Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Jangan Bertemu Lagi
"Lepas! Lepas!"
Setelah berusaha sekuat tenaga, Lina akhirnya bisa terlepas dari pelukan Trian. Ia masih syok mendapati dirinya tak mengenakan sehelai kain pun di badan.
Jatungnya berdebar kencang, ia gemetar menyadari apa yang terjadi. Semua begitu terasa menakutkan. Ia menarik handuk kimono yang tergeletak di ranjang lalu mengenakannya.
"Lina," pangggil Trian.
Lelaki itu juga terkejut saat Lina terlepas darinya. Ia kira respon Lina akan seperti semalam. Apalagi gairahnya sedang meninggi setelah bangun tidur dan ingin mengulangnya lagi. Tapi, Lina terus memberontak dan mendorongnya.
"Kamu ini apa-apaan, Trian!" bentak Lina dengan nada gemetar.
Trian mengusap kasar wajahnya. Ia juga tak tahu kenapa dirinya bisa begitu.
"Kita melakukannya karena sama-sama menginginkannya, Lin. Bahkan kamu yang memulai semuanya lebih dulu. Aku tidak bisa mengendalikan diri," ucap Trian.
Ia tahu jika sekarang Lina sudah sepenuhnya sadar. Seharunya Lina menolaknya seperti itu tadi malam.
"Oh, Ya Tuhan ... Apa yang sudah kita lakukan ... Kita sudah selingkuh, Trian! Selingkuh!" Lina menangis. Ia masih tak bisa menerima kenyataan.
Trian ikut merasa bersalah. Ia beranjak dari ranjang menghampiri Lina.
"Jangan mendekat!" bentak Lina.
"Apa kamu tidak punya malu tel anjang di depanku?" lanjutnya.
Trian menghentikan langkahnya. Ia ingin tertawa mendengar ucapan Lina. Padahal semalam wanita itu terus memuji-muji dirinya tanpa henti. Dalam kondisi setengah sadar, Lina mengungkapkan rasa puas kepadanya.
Lina bahkan mengatakan jika semalam pertama kalinya bisa terpuaskan. Hal itu membuat rasa percaya diri Trian meningkat.
"Sudahlah, semalam kita melakukan lebih jauh dari ini," ujar Trian.
Lina menghela napas dalam-dalam. "Sebaiknya kita lupakan saja kejadian ini. Anggap tidak pernah ada apa-apa di antara kita," ucapnya.
Raut wajah Trian berubah sedih. Baru semalam rasanya ia bahagia bisa sedekat itu dengan Lina. Akan tetapi, pagi ini ia sudah dicampakan. Dia tidak bisa menerimanya. Apalagi tubuh Lina sudah membuatnya kecanduan.
"Itu namanya kejam, Lina. Apa semalam kamu hanya menganggap aku sebagai alat untuk memuaskan gairahmu? Sekarang kamu sudah tidak membutuhkanku dan mau membuangku?" tanya Trian.
"Lalu, apa yang kamu harapkan dari hubungan seperti ini? Kita sudah sama-sama menikah! Kamu tahu itu!" nada bicara Lina kembali meninggi.
Ia tidak menyangka Trian tak bisa berpikir lurus. Seharusnya sebagai dua pihak yang sudah menikah perlu berpikir bagaimana cara agar tetap mempertahakan keutuhan rumah tangga. Terlepas dari kondisi pernikahan Trian, tetap saja tidak seharusnya tidur dengan orang lain.
"Tapi aku mencintaimu, Lina," ucap Trian. Dia sudah tidak bisa menyembunyikan perasaannya.
Lina terkekeh. "Cinta? Aku sudah punya suami, Trian. Seharusnya kamu mengatakannya sepuluh tahun yang lalu!" tegasnya.
Trian semakin aneh di matanya. Mengaku cinta tapi menikahi orang lain. Lina masih tidak bisa melupakan rasa sakit hatinya ketika dicampakan. Begitu mudah Trian bisa membolak-balikkan perasaan. Ia tak ingin lagi dipermainkan.
"Lebih baik kita jangan bertemu atau saling sapa lagi. Aku tidak mau melihatmu!" kata Lina.
Ia menyambar tas miliknya dari atas meja seraya berjalan pergi meninggalkan Trian di kamar itu. Lina keluar dari rumah Dara hanya dengan mengenakan handuk mandi.
Beruntung tak ada orang yang lewat di sekitar sana. Rudi juga belum pulang ke rumah terlihat dari kondisi pintu yang masih terkunci.
Lina lantas membuka pintu rumah dan masuk ke dalam. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang. Lina menangis sejadi-jadinya. Perasaan Lina kini dipenuhi rasa bersalah.
"Rudi ... Maafkan aku ... Maafkan aku ...," ucap Lina di sela-sela tangisannya.
Lina termenung mengingat-ingat kejadian semalam. Tatapannya kosong. Memorinya kembali menampilakan adegan mersanya bersama Trian. Ia mencari letak kesalahan awalnya di mana.
Mungkin karena ciuman itu. Ia menyesali telah tergoda untuk membalas ciuman Trian. Ia juga membiarkan lelaki itu meraba-raba tubuhnya. Ia tak pernah berpikir mereka akan sampai tidur bersama.
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan pada Rudi," gumamnya.
Lina bangkit dari ranjang. Ia berjalan dengan lunglai menuju kamar mandi. Dibukanya handuk mandi seraya menyalakan shower untuk membasahi tubuhnya.
Lagi-lagi ia menangis. Air matanya bercampur dengan kucuran air. Ia berjongkok membilas miliknya, mencoba membersihkan sisa-sisa cairan yang masih tertinggal. Tangisannya kembali terdengar mengingat betapa kotor dirinya yang sudah membiarkan lelaki lain menjamahnya. Ia tidak sanggup mengatakannya pada Rudi.
***
"Ah! Sial!"
Trian melemparkan bantal ke sembarang arah. Ia merasa kesal dan dibuang. Hatinya sakit dengan ucapan Lina yang memintanya untuk melupakan kejadian semalam dan tidak menemui wanita itu lagi.
Ia tidak bisa melakukannya. Saat pertama bertemu, ia sudah tidak bisa melepaskan mata dari Lina. Apalagi setelah mereka tidur bersama, obsesinya untuk mendapatkan kembali Lina semakin besar. Ia akan mempertaruhkan apapun agar Lina kembali padanya.
"Aku tidak akan menurutimu, Lina. Kamu yang harus menurutimu," ucap Trian.
Ia berjalan menuju kamar mandi. Ia lihat pakaian Lina nasih tertinggal di sana. Senyuman menyeringai tampak jelas di wajahnya.
Ia mengambil semua pakaian milik Lina. Ia peluk pakaian itu seakan ia sedang memeluk tubuh Lina. Ia kembali terbayang-bayang peristiwa semalam yang tak akan pernah ia lupakan.