Sebuah pulpen langganan dipinjam Faiq kini tergeletak begitu saja, pemuda yang suka menggodanya, mengusiknya dengan segala cara, ia tidak pernah kehabisan akal untuk mengerjai Vika.
Vika memandanya dengan harap si tukang pinjam pulpen itu akan kembali. Ia memelototi pulpen itu seolah memaksanya membuka mulut untuk memberitahu dimana keberadaan Faiq.
••••••••
Goresan Pena terakhir ini
Kini tinggalah kenangan
Yang pernah kita ukir bersama
Sekarang kau tak tahu dimana
Tak ada secarik balasan untukku
Akankah titik ini titik terakhir
Yang mengakhiri kisah kita?
Kisah kau dan aku
-Vika Oktober 2017
⏭PERHATIAN CERITA MURNI HASIL PEMIKIRAN AUTHOR, BILA ADA KESAMAAN TOKOH MAUPUN TEMPAT, DLL. MERUPAKAN MURNI KETIDAK SENGAJAAN⏮
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kepik Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Lo?
Saat ini, Vika sedang duduk di bangku depan sekolahnya untuk menunggu tukang ojek online yang ia pesan setelah bel pulang sekolah berbunyi. Tidak hanya Vika seorang di sana yang menunggu jemputan atau angkutan umum. Vika tak mau peduli dengan apa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka sibuk sendiri-sendiri. Jika diperhatikan, interaksi sosial di sekolah ini lebih rendah daripada di sekolah lama Vika.
Semua orang sibuk dengan gawai masing-masing. Meskipun ada orang di sebelah mereka, mereka tetap tak perduli. Padahal ini sekolah yang cukup elite sayang siswa-siswi di sini sombong terhadap orang yang tak mereka kenal, padahal mereka satu SMA. Selain menyayangkan hal itu, Vika juga mensyukurinya. Karena itu artinya, hanya sedikit peluang dirinya menjadi korban bullying lagi. Ya, selama dia tak melakukan kesalahan yang bisa mempermalukan dirinya sendiri.
"Mbak Vika?"
Lamunan Vika seketika buyar, ketika mendengar tukang ojek itu memanggil namanya. Vika hanya mengangguk , kemudian menerima helm yang diberikan abang ojek itu. Ketika motor abang ojek itu akan berjalan, Faiq keluar dari gerbang sekolah. Sama ketika di toilet mereka terjebak saling pandang. Tapi Vika tak mau terjebak terlalu lama, syukurlah motor abang ojek itu langsung melaju.
Vika sama sekali tak menyangka most wanted di SMA Nusa Bakti memiliki perangai yang buruk. Masih terpatri di otaknya tentang kejadian ketika Vika tak sengaja menabrak dada Faiq, yang jelas-jelas karena Faiq berdiri di tengah-tengah pintu toilet wanita, pria itu bahkan memandangi Vika dengan tatapan tajam. Tahu tidak apa yang Faiq katakan setelah mereka terjebak dalam situasi aneh itu?
"Siapa, Lo?"
Bukannya merasa malu karena berdiri di depan toilet perempuan terlalu lama, justru dia memperdulikan siapa Vika. Aneh dan tidak sopan. Memangnya siapa Faiq? Guru saja bukan, untuk apa Vika melapor siapa dia, kepada Faiq.
Harus berapa kali Vika terjebak pandang dengan Faiq? Ini ketiga kalinya. Pria itu kini sudah ada di sampingnya, memperhatikan Vika yang baru turun dari motor. Anehnya Vika tetap diam, padahal dia sangat risi dengan situasi ini.
"Lo tinggal di sini?"
Vika menoleh ke belakang, untuk memastikan tak ada satu orang pun yang melihat mereka berdua termasuk Eyang Sinta. Karena jika sampai Eyang Sinta tahu, takutnya, dikira Vika yang membawa cowok ini kemari.
"Maaf banget nih, Kak! Kayaknya kita perlu lurusin kesalahpahaman ini." Tolong katakan apa yang sedang Vika lakukan adalah sesuatu yang benar, dia takut berurusan terlalu lama dengan sosok di depannya yang terkenal kejam. "Saya minta maaf sebesar-besarnya atas kejadian di toilet. Saya memang kurang memperhatikan jalan saat itu, jadi saya tak sengaja menabrak kakak. Selain itu saya merasa tak punya salah apapun kepada kakak. Boleh saya tahu alasan kakak mengikuti saya sampai kemari?"
Kening Faiq tampak berkerut. Beberapa saat kemudian Vika bisa melihat senyum yang terkesan meremehkan darinya. Ternyata bukan hanya aneh dan tidak sopan, kakak kelasnya juga arogan. Masa bodoh dengan gelar most wantednya di SMA Nusa Bakti, Vika tidak peduli dengan itu. Yang dia perdulikan saat ini adalah alasan Faiq mengikutinnya sampai depan rumah Eyang Sinta. Bisa bahaya kalau ada yang melihat, apa lagi jika siswa SMA Nusa Bakti, bisa dipastikan Vika akan menjadi bahan gunjingan. Tahu sendiri remaja zaman sekarang, hal kecil saja bisa dijadikan bahan gosip berbulan-bulan, apa lagi jika gosip tentang idola mereka.
"Ternyata lo bisa ngomong juga?" tanya Faiq dengan senyum miring yang masih melekat di wajahnya. Dia sangat yakin gadis di hadapannya itu pasti bisa melihat dimple di pipinya. Itu bisa membuat dia terlihat terlalu tampan di mata kaum hawa. "Gue kira lo gagu. Waktu tadi gue tanya siapa lo, lo nggak jawab tuh."
Alih-alih menjawab pertanyaan Faiq yang notabenenya adalah most wanted di sekolah, Vika justru lebih memilih pergi begitu saja. Vika tidak suka menjadi pusat perhatian seperti tadi siang, semua pasang mata memperhatikan mereka berdua. Apa lagi dua teman Faiq yang ternyata cekikikan tidak jelas di belakang punggung Faiq. Bagaimana Vika mau menjawab jika ditatap tajam oleh semua orang? Terlebih dia tidak mau menjadi bahan bully oleh semua orang karena terlibat dengan Faiq.
Sedangkan Faiq makin memperlebar senyumannya. "Heh denger yah, lo nggak usah kegeeran, baru tiga kali gue liatin juga. Gue kesini itu bukan ngikutin lo, kurang kerjaan banget mending gue balapan aja."
"Terus ngapain kalau bukan ngikutin saya namanya? Sekarang kakak sudah ada di depan gerbang rumah saya," kekeuh Vika tidak mau kalah.Faiq menunjuk satu rumah di sebelah kanan rumah Eyang Sinta. "Itu rumah gue, gue kesini itu buat pulang. Bukan ngikutin lo."
Vika malu bukan main, ketika melihat Faiq masuk ke dalam rumah yang di akuinya. Vika sama sekali tak berpikir kalau kakak kelas itu tinggal satu kompleks dengannya, malahan rumah mereka bersebelahan. Bagaimana ini?
"Nggak, nggak apa, Vik. Cuma sekali ini aja kok kamu berhadapan sama kakak kelas itu." Vika membatin, berusaha menghibur dan menyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tak akan pernah bertatap muka lagi dengan Faiq. Untung saja jalanan kompleks sangat sepi. Vika buru-buru menutup pagar tak lupa menguncinya.
Begitu Vika mau masuk kedalam, Vika di kejutkan oleh Bu Jumi yang ternyata sedari tadi berdiri di balik pilar rumah Eyang Sinta. Bu Jumi menatap Vika sambil tersenyum lebar dan penuh arti. "Mbak Vika pacaran yaa, sama Mas Faiq?"
Beberapa kali Vika mengerjapkan matanya. Ooo jadi kakak kelas itu namanya Faiq. Mana mungkin aku bisa jadi pacarnya Faiq? Ah, pasti Bu Jumi salah paham dengan kejadian barusan. "Bukan lah, Bu. Aku tahu dia aja baru hari ini, bagaimana bisa pacaran?" Vika menggelengkan kepalannya, saat melihat reaksi Bu Jumi yang sepertinya tak percaya bahwa Vika dan Faiq tak ada hubungan apapun. "Beneran Bu Jumi, aku nggak bohong,aku juga mau fokus sama sekolah aku dulu."
Vika segera pamit masuk ke rumah sebelum arah pembicaraan itu menyebar kemana-mana. Vika tak mau berurusan lagi dengan Faiq, apa lagi pacaran, mustahil! Lagipula, Vika sangat tak suka dengan kata pacaran itu, pacaran bahkan tak ada dalam kamus hidupnya.
...***...
Malam telah tiba. Itu artinya, sudah waktunya Faiq bersenang-senang dengan temannya. Mencari kesenangan, kepuasan, sekaligus pujian dari kaum hawa. Pria jakung itu segera mengambil jaket hitamnya yang menggantung di ujung tempat tidur. Karena rumah ini sepi membuat langkahnya ketika menuruni tangga terdengar nyaring. Langkahnya harus terhenti ketika melihat sosok yang dibencinya.
"Mau kemana kamu malam-malam begini? Abang pulang bukannya diam di rumah, malah keluyuran."
Ya, itu adalah kakaknya Faiq, Satya. Satya memang jarang ada di rumah, bisa satu bulan hanya beberapa hari saja pulang. Itu karena ia merupakan pengusaha sukses di Indonesia yang harus bertemu dengan klien dengan berbagai bidang. Yang paling terkenal adalah Atmaja Hospital, rumah sakit elite di Jakarta. Apalagi sekarang akan di buka di Semarang, karena itu Satya semakin sibuk saja, apalagi ayah mereka sudah tiada dua tahun yang lalu, hanya Satya yang kini menghandle usaha keluarganya. Untuk kedepannya Faiq lah yang akan menghandel rumah sakit itu, karena pesan terakhir ayahnya bahwa Faiq harus menjadi seorang dokter.
"Faiq sibuk," ucap Faiq sambil berlalu dari hadapan Satya. Dia menjadi kurang ajar kerena kurang didikan dari ayahnya sendiri. Tapi jangan salah kepada ibunya Faiq menjadi anak yang penurut, sopan dan lembut. Terbukti dengan dia mencium punggung tangan Bu Sekar setiap masuk maupun keluar dari rumah, tak lupa salam sebagai pelengkap. "Bu, Faiq mau main sama teman-teman. Bawa kunci cadangan kok, jadi ibu langsung tidur aja, nggak perlu nungguin Faiq pulang."
Sambil berjalan menuju garasi, di mana tempat motornya di parkirkan, Faiq bisa mendengar ucapan Satya. Sama seperti saat ucapa Satya setiap pulang ke rumah, menyebutkan bahwa Faiq bukan anak yang berguna bagi orang tua, karena kerjaannya balap motor setiap malam. Sudah bosan kalimat serupa tertangkap oleh gendang telinga Faiq, hingga akhirnya Faiq hanya menganggapnya seperti angin lalu.
Dan disinilah tempat di mana dia bisa mendapatkan kesenangan. Bersama kedua sahabat karibnya, Zaki dan Aries. Buka hanya mereka bertiga tapi puluhan bahkan ratusan orang disana. Apalagi remaja badung seperti Faiq dan kedua sahabatnya malam-malam begini jika bukan balapan? Bahkan ketiganya sudah biasa menjadi pemenang di setiap balapan. Terutama Faiq, semua orang penyebutnya Feniks. Dia adalah raja di sirkuit.
"Bos, ada Bang Evan," seorang pria bertubuh pendek langsung menghampiri Faiq yang sedang duduk di warung remang-remang pinggir jalan, tempat biasa dia dan teman-temang berkumpul. "Oh. Terus?" reaksi Faiq dengan tampang datarnya. Sudah lama nama itu tidak terdengar di telinga Faiq, sampai-sampai Faiq berpikir bahwa si Evan sudah tenang disisi-Nya. Dia menyimpan helmnya di atas motor. "Nantang gue?"
"Iya, Bos. Katanya mau bales kekalahan yang terakhir. Taruhannya juga nggak main-main, dia pasang empat juta," ucap orang yang biasa dipanggil Wage itu dengan nada takjub. Tapi kemudian keningnya bekerut ketika mendengar kekehan dari Faiq. Dia tetap mengekori Faiq menuju sirkuit.
Begitu mendaratkan bokongnya tepat di kursi plastik, Faiq langsung menyambar kacang yang Aries pegang, mengupasnya lalu memakannya. Sementara Aries menatapnya tajam tak rela berbagi kacang dengan Faiq, di samping pria itu duduk seorang pria lain yang tak kalah rupawan sedang sibuk dengan pacar barunya. "Enam juta," cetus Faiq setelah menelan kacangnya. Selain terkenal dengan kecepatannya di sirkuit, Faiq juga terkenal dengan nominal taruhannya yang tinggi. Tentu saja dengan kemenangan yang selalu dibawa pulang.
"Nggak kebanyakan, Bos?" Wage langsung terdiam ketika mendapat tatapan tajam Faiq. Jelas, semua orang pun tahu bahwa Faiq paling tak suka jika egonya dicoreng. Apa lagi dengan Wage, yang jelas-jelas bawahannya. "Bukan gue nggak percaya, lo bisa menang. Tapi yang gue dengar Si Evan baru modif motornya."
Ah, Faiq tahu sekarang apa maksudnya. Wage hanya kasihan kepada Evan, pasti pria itu merogoh kocek dalam-dalam untuk memodifikasi motornya supaya bisa mengalahkan motor Faiq malam ini. Tidak peduli mau dimodifikasi seperti apa, jika motornya sejenis, Faiq akan tetap memenangkan taruhan ini. Dialah yang akan disambut di garis finish. Dialah yang akan di puja oleh semua orang, terutama kaum hawa.
Faiq hanya mengangguk kemudian mengibaskan tangannya, memberi aba-aba kepada Wage karena sebentar lagi balapan akan segera dimulai.
"Bodo amat, cabe!" teriak Zaki ke gawainya sendiri. Kemudian memasukan benda pipih itu kedalam saku jaketnya. Bisa dipastikan dia baru kehilangan satu pacarnya. Itu sama sekali bukan masalah untuknya, karena pacar Aries lebih dari sekodi. "Baru nongol lo? Kapan datengnya?"
Faiq tidak menanggapi, dia sibuk dengan mendoan dan es teh manis yang baru saja Wage bawakan untuknya. Sudah biasa pertanyaan semacam itu tidak digubris oleh Faiq, terlebih lagi dia sedang menikmati mendoan kesukaannya. Mungkin orang yang belum mengenal Faiq akan menduga bahwa pria itu memiliki gangguan pendengaran. Padahal tidak, memang begitu karakternya, dia tak mau menanggapi hal-hal yang kurang penting baginya. Termasuk pertanyaan sahabatnya sendiri, lagipula kalau makan tidak boleh bicara bukan? Jadi Faiq tidak salah.
Sementara itu, ada Aries yang sibuk menyeruput kuah mie ayam sampai habis. Bahkan ia tidak segan untuk sendawa keras-keras di depan semua orang seperti sekarang. Dua sahabatnya sudah lelah mengingatkan Aries untuk menghapus kebiasaan buruknya itu. "Gue denger Si Evan kesini, nggak ada kapok-kapoknya itu orang, gengsi aja yang tinggi, skill-nya kayak kucing muntaber kalau lagi di sirkuit." Kemudian Aries mendekatkan dirinya kepada Faiq. "Lo harus menang Iq. Lumayan tu, empat juta, buat beli kasur baru basecamp."
Selain kumpulan tiga pria yang dipuja semua wanita. Mereka juga mendirikan basecamp untuk menampung teman-teman yang sedang ada masalah keluarga atau sebagain tempat tidur anak rantau seperti Wage dan lainnya.
"Gue pasti menang." Faiq langsung bangkit tadi duduknya, menyalakan mesin motor, dan maju beberapa meter ketempat balapan dilaksanakan. Semua orang langsung tertuju kepada motor merah milik Faiq. Dan lihatlah, para wanita dengan pakaian kekurangan bahan itu, mereka tak bisa menyembunyikan betapa terpesonanya mereka dengan sosok Faiq. Padahal penerangan di tempat itu terbilang minim, tapi mereka tak bisa menahan rahangnya untuk tidak jatuh.
Dia adalah Faiq, atau lebih sering mereka sebut dengan Feniks. Seperti nama panggilannya Feniks atau yang lebih terkenal disebut phoenix, Faiq adalah sosok api yang berkobar-kobar di udara. Mampu membakar hati setiap manusia yang melihatnya. Sosok yang selalu bersemangat mencapai kemenangan, memenuhi segala ambisinya. Tapi jangan lupakan fakta bahwa api juga membahayakan. Sekalinya tersentuh seluruh tubuh akan melebur menjadi abu.
...*...
...*...
...*...
...TBC...
...Thanks for Reading 💙🌻...
...Jangan lupa like dan komen ya 🫶...