Zhang Wei, seorang pelayan rendahan berusia 15 tahun, terusir dari salah satu keluarga besar di Kekaisaran Qin. Dalam usahanya bertahan hidup sebagai pemburu spiritual beast, ia menemukan sebuah pedang tua yang ternyata menyimpan roh seorang kultivator legendaris bernama Lian Xuhuan.
Dengan kekuatan dan pengetahuan mendalam tentang kultivasi, Lian Xuhuan menawarkan bimbingan kepada Zhang Wei untuk menjadi pendekar hebat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat bersalju misterius
Ketika Zhang Wei membuka matanya, rasa dingin yang menusuk segera menyadarkannya. Udara yang menggigit menembus kulitnya, membuat tubuhnya bergetar. Dia duduk dengan perlahan, memperhatikan sekelilingnya. Salju putih menyelimuti tanah sejauh mata memandang. Di sekelilingnya, ada pilar-pilar batu besar yang telah terkikis waktu, mengelilingi altar tempat dia terbaring.
“Di mana aku...?” bisiknya, suaranya terdengar serak.
Dia berdiri, meskipun tubuhnya masih lemah akibat pertarungan dan teleportasi mendadak itu. Dia segera merasakan sesuatu yang ganjil—hening, sangat hening. Tidak ada suara burung, angin, atau kehidupan lainnya, hanya dirinya sendiri di tempat ini.
“Master?” Zhang Wei memanggil dalam pikirannya, berharap mendengar jawaban Lian Xuhuan seperti biasanya. Namun, tidak ada respon.
Rasa panik mulai menyelimuti hatinya. Dia segera meraih pedang usangnya, satu-satunya hal yang selalu menyertainya, dan menatapnya. Pandangannya membeku. Pedang itu kini dalam kondisi mengerikan—bilahnya retak, hampir terbelah menjadi dua. Cahaya samar yang biasa menyelimutinya telah hilang.
“Tidak... ini tidak mungkin.”
Dengan tergesa-gesa, dia mencoba meneteskan darahnya ke pedang, berharap masternya akan muncul. Tapi pedang itu tetap diam, tidak bereaksi seperti biasanya.
“Master! Kau ada di sana, kan? Tolong jawab aku!” serunya keras, suaranya menggema di tengah udara dingin.
Tidak ada jawaban.
Zhang Wei jatuh terduduk, memegang pedang itu erat-erat. Air matanya mulai mengalir. “Apa gunanya aku bertahan sejauh ini kalau kau tidak ada di sisiku? Kau satu-satunya yang selalu menuntunku... dan sekarang aku sendirian.”
Dia duduk di sana, membiarkan rasa dingin menyelimuti tubuhnya. Waktu terasa melambat, sementara pikirannya dipenuhi kenangan tentang perjalanannya dengan Lian Xuhuan. Suara masternya, pelajaran-pelajaran yang dia berikan, semua itu terasa begitu jauh sekarang.
“Aku lemah... dan aku bodoh,” gumamnya. “Aku tidak bisa melindungi diriku sendiri, apalagi melindungi orang lain. Bagaimana aku bisa berharap menjadi lebih kuat kalau aku bahkan tidak bisa menjaga pedang ini tetap utuh?”
Entah berapa lama dia terlarut dalam kesedihan itu. Dingin telah meresap ke dalam tubuhnya, tetapi dia tidak peduli. Lalu, perlahan, sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Kenangan terakhir sebelum dia terlempar ke tempat ini terlintas di pikirannya—serangan Yan Zhenhai, formasi yang menyelamatkannya, dan pengorbanan pedang itu untuk menangkis serangan yang seharusnya membunuhnya.
Zhang Wei menggertakkan giginya. “Pedang ini... tidak menyerah untuk melindungiku. Bagaimana aku bisa menyerah sekarang?”
Dia berdiri perlahan, menggenggam pedang usang itu dengan kedua tangannya. Meski retak dan hampir hancur, pedang ini telah menyelamatkannya berkali-kali.
“Master, aku tidak tahu apakah kau masih bisa mendengarku. Tapi aku janji... aku akan memperbaiki pedang ini. Aku akan menemukan cara untuk membangunkanmu lagi. Aku tidak peduli seberapa sulit jalannya, aku tidak akan berhenti.”
Dengan tekad baru, dia menyeka air matanya dan menggenggam pedangnya erat. Pandangannya kembali hidup, penuh dengan semangat untuk melangkah maju.
Zhang Wei mulai melangkah keluar dari altar, meninggalkan pilar-pilar batu tua di belakangnya. Dia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi satu hal pasti: dia tidak bisa tinggal di sini lebih lama.
Udara dingin semakin menggigit, dan angin mulai bertiup kencang, membawa salju yang memperburuk visibilitas. Namun, Zhang Wei terus berjalan, mengandalkan nalurinya.
Di sepanjang perjalanan, dia memerhatikan betapa sunyinya tempat ini. Tidak ada tanda-tanda kehidupan—tidak ada jejak binatang atau manusia. Hanya dataran salju putih yang luas dan dingin.
Setelah beberapa jam berjalan, tubuhnya mulai terasa kaku karena kelelahan dan dingin. Namun, dia tidak berhenti.
“Aku harus terus maju... untuk menemukan cara menyelamatkan Master. Untuk membuktikan bahwa aku bisa menjadi lebih kuat.”
Langkah demi langkah, dia terus bergerak, meninggalkan jejak di atas salju putih. Di kejauhan, samar-samar terlihat bayangan gunung yang menjulang tinggi. Mungkin di sana dia akan menemukan jawaban, atau mungkin itu hanya halusinasi karena rasa lelah. Tapi Zhang Wei tidak peduli.
Dengan pedang usang di tangannya dan tekad yang membara, dia melanjutkan perjalanan ke tempat yang tidak dia ketahui, berharap ada harapan di ujung jalan ini.
***
Setelah beberapa jam berjalan, Zhang Wei akhirnya tiba di pinggiran sebuah hutan salju yang lebat. Pohon-pohon besar berdiri kokoh, dahan-dahannya diselimuti salju tebal. Hawa dingin semakin menusuk, tetapi Zhang Wei tidak berhenti. Dia menatap gunung yang menjulang tinggi di kejauhan, tujuan yang sudah dia tetapkan.
Namun, langkahnya terhenti ketika dia mendengar suara teriakan. Teriakan itu melengking dan dipenuhi ketakutan, suara seorang anak kecil. Zhang Wei segera menajamkan pendengarannya, memastikan asal suara tersebut.
Dia segera berlari ke arah suara itu, meskipun tubuhnya masih lemah akibat cedera sebelumnya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat seekor serigala besar dengan bulu abu-abu gelap, mata merah menyala, sedang menggeram ganas. Beast itu adalah serigala es tingkat 1, yang meskipun tidak terlalu kuat, tetap mematikan bagi orang biasa.
Di bawah cakar serigala itu, seorang gadis kecil yang tubuhnya dibalut mantel bulu putih meringkuk, menangis ketakutan. Darah mengalir dari luka di lengannya yang tergigit.
"Tolong... tolong aku!" jerit gadis itu.
Zhang Wei tidak ragu. Meskipun tubuhnya masih lemah dan cedera belum pulih sepenuhnya, dia tidak bisa membiarkan anak kecil itu mati di depan matanya. Dengan cepat, dia melompat ke arah serigala tersebut.
"Pergilah!" serunya, mengayunkan pedang usangnya yang nyaris hancur.
Serigala es itu menggeram dan menyerang balik, tetapi bagi Zhang Wei, beast ini tidak lebih dari semut di matanya. Dalam satu gerakan cepat, dia menghindari serangan serigala itu dan mengayunkan pedangnya tepat ke leher beast tersebut. Dengan suara berderak, kepala serigala itu terputus, dan tubuhnya jatuh ke tanah, mengotori salju putih dengan darah merah pekat.
Zhang Wei menghampiri gadis kecil itu yang masih terisak. Gadis itu tampak berusia tidak lebih dari delapan atau sembilan tahun, dengan rambut pirang keemasan yang tersembunyi di balik tudung mantelnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Zhang Wei lembut, mencoba menenangkan gadis itu.
Gadis itu tidak menjawab, hanya menatapnya dengan mata besar yang penuh air mata. Zhang Wei berjongkok dan mencoba tersenyum. "Jangan takut. Aku sudah mengusir serigala itu."
Namun, saat Zhang Wei ingin mengulurkan tangannya, sesuatu yang tidak dia perhatikan sebelumnya menarik perhatiannya. Telinga gadis itu—panjang dan runcing. Dia adalah seorang elf.
Sebelum Zhang Wei bisa mengatakan apa-apa, rasa sakit tiba-tiba menusuk punggungnya. Dia terhuyung ke depan, darah merembes dari luka baru di punggungnya. Sebuah panah, dilengkapi dengan ujung es yang tajam, menancap dalam di sana.
"Apa...?" Zhang Wei berbalik perlahan, rasa sakit membuat tubuhnya melemah.
Dari arah hutan, beberapa sosok muncul. Mereka adalah elf—tinggi, dengan rambut perak atau keemasan, telinga panjang, dan mata tajam yang penuh kewaspadaan. Salah satu dari mereka, seorang pria dewasa dengan busur masih terangkat, menatap Zhang Wei dengan dingin.
"Berani sekali kau menyentuh anak kami, manusia," ucap pria itu dingin.
Zhang Wei mencoba berbicara, tetapi tubuhnya sudah terlalu lemah. Cedera sebelumnya, ditambah rasa dingin yang terus menggerogoti stamina, membuatnya kehilangan kesadaran. Pandangannya mengabur, dan dia jatuh ke tanah bersalju.
Sebelum sepenuhnya kehilangan kesadaran, dia sempat mendengar suara gadis kecil itu berteriak.
"Ayah, jangan! Dia menyelamatkanku!"
Namun, semuanya menjadi gelap.