Sebuah ramalan kemunculan raja iblis berhasil membuat dunia kacau balau akibat kemunculan para monster, makhluk mistis serta fenomena alam baru.
Untungnya manusia masih memiliki secercah harapan. Mereka adalah para manusia yang berhasil membangkitkan kekuatan hebat, mereka disebut Awakening.
Akan tetapi, apakah secercah cahaya itu dapat mengalahkan kegelapan yang begitu besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galaxy_k1910, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindahan
Suara dering telpon terdengar bergema di seluruh ruang keluarga. Ekilah yang berada di teras samping hendak pergi untuk mengangkat telepon itu tapi Karsa sudah lebih dulu melakukannya.
Ekilah pun kembali duduk di kursi teras.
"Siapa?"
Tidak ada perubahan yang signifikan dari ekspresi pria itu.
Setelah sambungan telpon terputus, Karsa pun berjalan menemui Rahayu yang berada di halaman belakang sedang menyiram sayuran.
"Rahayu." Pria itu memanggil nama sang istri dengan nada lembut.
"Ada apa?" Tanya Rahayu tanpa memalingkan pandangannya.
"Minggu depan, sepertinya kita harus pindah rumah. Kamu tahu, sekarang aku sudah resmi menjadi kepala keluarga Rajendra."
Pria berambut putih itu mendekati Rahayu yang sedang memetik tomat dan cabai.
"Akan ada banyak pihak yang ingin mencelakai keluarga kecil kita nantinya dan aku ingin kalian berada di tempat teraman."
Rahayu menoleh ke samping. "Lalu, di mana tempat teraman yang kamu maksud itu? Sekedar informasi aku tidak terlalu suka tempat yang panas."
Karsa tersenyum tipis. "Tentu saja, itu kan hal pertama yang aku tahu tentang dirimu. Aku sudah menyiapkan 3 tempat yang sekiranya cocok untuk kita tinggali sebagai kediaman utama dan sekarang aku butuh saranmu."
Pria bermata ungu itu mengacungkan ketiga jarinya. "Tempat pertama ada di kawasan perbukitan paling utara yang cukup jauh dari ibu kota."
"Jauh dari ibu kota berarti kamu dan anak-anak akan kesulitan untuk bepergian," tolak Rahayu sambil menggelengkan kepalanya.
"Tempat kedua berlokasi tepat di gunung Murkastra."
Rahayu menaikkan satu alisnya bingung. "Gunung Murkastra? Aku tidak pernah mendengarnya?"
"Karena gunung itu adalah properti pribadi milik keluarga Rajendra selama 3 generasi. Kalau tidak salah itu hadiah dari paduka raja terdahulu atas partisipasi keluarga Rajendra saat perang."
Jelas Karsa sembari memutar ingatan saat ia membaca seluruh sejarah keluarga Rajendra.
Rahayu pun terdiam.
"Kenapa?"
Rahayu memalingkan pandangannya. "Tidak, aku heran kenapa aku tidak sadar sudah menikahi pria dari keluarga kaya raya sepertimu? Kalau tahu dari dulu mungkin aku sudah menghabiskan sebagian besar kekayaanmu untuk foya-foya."
Mendengar itu Karsa pun terkekeh. Dia mendekat ke telinga Rahayu dan berbisik.
"Andai kamu mengatakan itu dari dulu maka aku akan langsung merebut posisi penerus dari kakakku."
"..." kata-kata Karsa itu membuat Rahayu terdiam sebentar. "Apa kamu tahu jika kalimatmu tadi itu agak berbahaya?"
"Tidak tuh," jawab Karsa dengan senyuman manis.
"Haha terserah kamu sajalah."
"Jadi apa kamu memilih tempat kedua?"
Rahayu mengangguk. "Aku sudah lama ingin rumah di dekat gunung. Siapa tahu di sana aku bisa bertemu harimau secara langsung," kata Rahayu dengan nada bercanda.
"Keluarga Rajendra juga punya harimau yang jinak kok. Aku akan menyuruh pelayan untuk memindahkan mereka kalau kamu mau."
Karsa memasang senyuman manis di wajahnya.
"... Serius?"
.
.
.
Berita tentang kepindahan keluarga Rajendra ini pun di umumkan oleh Karsa pada kedua anaknya tepat setelah makan malam.
"Sekolahku gimana?" tanya Arkara.
"Terpaksa pindah," jawab Karsa singkat.
Alis Arkara sedikit mengerut. Remaja itu berpikir sebentar. "Apa aku akan bersekolah di sekolah internasional atau sekolah khusus bangsawan?"
"Hanya jika kamu mau."
Arkara berpikir sebentar. "Apa aku boleh bersekolah di Aegis Gale?"
Karsa memiringkan kepalanya bingung. "Kamu mau jadi awakening juga?"
Remaja berambut hitam itu menggeleng pelan. "Aku mau jadi detektif atau dokter forensik seperti Papa."
Entah kenapa ucapan Arkara membuat pria berusia akhir 30 tahunan itu jadi terharu.
"Baiklah, papa akan memindahkan mu ke sekolah itu. Omong-omong, bukankah kamu pernah mendapatkan undangan dari sekolah itu, Eki?"
Ekilah tersentak. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Perempuan itu sendiri sudah lupa di mana ia taruh undangan dari sekolah elit itu.
"Hehe." Tawa dengan nada datar itu langsung membuat mereka bertiga mengetahui jika Ekilah telah ceroboh menyimpan undangan tersebut.
"Hah," Rahayu menghela nafas pendek. "Mama heran kenapa kamu menolah beasiswa dari sekolah bagus itu. Jangan bilang kamu lupa membalas undangan mereka?"
"..." Ekilah terdiam sambil tersenyum kecut.
Tindakan perempuan itu membuat keluarganya speechless.
"Jadi kamu lupa membalas undangan mereka?" Tanya Rahayu memastikan dugaannya.
"Lebih tepatnya aku lupa di mana aku menaruh undangan mereka," jawab Ekilah sambil menundukkan kepalanya.
.
.
.
1 Minggu berikutnya. Ekilah dengan malas melangkah keluar dari kamarnya menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
Setelah kesadarannya kembali seutuhnya perempuan itu tersadar kalau sudah ada 2 buah mobil hitam mewah terparkir di halaman depan rumahnya.
"Apa para pelayan bangsawan selalu datang lebih awal dari waktu yang ditentukan?" Batin Ekilah bertanya-tanya.
Detik berikutnya ia mengabaikan hal itu dan pergi minum air. Beberapa pelayan nampak memasuki rumah tak lupa membungkukkan badan sedikit pada Ekilah sebagai salam singkat.
[Aku punya pertanyaan.]
'Apa?'
[Jika ayahmu sekarang adalah kepala keluarga yang baru bukankah adikmu sekarang adalah calon penerus?]
Ekilah termenung sebentar. 'Aku rasa begitu.'
[Apa kamu benar-benar tidak tertarik dengan kekuasaan atau semacamnya?]
'Aku cukup tertarik menjadi yang terhebat dalam dunia game tapi sayangnya timku beban semua.'
[...]
Di tengah-tengah pembicaraan batin antara Ekilah dan Tundra seorang pelayan tiba-tiba menghampiri perempuan berambut putih itu.
"Permisi, Nona. Apa ada barang yang ingin anda bawa secara langsung?"
"... Ah, ada sebuah kotak kayu di rumah pohon yang berisi sebuah kristal, tolong bawa kemari." Ekilah teringat akan kristal energi yang ia simpan.
"Baik, nona."
[Bukankah manusia biasa bisa terkena efek negatif dari kristal itu?]
'tenang saja, aku sudah memberi lapisan pelindung pada kotak itu. Selagi pelayan tadi tidak menyentuh kristalnya maka dia baik-baik saja.'
Ekilah menghela nafas pendek. Sekarang adalah waktu untuk pindah rumah.
Tidak ada hal yang menarik sepanjang perjalanan. Perempuan bermata biru kehijauan itu sedang dalam mode malasnya.
Perjalanan dari kota Ujung batu menuju Gunung Murkastra memakan waktu sekitar 5 jam, dan jika macet mungkin sekitar 9 jam. Untungnya di jaman sekarang banyak orang lebih memilih untuk jalan kaki atau menggunakan kendaraan umum untuk berpergian.
Jadi, tingkat kemacetan di negara ini cukup rendah. Alasan utamanya simpel, karena harga motor dan mobil listrik cukup mahal.
Setelah melewati jalan tol yang panjang, mobil pun tiba di daerah hutan. Pohon pohon dan pohon, itulah yang terlihat sejauh mata memandang.
Dahan pohon yang tumbuh menjalar hingga menutupi jalan dari sinar matahari membuat Ekilah merasakan ngantuk.
[Ekilah, apa kamu merasakannya? Ada seseorang yang sedang mengawasi kita. Jumlahnya sekitar 5, tidak 6 orang.]
Ekilah tak ambil pusing. Dia sudah menduga akan hal ini. Perempuan itu juga yakin ayahnya sudah melakukan persiapan.
Buktinya saja para pelayan yang tadi sedang mengangguk barang-barang mereka memiliki kapasitas energi yang cukup tinggi.
Mengingat betapa sulitnya mencari awakening berbakat di daerah ini, itu berarti ada beberapa kemungkinan.
Pertama, mereka memilih untuk tetap hidup damai di daerah dengan kesulitan hidup paling mudah.
Kedua, mereka sudah diambil oleh keluarga Rajendra dan keluarga elit lain sebagai pengawal.
Apapun itu Ekilah tak peduli, dia memutuskan untuk menutup kedua matanya dan membiarkan siapapun mengurus para mata-mata itu.
"Tiga .... Tujuh... Sepuluh... Empat belas... Delapan belas... Dua puluh."
Tepat di hitungan ke 20, Ekilah sudah tidak bisa merasakan energi dari para mata-mata. Dia cukup kagum dengan kinerja para pengawal.
Jika Ekilah yang melakukannya mungkin akan butuh waktu lebih lama mengingat dia suka mempermainkan lawannya dengan berpura-pura lemah.
Tanpa sadar, perempuan itu pun sudah terbawa ke dunia mimpi.