Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jerat Kekerasan
Anna duduk termenung di ruang tamu apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah tidak lagi menyala. Pikirannya kacau, hatinya terpecah antara rasa bersalah yang mendalam dan kebingungan yang menggerogoti. Setiap detik yang berlalu semakin memperberat beban yang ia rasakan. Keputusan yang salah, perasaan yang hancur, dan Alan—suaminya yang tak lagi bisa dikenali.
Ketika bel apartemen berbunyi, Anna terlonjak. Ia tahu siapa yang datang. Pintu terbuka dengan kasar, dan Alan masuk begitu saja, tanpa mengetuk atau memberi salam. Wajahnya merah, matanya setengah tertutup karena mabuk, tapi tatapan itu penuh amarah yang menakutkan.
“Mas... apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu datang malam-malam?” tanya Anna, suaranya gemetar, meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang.
Alan tidak menjawab, hanya mengibaskan tangan ke arah Anna dengan kasar, mengusir segala keraguan yang ada dalam dirinya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mendekat dan meraih pergelangan tangan Anna dengan sangat kuat.
“Mas, tolong jangan!” Anna menjerit, berusaha melepaskan diri. Namun, cengkeraman Alan terlalu kuat, dan dengan gerakan kasar, ia menarik tubuh Anna ke arahnya. Hidungnya yang berbau alkohol membuat Anna hampir muntah. Suara nafasnya yang berat menggetarkan seluruh tubuh Anna.
“Kau pikir kau bisa pergi begitu saja?” suara Alan bergetar, amarahnya meledak begitu saja, tanpa peringatan. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan dengan pria itu?!”
Anna terkejut. Kata-kata itu menyakitkan lebih dari apa pun yang pernah ia rasakan. Ia merasa tenggelam dalam kesalahan dan kebingungannya sendiri. “Mas, itu... itu hanya kesalahan, aku tidak sengaja...”
“Kau pikir aku bodoh?!” teriak Alan, matanya membara. Tanpa ampun, ia mendorong Anna dengan keras, membuat tubuh Anna terhantam dinding dengan keras. “Apa kau kira aku tidak tahu apa yang terjadi semalam?!”
Tubuh Anna terasa sakit, dan rasa takut menyelimuti dirinya. Ia mencoba untuk berdiri, tetapi kakinya terasa lemas. “Mas, aku mohon... berhenti. Jangan seperti ini. Kita bisa bicara.”
Alan tidak peduli. Ia menatap Anna dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan—sebuah tatapan yang penuh dengan kebencian dan rasa sakit yang tak terbendung. Dengan gerakan cepat, ia kembali menarik lengan Anna, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar. Anna terhuyung, hampir jatuh, namun ia mencoba untuk tetap bertahan.
“Mas! Aku tidak ingin melukai Mas!” Anna menangis, suaranya penuh penyesalan. “Aku tidak ingin seperti ini...”
Namun, Alan terus menarik tubuh Anna ke arah dirinya, menahan Anna dengan paksa. Tangan Anna mencoba melepaskan diri, namun setiap kali ia mencoba, Alan semakin mempererat cengkeramannya. "Kenapa kamu lakukan ini? Kenapa kamu menghancurkan semuanya, Anna?!" amarah Alan semakin membuncah, wajahnya semakin mendekat, dan Anna bisa merasakan panas dari napasnya.
“Mas, tolong! Jangan lakukan ini...” Anna menangis, air matanya mulai membasahi pipinya, namun Alan hanya tertawa kecut, tawa yang penuh kebencian.
“Tolong?” ujar Alan dengan suara serak, menatap Anna tajam. “Kau pikir aku bisa memaafkanmu begitu saja setelah semuanya? Kau pikir aku bisa melupakan apa yang sudah terjadi?!”
Alan mengangkat tangannya, dan Anna hanya bisa menutup mata, menanti pukulan yang datang. Namun, tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar dari luar pintu.
"Hei, apa yang kalian lakukan?!" seru suara seorang pria dari luar apartemen. Pintu apartemen terbuka sedikit, dan seorang pria yang tinggal di sebelah Anna muncul, menatap Alan dengan tatapan penuh amarah.
Alan terkejut. Ia menoleh sejenak, kebingungannya muncul seiring dengan rasa malu yang datang. Ia menurunkan tangannya yang sempat terangkat, namun amarahnya masih membara.
“Aku tidak perlu orang lain mengajari aku bagaimana cara menangani istri!” bentak Alan, sambil menatap pria tersebut dengan penuh kebencian. “Jangan campuri urusanku!”
Namun pria itu tidak gentar. Ia melangkah maju dan berdiri di depan Alan, menatapnya dengan tegas. “Jika kamu masih ingin hidup seperti ini, dengan memukul dan menyiksa istrimu, kamu tidak akan punya tempat di sini. Pergi dari apartemen ini, atau aku akan menghubungi polisi.”
Mendengar ancaman itu, Alan tampak bingung sejenak, namun segera ia melangkah mundur, menuju pintu. Dengan satu gerakan kasar, ia membanting pintu di belakangnya.
“Jangan kembali lagi!” teriak pria itu, namun Alan hanya melemparkan tatapan terakhirnya, tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia keluar begitu saja, meninggalkan Anna yang hampir roboh.
Anna terjatuh di sofa, napasnya sesak, hatinya hancur. Ia merasa sangat lemah, namun ada sesuatu yang dalam dirinya mengingatkan dia untuk tetap bertahan.
Pria itu segera mendekati Anna, berjongkok di sampingnya. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suara lembut, penuh kekhawatiran.
Anna tidak bisa menjawab. Air matanya terus mengalir, meresap dalam kesakitan yang begitu dalam. “Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku tidak tahu lagi siapa dia. Alan yang aku kenal, dia tidak seperti ini.”
Pria itu mengelus punggung Anna dengan lembut. “Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya, tapi kamu harus tahu, tidak ada yang berhak melukai kamu seperti itu. Tidak ada alasan untuk kekerasan. Kamu berhak merasa aman.”
Anna mengangguk pelan, meski hatinya penuh kebingungannya sendiri. Di satu sisi, ia masih mencintai Alan, tetapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa lagi hidup dalam ketakutan dan rasa sakit yang terus berulang. Keputusannya semakin mendekat, namun Anna tahu bahwa langkah yang akan diambil tidak akan mudah.
---
Kepedihan yang Tertinggal
Saat Alan kembali ke mobilnya, dia merasa ada kekosongan yang luar biasa. Apakah ini yang ia inginkan? Apa yang sudah dia lakukan? Setiap detik rasa bersalah semakin mendalam, namun ada bagian dari dirinya yang tidak bisa melepaskan perasaan cemburu dan marah. Ia ingin mengendalikan segalanya, dan kali ini, amarahnya telah menguasai dirinya sepenuhnya.
Di dalam mobil, Alan terdiam. Wajahnya yang penuh keringat dan darah tampak pudar. Ia merasa seperti terperangkap dalam perangkap yang ia buat sendiri. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah bahwa ia tidak bisa lagi mengontrol kebencian dan rasa sakit yang telah merusak hidup mereka.
---
Perjalanan ke Depan
Anna menghabiskan malam itu dalam keheningan yang mencekam. Dengan tubuh yang masih lemas, hatinya yang penuh luka, ia tahu bahwa ia harus memilih. Bertahan dengan hubungan yang sudah hancur, atau keluar dan mencari kebahagiaan yang lebih baik. Keputusan itu tidak mudah, tapi Anna tahu bahwa ia harus memilih untuk melanjutkan hidupnya, dengan atau tanpa Alan.
Dengan keputusan yang bulat di hatinya, Anna tahu bahwa masa depannya berada di tangannya sendiri. Ia tidak akan lagi membiarkan dirinya terjebak dalam kekerasan dan ketakutan. Perjalanan ini baru saja dimulai, dan apa pun yang terjadi, ia harus berani melangkah.
---