas tidak percaya. "Nggak ada apa-apa? Terus kenapa dari tadi Mama lihat kamu senyum-senyum sendiri waktu masuk rumah? Ada yang aneh nih."
"Serius, Ma. Capek aja, tadi jalan macet," kilah Angkasa, berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia menyandarkan kepalanya di sofa, berharap Mama tidak memperpanjang topik.
Namun, Mama tersenyum penuh arti. "Hmm, ya sudah. Tapi kalau lagi jatuh cinta, nggak usah malu cerita sama Mama, ya," katanya sambil menatap layar TV lagi.
Wajah Angkasa langsung memerah. "Ma! Siapa yang bilang jatuh cinta? Nggak ada apa-apa kok!" serunya, sedikit lebih keras dari yang ia maksudkan.
Mama tertawa kecil, senang melihat putranya gelagapan. "Iya, iya. Kalau nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi Mama selalu ada kalau kamu butuh, ya." Ia lalu berdiri, membawa gelas yang sudah kosong ke dapur.
Angkasa menghela napas panjang, merasa lega sekaligus kesal.
"Mama selalu bisa baca pikiran gue," pikirnya. Tatapannya tertuju ke langit-langit, tapi pikirannya kembali ke sosok Aletha. Senyum tipis gadis itu, caranya berbicara, bahkan tatapan tajamnya—semua membuat Angkasa semakin penasaran.
Ia meraih ponselnya, membuka kontak, tapi tentu saja tidak ada nama Aletha di sana. Ia mengetuk-ngetuk layar ponselnya sambil berpikir. "Kalau gue minta langsung, kayaknya aneh banget. Tapi, gimana caranya?"
Lalu, sebuah ide terlintas. Nadya, teman dekat Aletha sekaligus anggota OSIS, pernah menyebutkan kalau ia mengurus data siswa baru. Termasuk, tentu saja, nomor kontak mereka. Dengan sedikit ragu, Angkasa mengetik pesan.
________________________
["Nad, ganggu nggak? Gue butuh bantuan."]
Tidak lama kemudian, balasan datang.
[ "Ganggu banget. Tapi, ngomong aja, jangan banyak basa-basi."]
Angkasa tersenyum kecil. Nadya memang terkenal ceplas-ceplos.
[ "Gue mau minta nomor Aletha. Tapi, jangan bilang siapa-siapa."]
Balasan dari Nadya tidak langsung datang. Angkasa mulai gelisah. Ia memegang ponselnya erat, matanya terus terpaku ke layar.
"Kenapa lama banget sih? Jangan-jangan dia malah bilang ke Aletha," pikirnya, merasa cemas.
Beberapa menit kemudian, pesan Nadya akhirnya masuk.
["Dafit, lo serius? Nomor dia gue dapet buat urusan sekolah. Tapi ya udah, gue kasih. Tapi jangan sampai gue kena masalah, ya."]
Angkasa tersenyum lega.
[ "Thanks banget, Nad. Gue janji, nggak bakal ada yang tahu."]
______________________
Angkasa menggenggam ponselnya, menatap layar dengan tatapan penuh keraguan. Ia sudah mendapatkan nomor Aletha dari Nadya beberapa menit yang lalu. Namun, mengirim pesan pertama terasa seperti melangkah ke wilayah asing yang penuh risiko. "Apa gue terlalu buru-buru?" pikirnya, sambil menghela napas panjang.
Ia mulai mengetik sesuatu, lalu menghapusnya. Ketik lagi, hapus lagi. Rasanya semua kalimat terdengar salah. “Kalau terlalu santai, kayak nggak niat. Kalau terlalu serius, malah bisa bikin dia ilfeel,” gumamnya sambil mengacak rambutnya sendiri.
Akhirnya, setelah beberapa menit bergelut dengan pikirannya sendiri, ia memutuskan untuk mengetik pesan sederhana:
[ "Tha, ini gue, Angkasa. Besok pagi gue jemput ya, kita berangkat bareng."]
Jari-jarinya melayang di atas tombol "Kirim" selama beberapa detik. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali, memastikan tidak ada kata yang salah atau nada yang terdengar memaksa. “Terlalu langsung nggak, ya? Ah, nggak apa-apa. Dia kan udah tahu kalau gue serius,” gumamnya sambil meyakinkan diri.
Ia akhirnya menekan tombol "Kirim." Pesan itu terkirim. Kini, yang tersisa hanyalah perasaan gelisah yang tak tertahankan. “Kalau dia nggak balas gimana? Kalau dia nolak? Aduh, gue ngapain sih tadi?” pikirnya panik, sambil menggigit ujung kuku.
Tidak butuh waktu lama, ponselnya bergetar pelan. Sebuah notifikasi muncul. Angkasa langsung menegakkan badan. Jantungnya berdetak lebih kencang.
["Angkasa? Kok tiba-tiba banget? Tapi ya udah, kalau kamu mau jemput, aku tunggu. Jangan telat."]
Angkasa membaca pesan itu sekali, lalu dua kali. Senyum kecil mulai terbentuk di wajahnya, lalu berubah menjadi senyuman lebar. Meski singkat, jawaban Aletha cukup untuk membuatnya merasa lega sekaligus bahagia. "Dia nggak nolak! Bahkan dia setuju gue jemput," pikirnya penuh semangat.
Ia segera mengetik balasan:
["Siap, Tha. Gue nggak bakal telat. Sampai besok pagi."]
Setelah mengirim pesan itu, Angkasa menyandarkan tubuhnya ke sofa, sambil terus memandangi layar ponselnya. Senyumnya tak kunjung hilang. Rasanya, malam itu tiba-tiba jadi lebih indah dari sebelumnya. “Besok pagi bakal seru banget,” batinnya penuh antusias.
Di tengah kebahagiaan kecil itu, suara lembut Mama terdengar dari arah ruang tengah. "Angkasa, siapa yang bikin kamu senyum-senyum sendiri kayak gitu?" tanyanya dengan nada menggoda. Mama duduk di sofa, menatap putranya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Angkasa langsung salah tingkah. “Hah? Siapa, Ma? Nggak ada kok. Aku cuma lagi lihat meme lucu,” jawabnya cepat sambil menyembunyikan ponselnya di balik bantal.
Mama tidak mudah percaya. Ia mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya makin tajam. “Meme lucu? Masa iya? Mukanya senyum lebar begitu. Pasti lagi chat sama cewek, kan?” godanya.
“Enggak, Ma! Serius deh, nggak ada apa-apa,” jawab Angkasa, mencoba tetap tenang. Tapi warna merah di pipinya mengkhianati segalanya.
Mama terkekeh kecil, lalu bersandar lagi di sofa. "Ya sudah, kalau nggak mau cerita juga nggak apa-apa. Tapi kalau itu soal cewek, Mama senang kok. Kamu akhirnya mulai punya cerita selain tentang mobil dan futsal."
Angkasa hanya menggaruk tengkuknya sambil mengalihkan pandangan. "Nggak ada apa-apa, Ma. Serius. Aku mandi dulu ya," katanya sambil berdiri buru-buru.
"Angkasa," panggil Mama pelan sebelum ia sempat pergi.
Angkasa berbalik, sedikit khawatir. "Iya, Ma? Kenapa?"
Mama tersenyum lembut. "Mama senang kalau kamu bahagia, Nak. Tapi jangan terlalu memaksa orang lain, ya. Kalau memang itu jodohmu, semua akan berjalan lancar."
Ucapan itu membuat Angkasa tertegun sejenak. Ia mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh perhatian Mama. "Iya, Ma. Aku ngerti kok. Makasih ya," jawabnya sebelum masuk ke kamar mandi.
Sementara itu, di dalam kamar mandi, Angkasa membasuh wajahnya sambil melihat bayangannya sendiri di cermin. "Gue beneran suka sama Aletha, ya? Tapi, ini baru awal. Gue harus pelan-pelan,” gumamnya. Ia bertekad untuk menunjukkan kepada Aletha bahwa ia bisa diandalkan.