Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 05 - Mas Faaz ~
Selembut itu Faaz berucap, sama seperti strategi dakwah yang dia terapkan dalam menyiarkan ajaran Islam, begitulah Faaz bersikap pada istrinya.
Dia percaya, tutur kata yang lembut akan lebih baik dibanding dengan paksaan atau didikan keras untuk menuntun siapapun dalam kebaikan.
Begitu pada Ganeeta, Faaz berharap sama. Sedikit demi sedikit sang istri akan patuh dengan kelembutannya dalam bersikap dan bicara.
Berhasil, meski kemungkinan lapar menjadi sebab utama. Begitu Faaz memerintahkannya untuk makan, Ganeeta mau dan segera duduk di samping Faaz.
Tanpa basa-basi ataupun protes sekalipun lauk pauk yang Faaz ambilkan tidak begitu masuk dengan seleranya, Ganeeta segera menyendok makanannya dan bersiap untuk menyantap suapan pertama.
"Eh tunggu!!" Sembari menahan pergelangan tangan Ganeeta, Faaz kembali bersuara.
"Kenapa?"
"Doa dulu," titahnya lagi dan kali ini diangguki sang istri.
"Bismillah." Ucapan itu lolos dari bibir ranum Ganeeta, sedetik kemudian mulutnya penuh dan mulai makan sementara Faaz masih terdiam menatapnya.
"Kenapa? Mau?" tanya Ganeeta usai suapan pertamanya masuk dengan sempurna.
"Mana doa makannya?"
"Tadi sudah," jawab Ganeeta dengan wajah tak berdosa dan merasa sudah tidak lagi ada masalah.
"Hanya itu?"
"Iya, emang kenapa sih?"
"Masa Bismillah saja?"
"Yang penting Bismillah ... aku lapar soalnya," jawabnya santai dan lanjut dengan suapan kedua, ketiga dan seterusnya.
Faaz yang mendampingi di sampingnya tak bisa berbuat apa-apa. Sudahlah, lagi pula ucapan Ganeeta tidaklah salah.
Selagi ingat Tuhan ya cukup saja, mungkin nanti akan terbiasa. Seperti kata abinya, semua butuh proses dan harus di mulai dari hal-hal kecil.
Selama Ganeeta menikmati makan malamnya, Faaz tak berpaling dan masih terus setia di sana. Tanpa pembicaraan dan ruang tersebut Faaz gunakan untuk memandangi wajah si pembuat onar yang sampai membuat kedua orang tuanya menyerah karena merasa tidak mampu lagi mendidiknya.
Dalam keheningan itu, Faaz mengingat semua keluhan Papi Cakra tentang Ganeeta beberapa jam yang lalu, tepatnya selepas akad dan dirinya resmi menjadi menantu.
"Putriku Ganeeta adalah anak yang ceria dulunya, tapi menjelang dewasa dia kehilangan arah ... jiwa kekanak-kanakannya masih terjebak dalam tubuh Ganeeta yang beranjak dewasa."
"Sedari kecil, dia selalu menganggap dirinya sebagai princess Prasetya di masa depan ... sampai akhirnya, Ganeeta patah begitu sadar bahwa dunia ini tidak hanya tentangnya."
"Mungkin semakin lama sikapnya akan semakin membuatmu lelah, tapi dalam keadaan apapun tolong jangan tinggalkan dia."
"Ganeeta memang keras, bukan hanya kepala tapi hatinya ... Sebagai orangtua aku membebaskanmu hendak mendidiknya bagaimana, jika memang sudah melampaui batas mau marah ataupun kau pukul juga tidak masalah."
Lama Faaz melamun, begitu sadar Ganeeta sudah selesai makan dan ditandai dengan sendawa yang juga merupakan alasan lamunan Faaz buyar.
"Ups sorry," ucapnya sembari menutup mulut dengan jemari.
Niatnya menyelamatkan diri meski sudah terlambat. Makan sepiring nasi dengan seporsi tukang gali membuatnya kenyang maksimal hingga tak bisa mengendalikan diri.
"Tidak apa, sudah selesai makannya?"
Ganeeta mengangguk. "Sudah," jawabnya kemudian.
"Doanya?"
"Sudah juga," jawab Ganeeta seratus persen berbohong.
"Benar sudah?"
"Iya, sudah kok."
"Bagaimana doanya?" tanya Faaz bermaksud menguji meski sudah tahu jawabannya.
"Alhamdulillah." Sesuai dugaan, jawabannya sebatas lafadz hamdalah yang sukses membuat sudut bibir Faaz tertarik sedikit.
Ganeeta yang super peka dan sedang sensitif dapat menangkap senyuman di bibir Faaz. "Kenapa? Kan benar ... aku dulu pernah ngaji, ustadznya bilang cukup pakai hamdalah kalau tidak hapal doa lengkapnya," cerocos Ganeeta tanpa sadar justru mengakui alasannya.
Senyum Faaz yang tadi hanya tertarik tipis sedikit lebih lebar hingga ketampanannya semakin terpancar di sana. "Jadi ceritanya tidak hapal doa sebelum dan sesudah makan?"
Sontak Ganeeta terdiam, wajahnya mulai merah sebagai pertanda bahwa tengah malu tentu saja. Sejenak terdiam, dia mulai mencari cara untuk memulihkan namanya agar tidak terlalu jelas kosongnya.
"Do-doa sebelum makan hapal, tapi tadi lapar jadi disingkat saja."
"Ehm terus kalau doa sesudah?"
"Yang itu lupa," jawabnya sedikit berbalik dari pembelaan diri yang sempat dia sampaikan.
Lagi dan lagi Faaz hanya bisa menggeleng pelan. Tahu bahwa Ganeeta mulai malu dengan pembahasan itu, dia segera berlalu untuk mengembalikan piring dan gelas kotor ke dapur.
Bisa dipastikan, dia akan kembali menjadi bahan tertawaan oleh sepupu barunya. Terlebih lagi, di antara mereka ada Azkara, pria yang menjadi alasan Faaz trauma untuk mengkhitbah seorang wanita.
.
.
"Masya Allah, wajar om Cakra sampai minta nikahnya dipercepat," ucap Azkara sesuai dugaan, padahal Faaz masih di anak tangga pertama.
"Jiahaha, takut Faaz keburu sadar," timpal Abimanyu ikut nyambung meski tanpa kabel seperti biasa.
"Faaz-Faaz ... panggilnya yang sopan, Gus Faaz."
"Lah, Kakak sendiri manggilnya Faaz saja, tidak pakai Gus segala."
"Kami berteman, beda denganmu."
"Halah, terserah kau saja ... anyway si Ganeeta lebih kurang ajar berarti?" tanya Abimanyu mengalihkan pembicaraan.
"Kurang ajar dimananya?" Ervano yang sedari tadi diam, kini ikut menimpali dan bergabung ke dalam obrolan.
"Itu, masa seorang Gus, putra kiyai disuruh-suruh kayak pembantu, apaan begitu?"
"Itu bukan kurang ajar, Gus Faaz sedang melakukan tugas sebagai suami dan itu wajar saja. Dalam berumah tangga suami istri itu harus saling melayani, bukan cuma minta dilayani," jawab Ervano bijaksana sesekali dan cukup mewakili Faaz hingga tidak perlu mengatakan apapun untuk membela diri.
Dia berlalu begitu saja dan tidak berniat untuk ikut kegiatan mereka yang kini sudah berpindah bermain ular tangga. Bukan karena Faaz anti sosial, tapi memang lelah dan ingin tidur segera.
Setelah menuntaskan tujuannya, Faaz kembali pamit ke kamar demi menjaga komunikasi dengan keluarga barunya.
Begitu tiba di kamar, Ganeeta yang dia khawatirkan akan terkapar di sofa ternyata tengah sibuk mencari sesuatu di meja belajarnya.
"Cari apa?" tanya Faaz mendekat.
Sebagai orang yang tadi membereskan kamar, tentu saja Faaz bertanggung jawab dalam hal ini.
"Buku catatanku yang warna hijau mana? Pernah lihat tidak?" tanya Ganeeta seakan-akan Faaz telah bersamanya sejak lama.
Beruntung saja pria itu adalah pengingat yang cukup handal. Dia mendekat dan membuka laci meja tersebut, tadi memang buku itu berhamburan di lantai dan kembali dia tata di tempat yang lebih efisien dibanding sebelumnya.
"Ini."
"Ah iya, pindah tempat soalnya, aku kan jadi bingung," ucapnya secara tak langsung menyalahkan Faaz, padahal tanpa Faaz rasanya akan lebih bingung lagi mencari buku itu.
"Besok kuliah?"
Ganeeta mengangguk, sedikit malas menjawab karena tadi sempat dia mengatakan bahwa besok masuk pagi.
"Mam-push," umpat Ganeeta sembari menepuk jidatnya.
Dia terdiam beberapa saat, sejenak melirik jam di atas nakas dan memperkirakan waktu yang tersisa sebelum pagi menjelang.
"Enam jam, cukup tidak ya?" Ganeeta masih bermonolog sebelum kemudian mengeluarkan alat tulis dan keperluan yang lain.
Dalam keadaan panik, Ganeeta terlihat sekali buru-buru saat mengambil posisi duduknya.
"Aduh, mana rumit lagi." Ganeeta menggaruk kepala saking bingungnya. Hingga, dia beralih menatap Faaz yang sedari tadi berdiri di dekatnya. "Ehm, Kamu_ eh, maksudnya Mas Faaz bisa gambar tidak?"
.
.
- To Be Continued -
Azka : Nggak! Jawab saja nggak bisa, Faaz!!