"Cuma karna I-Phone, kamu sampai rela jual diri.?" Kalimat julid itu keluar dari mulut Xander dengan tatapan mengejek.
Serra memutar malas bola matanya. "Dengar ya Dok, teman Serra banyak yang menyerahkan keperawanannya secara cuma-cuma ke pacar mereka, tanpa imbalan. Masih mending Serra, di tukar sampa I-Phone mahal.!" Serunya membela diri.
Tawa Xander tidak bisa di tahan. Dia benar-benar di buat tertawa oleh remaja berusia 17 tahun setelah bertahun-tahun mengubur tawanya untuk orang lain, kecuali orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Serra melipat kedua tangannya di atas dada sambil memasang wajah cemberut. Saat ini dia sedang duduk di kursi dan memperhatikan Xander yang bermain golf di dampingi seorang caddy cantik bertubuh proporsional dengan da da dan bo kong cukup menonjol. Baju ketat dan rok pendek yang di pakai seolah melambai-lambai pada Xander, meminta untuk di goda. Dalam hati, Serra sedikit lega karna kondisi Xander yang menderita impoten. Dalam keadaan seperti itu, Serra yakin 1000 persen Xander tidak akan berani macam-macam ataupun tergoda pada wanita manapun.
"Kemari.!!" Panggil Xander sembari melambaikan tangannya pada Serra, meminta gadis itu menghampirinya.
Serra berdecak, dia bangun dari kursinya dan berjalan sambil menghentakkan kaki. Mulut Serra komat kamit di balik masker yang menutupi wajahnya. Dia kesal karna Xander mengacuhkannya sejak tadi, pria itu asik bermain golf dengan caddy cantik. Dan setelah 30 menit, Xander baru memanggilnya. Padahal perjanjian di awal, Xander memintanya menemani bermain golf, nyatanya hanya menonton saja.
Xander menahan tawa melihat cara jalan Serra yang mirip pinguin, apalagi Serra memakai hoodie putih kebesaran yang dia pinjamkan pada gadis itu. Serra tidak punya baju ganti, dan dia tidak mau orang-orang disini mengenali seragam sekolahnya, alhasil Xander meminjamkan hoodie di mobilnya pada Serra.
"Pantesan betah, dilihat dari deket jauh lebih besar.!" Gumam Serra dengan membuang pandangan ke sembarang arah, seolah-olah apa yang dia katakan bukan hal penting.
Kening Xander mengernyit, dia tidak paham maksud ucapan gadis itu. Entah apanya yang besar jika dilihat dari dekat. Xander memilih mengabaikan ucapan Serra. Sedangkan caddy di sebelah Xander langsung paham ucapan Serra. Bukannya menjaga jarak setelah paham di cemburui, caddy itu malah sengaja memepet Xander.
"Mau main sekali lagi nggak Kak.?" Tawarnya. Suara manja nan menggoda itu sangat dentik dengan pekerjaannya.
"Sudah cukup, saya mau main sama dia." Jawab Xander seraya menarik pelan tangan Serra agar berdiri di sebelahnya. Xander langsung menyodorkan stik golf ke tangan Serra.
"Dok, kenapa langsung kasih stik golf ke Serra.? Cara pegangnya aja nggak paham, sudah di suruh main saja." Protes Serra, bibirnya yang mencebik membuat Xander tidak tahan dan langsung mencubitnya.
"Dasar cerewet.! Kamu dengerin saya ngomong dulu, baru boleh protes." Ujar Xander seraya mengarahkan Serra untuk membuat posisi yang benar. "Saya mau ngajarin kamu, kapan lagi bisa di ajari main golf gratis." Tuturnya.
Serra memutar malas bola matanya, siapa juga yang minta diajari. "Dokter yang menawarkan diri, bukan Serra yang minta." Sahutnya.
"Iya, iya, kamu cerewet sekali." Seloroh Xander. "Seperti ini cara pegangnya." Xander memeluk Serra dari samping dan mengerahkan kedua tangan Serra untuk memegang stik golf dengan benar. "Badan kamu harus tegak, lalu buka kaki selebar bahu." Ujarnya menginstruksi.
Serra menurut begitu saja seolah ucapan Xander adalah mantra yang mampu menghipnotisnya.
"Ayunkan stik ke belakang, seperti ini." Kedua tangan Xander yang berada di atas tangan Serra perlahan mengayun ke belakang. Serra memindai bola di depannya agar benar-benar terlempar ketika dia kembali mengayunkan stik ke depan.
"Ayunkan kuat-kuat dan pastikan mengenai bola." Bisik Xander.
"Hum,, aku mulai.!" Serra mengayunkan stik itu sekuat tenaga dan bisa melempar bola golf dengan jauh.
"Wahh gila.!! Serra bisa Dok." Serunya bangga. Gadis itu sampai melompat-lompat kegirangan. Xander menggeleng melihat kelakuan bocah itu.
"Itu karna kamu diajari oleh ahlinya." Balas Xander.
Bibir Serra mencebik. "Dasar sombong." Cibirnya.
"Serra mau coba sendiri, boleh kan.?" Mata Serra berbinar, ini pertama kalinya dia mencoba golf dan langsung ketagihan. Olahraga yang biasa dimainkan oleh orang-orang kaya ini tenyata sangat menyenangkan.
"Tentu saja."
Jawaban Xander semakin memacu semangat Serra. Dia mencoba melakukan gerakan sendiri hingga beberapa kali. Xander hanya memperhatikan dari dekat. Kemampuan Serra dalam mempelajari sesuatu perlu diacungi jempol.
Xander melihat jam di tangannya sudah pukul 3 sore. Sementara itu, Serra masih asik bermain golf. Xander kemudian beranjak dari kursinya dan menghampiri gadis itu.
"Serra, ayo pulang." Ajak Xander, namun karna terlalu asik bermain, Serra tidak mendengar dan tidak menyadari keberadaan Xander. Hingga sebuah insiden mengenaskan terjadi.
"Aaarrggh..!!" Xander berteriak kencang tak lama setelah Serra mengayunkan stik golf kebelakang. Serra terkejut setengah mati karna merasakan stik yang tadi dia ayun kebelakang mengenai sesuatu.
Saat menoleh, Xander sudah membungkuk dengan kedua tangan memegangi bagian alat vi talnya. Tubuh Serra seketika melemas. Dia ingin pingsan saat itu juga dan berharap setelah membuka mata, kejadian itu tidak pernah terjadi. Namun tatapan tajam Xander menyadarkan Serra.
"Serra.!! Kamu sudah tau masa depan saya suram, sekarang kamu malah membuat saya kehilangan masa depan.!" Guru Xander di tengah-tengah sakit yang dia rasakan. Rasa sakitnya benar-benar tidak tertahankan sampai-sampai Xander merasa seluruh tubuhnya tidak bisa digerakkan saking sakitnya.
Wajah Serra pucat pasi. Keringat di wajahnya semakin mengucur deras.
"Serra nggak sengaja Dok, tolong maafin Serra." Serra menjatuhkan stik golf di tanah dan langsung menghampiri Xander. "Dokter jangan bilang kehilangan masa depan, Serra akan berdoa semoga kejadian ini membuat Dokter punya masa depan yang cerah." Cerocos Serra hampir tanpa jeda. Dia berusaha meredakan kekesalan Xander dengan berkata yang baik-baik walaupun dalam hatinya ketakutan.
"Stop.! Jangan mendekat dulu." Tegur Xander saat Serra ingin membantu menopang tubuhnya.
Serra terpaksa berhenti di tempat dan hanya menyaksikan Xander yang kesakitan dengan tubuh masih membungkuk menahan sakit.
"Dokter jangan tuntut Serra ya. Sumpah Demi apapun, Serra nggak liat ada dokter dibelakang." Ujarnya panik.
Xander mendengus, dia mau marah pun percuma karna sudah kejadian. Lagipula Xander juga menyadari kejadian ini bukan sepenuhnya kesalahan Serra. Salahnya juga yang berdiri di dibelakang Serra, padahal jelas-jelas Serra sedang bermain sejak tadi.
...******...
Xander melajukan mobilnya menuju apartemen. Dia sempat berdiam diri di dalam mobilnya bersama Serra selama 1 jam, sampai rasa sakit di alat vi talnya benar-benar hilang.
Setelah berkendara selama 1 jam, mereka sampai di apartemen. Keduanya masuk ke dalam, Serra menutup pintu karna dia yang terakhir masuk.
"Dok, Serra mau ikut ngecek alat tempur Dokter." Pintanya sambil membuntuti Xander masuk ke dalam kamar. Xander tidak merespon, dia tampak tidak peduli meski Serra ikut masuk ke kamarnya.
"Kamu harus tanggungjawab kalau saya impoten seumur hidup." Omel Xander kesal.
"Kalau tanggung jawabnya harus nikah sama Dokter, Serra nggak keberatan. Serra ikhlas lahir batin walaupun nggak dapat jatah begituan." Ujarnya semangat.
Xander mengetuk kening Serra. "Otak mesum mu tetap jalan disaat seperti ini."
Serra hanya menyengir kuda. Dua orang itu kemudian duduk di sofa yang ada di kamar. Serra tiba-tiba berlutut di depan Xander saat Xander ingin menurunkan resleting celana.
"Kamu mau ngapain.?!" Tegurnya.
"Ikut memeriksa, memangnya apa lagi Dok.? Sini biar Serra aja yang buka, Dokter kelamaan." Serra menyingkirkan tangan Xander dan dia menurunkan resleting celana Xander perlahan.
"Dok, angkat sedikit badannya, celana da lamnya harus di turunkan dulu."
Xander menurut, justru kedua tangannya ikut menurunkan celana panjang dan selana dal amnya.
Serra menelan ludah dengan susah payah ketika melihat bur ung yang tampak terkulai lemas. Dalam hati, Serra berdoa agar semuanya baik-baik saja. Jika Xander mengalami impoten seumur hidup, tamatlah riwayat Serra.
Perlahan Serra menyentuh bur ung besar yang tidak memiliki nyawa itu. Tangannya mulai bergerak memberikan usapan lembut di sana sambil berkomat-kamit dalam hatinya.
Serra terkejut ketika mendengar erangan Xander. Dan semakin terkejut ketika merasakan benda lembek itu berubah keras.
"Dok.!! Bisa bangun.!" Serunya lega dan bercampur senang.