Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejamnya Wakil Direktur
Tak... tak... tak, suara jari telunjuk wakil direktur yang dia mainkan di meja kerja itu, dia tersenyum smirk, masih terus memperhatikan bayangan Melati di bawah meja sana.
"Seharusnya, ini semua milikku kalau ibumu nggak merebut ayahku dari ibuku!" ucapnya penuh penekanan, saat ini wakil direktur sangat tersiksa, dia mencoba menahan amarahnya yang saat ini menggebu-gebu.
Pria berjas hitam itu bangun, dia melempar sebatang rokoknya, lalu menginjak-injaknya dengan kesal.
"Aku nggak mungkin sembunyi di sini terus, aku yakin dia tau dimana aku berada," gumam Melati dalam hati.
"Aku harus lari setelah hitungan ke tiga, aku harus amankan bukti rekaman ini," gumamnya lagi, dia pun memperhatikan pintu ruangan tersebut yang tiba-tiba saja terasa berada sangat jauh dari jangkauannya.
"Aku harus selamat, Tuhan. Tolong selamatkan aku." Nampaknya Melati mulai frustasi. Jantungnya berdetak sangat cepat, hatinya merasa kian takut, khawatir kalau dirinya tidak dapat melarikan diri.
Tapi, apa salahnya mencoba.
Lalu, suara lirih wakil direktur menyadarkannya. "Melatiiii! Keluarlah, jala*g!" ucapnya, dingin suara itu terdengar amat dingin, datar dan menyeramkan di telinga Melati.
"Satu... dua... tiga!" ucapnya dalam hati, dia pun berlari keluar tak lupa menahan pintu itu dari luar.
"Tolong!" teriak Melati, dia berharap ada orang yang masih ada di kantor malam ini, satpam contohnya, tapi sama sekali tak ada yang mendengar jeritannya.
Sementara itu, wakil direktur masih mencoba membuka paksa pintu itu, tersadar kalau tenaganya kalah jauh, Melati pun ingin menggapai sapu yang menyender tidak jauh dari pintu kaca itu. Melati mengambil menggunakan kakinya.
"Aaaakh!" pekik Melati saat kaki hampir menggapai gagang sapu itu. Dan sekarang sapu itu sudah ada di bawah kakinya, Melati segera mengambilnya dengan susah payah.
Kemudian, gadis yang wajah dan seluruh tubuhnya sudah dibasahi oleh peluh itu mengganjal gagang pintu itu menggunakan gagang sapu.
Dia pun segera menjauh dari pintu yang sekarang terkunci dari luar, menatap wakil direktur yang sedang menatapnya tajam.
Terlihat pria itu memainkan ponselnya, entah siapa yang dia hubungi, hanya saja firasat Melati mengatakan kalau semua belum berakhir.
Melati segera lari, dia menuruni tangga dan pintu keluar adalah tujuannya. Namun sayangnya, pintu sudah terkunci, terlihat seorang satpam mengunci pintu itu dari luar.
"Aaaaaaa!" teriak Melati frustasi, dia terus mendobrak pintu kaca itu walau tau tidak akan berhasil.
Sekarang, Melati mundur beberapa langkah, menatap pintu juga satpam yang berdiri di depan pintu.
"Aku harus sembunyikan bukti ini, aku yakin dia mengejarku! Kalau aku selamat aku bisa ambil bukti ini kapanpun," ucapnya, dia pun segera berlari, pantry tujuannya dan mulai menyembunyikan ponsel itu di sela-sela laci yang berisikan toples-toples kaca.
"Bu." Melati menangis seraya menutup laci itu, dia membuang kuncinya entah kemana, yang penting bukti itu harus tetap aman.
Dan saat itu juga, Melati mendengar suara langkah kaki yang mendekat, dia yakin kalau itu adalah wakil direktur.
"Melati!" panggilnya dan suara itu semakin mendekat.
"Aku membencimu, karena kamu sudah memisahkanku dari keluargaku!" tangis Melati, dia keluar dari persembunyiannya dan saat itu juga bertatapan dengan wakil direktur yang langsung merangkul dan menyeretnya.
"Lepas!" teriak Melati yang mencoba menahan tubuhnya.
Tapi yang terjadi adalah, Melati benar-benar terseret.
Brak! Melati mendorong tubuh pria tinggi itu, saat terlepas, Melati pun kembali ke lantai dua, dengan langkah yang kian terasa berat dan Melati yang sudah kelelahan itu tiba-tiba saja terpental masuk ke kamar mandi di lantai itu.
Ya, wakil direktur yang menendangnya dari belakang. Melati terjatuh dan pria bengis itu menarik rambutnya, menyeretnya membawa ke toilet paling ujung.
"Aaaaaahh, haaaaaaaaa!" tangis Melati, dia terus memukuli tangan wakil direktur tersebut.
Sekarang, wakil direktur duduk di atas kloset dengan tangan yang melingkar di leher Melati. Lalu, tangan kanannya mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
"Sudah, sampai di sini saja. Saya lelah kalau harus terus menerus ngurusin kamu yang nggak berguna!" ucapnya seraya mengambil tangan kanan Melati.
Dan saat itu juga, dia menyayat pergelangan tangan Melati cukup dalam membuat darah mengucur dari tangan itu.
"Aaaaaaa!" teriak Melati saat itu juga. Dalam hatinya mengadu pada Tuhannya, dia ingin menuntut balas pada pria yang sedang berusaha membunuhnya.
"Tuhan, ijinkan aku menuntut balas, aku harus menuntut balas!" teriak Melati dalam hati.
Sekarang, mencoba lari pun percuma, tenaganya sudah benar-benar habis, nyawanya sudah diujung tanduk dan dengan santainya, pria itu tetap duduk di kloset, menyesap rokoknya dan sesekali menyeringai, mengabaikan Melati yang sudah terkapar di lantai, tak berdaya sampai akhirnya Melati benar-benar melihat kegelapan saat matanya terpejam.
Flashback off.
Sekarang, keadaan sudah berbalik, Melati yang begitu mendominasi, dia pun menyeringai, menatap remeh pada dia yang sedang dicekiknya, kemudian dengan tanpa ampun Melati melemparnya ke arah jendela ruangannya yang ada di lantai tiga itu.
Crah! Suara kaca pecah dan saat itu, di detik terakhirnya, wakil direktur melihat Melati berdiri di jendela, menatapnya datar sama sepertinya saat menatap Melati di ujung waktunya.
Bruk! Wakil direktur jatuh tepat di atas mobilnya sendiri, selain alarm mobil itu berisik, tapi suara jatuhnya pria naas itu cukup mengejutkan bagi semua orang.
Rumi yang sedang mencongkel laci yang terkunci itu mendengar orang-orang berteriak. Tapi, Rumi tidak menghiraukan itu, dia masih fokus pada ponsel Melati, ingin mengetahui apa rahasia di dalamnya. Setelah laci terbuka, dia pun segera mencari ponsel tersebut dan dia mendapatkannya.
"Gimana, udah dapat belum?" tanya Junaidi.
"Dapat, Jun!" jawab Rumi.
"Ok, jangan lupa kasih ke direktur, itu pesan Melati!" ungkapnya.
"Wah, kesempatan, nih. Gua bakal jadi pahlawan," gumam Rumi dalam hati.
****
Sementara itu, Melati yang masih berdiri di tepi jendela perlahan menghilang, dia pun menangis karena tidak memiliki sedikit waktu lagi untuk bersama Junaidi.
Seandainya nyawa Rumi tidak terancam, Melati ingin membalas dendam malam ini. Tapi, semua sudah terjadi, dia pun memperhatikan tangannya yang sekarang benar-benar menghilang dan benar-benar menghilang.
"Selamat tinggal, Bang Juna," kata Melati dalam hati.
****
Rumi berpikir kalau direktur sudah ada di kantor dan mengetahui apa yang terjadi pada wakilnya. Tapi ternyata, pria itu tidak ada di kantor.
Rumi pun bertanya pada sekretaris. "Tuan hari ini nggak ke kantor, kalau ada pesan boleh katakan, saya akan sampaikan," jawabnya.
"Ini hal pribadi, sangat pribadi, ada sangkut pautnya dengan wakil direktur, saya harus ketemu langsung," jawab Rumi.
"Baiklah, tunggu sebentar," sahut sekretaris tersebut, dia pun menghubungi direktur, menceritakan apa yang menimpa pada wakilnya dan juga tentang Rumi yang ingin menemuinya.
****
"Apa? Lalu, sekarang bagaimana keadaannya?" tanya direktur yang terkejut saat mendengar kabar itu.
"Sedang dalam proses penyelidikan, Tuan." Sekretaris menjawab.
Ingin mengetahui apa yang terjadi, Haikal pun gegas, dia pamit pada adiknya yang terbaring koma. "Raya, Kakak pergi dulu," ucapnya.