Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: "Nada Kesunyian"
Hari-hari terus bergulir, tetapi tidak ada yang berubah bagi Leonel. Kesepian masih menjadi sahabat setianya di rumah yang besar dan sunyi itu. Namun, suatu malam, sesuatu yang tak terduga terjadi. Leonel sedang duduk di ruang tamu, menatap layar televisi tanpa minat. Biasanya, ia hanya menonton untuk mengisi kekosongan, tetapi kali ini ada yang berbeda.
Suara lembut dari sebuah biola mengalun dari televisi, menghentikan Leonel sejenak. Ia terdiam, mendengarkan setiap nada yang keluar dari senar-senar itu. Musiknya begitu mendalam, menembus jauh ke dalam hatinya yang rapuh. Setiap gesekan busur biola seolah menggambarkan kesedihannya, menghubungkannya dengan emosi yang selama ini tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Leonel berbisik pada dirinya sendiri "Apa... apa ini?"
Ia memandang layar televisi dengan tatapan terpaku, melihat seorang musisi memainkannya dengan penuh perasaan. Jemari pemain biola itu bergerak lincah, tetapi ada kelembutan yang begitu indah dalam setiap nada.
Leonel tersenyum kecil, seolah berbicara pada dirinya sendiri "Suara ini... sepertinya aku mengerti."
Ia meraih remote dan memperbesar volume, membiarkan musik memenuhi ruangan. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, Leonel merasakan sesuatu yang baru — ketenangan.
Keesokan harinya, di sekolah, Leonel tidak bisa berhenti memikirkan biola yang ia dengar malam sebelumnya. Suara itu terus terngiang di pikirannya, memberikan rasa hangat di tengah kedinginan hidupnya. Saat istirahat tiba, ia duduk di tempat biasanya, tetapi kali ini ada yang berbeda dalam sikapnya. Morgan mendekatinya, seperti biasa, dengan senyum ceria.
"Leon, kamu kelihatan berbeda hari ini. Ada apa? Senyum di wajahmu itu jarang sekali muncul." Ucap Morgan sambil menatap wajah manis Leonel.
Leonel tersenyum malu-malu "Aku mendengar musik semalam... biola. Entah kenapa, rasanya... tenang. Seperti semua beban di pundakku menghilang sebentar."
Morgan tertawa kecil "Ah, biola! Itu alat musik yang indah. Kamu suka musik klasik?"
Leonel menggeleng "Aku baru pertama kali mendengarnya. Tapi... rasanya berbeda. Rasanya seperti aku bisa bicara lewat musik itu. Mengungkapkan sesuatu yang selama ini tak bisa kubicarakan."
Morgan tercengang "Wow, itu kedengaran dalam banget, Leon. Mungkin kamu harus mendengarkan lebih banyak. Siapa tahu, itu bisa jadi pelarianmu dari semua ini."
Leonel tersenyum "Mungkin kau benar."
Beberapa hari kemudian, Leonel mulai mencari lebih banyak musik biola di internet. Setiap kali mendengarnya, ia merasakan beban kesepiannya sedikit berkurang. Suara biola seolah menjadi teman yang mengerti dirinya tanpa harus bertanya. Di rumah, meski keadaan tak berubah, Leonel menemukan pelarian baru melalui musik.
Suatu malam, ketika Leonel sedang duduk di kamarnya, mendengarkan biola dari headphone-nya, Gento masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya terlihat marah, seperti biasa.
Gento masuk dengan langkah yang kasar "Apa yang kau lakukan di sini sendirian, mendengarkan sesuatu yang bodoh?"
Leonel melepas headphone-nya, menatap kakaknya dengan tenang. "Aku hanya mendengarkan musik. Itu membuatku merasa lebih baik."
Gento tertawa mengejek "Musik? Musik klasik? Apa kau berpikir kau adalah seorang bangsawan atau apa? Itu bukan untuk orang seperti kita. Kau pikir dengan mendengarkan biola, hidupmu akan lebih baik?"
Leonel berbisik "Setidaknya, musik itu tidak menyakitiku."
Gento terdiam sejenak, mungkin terkejut dengan jawaban Leonel yang biasanya diam saja. Namun, ejekan kembali muncul di wajahnya.
Gento berbicara dengan wajah yang jengkelnya pada Leonel "Kau ini benar-benar aneh, Leonel."
Gento keluar dari kamar, meninggalkan Leonel sendirian lagi. Namun, kali ini, kata-kata Gento tidak terlalu mempengaruhi Leonel seperti biasanya. Musik biola yang lembut di headphone-nya membantu menenangkan pikirannya.
Keesokan harinya, di sekolah, Leonel duduk bersama Morgan di kantin. Morgan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Jadi, sudah semakin suka dengan musik biola itu?" Tanya Morgan sambil memakan makanan yang ibunya berikan.
Leonel tersenyum kecil "Ya. Semakin aku dengarkan, semakin aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang terhubung dengan musik itu."
Morgan bersemangat "Kau tahu, mungkin kau harus coba belajar memainkannya. Siapa tahu kau berbakat."
Leonel tertawa kecil "Aku? Main biola? Aku bahkan tidak tahu cara memegangnya."
"Ya, tapi semua orang kan harus mulai dari awal, bukan? Kalau itu membuatmu bahagia, kenapa tidak?" Morgan sambil mengayun-ayunkan tangannya di udara seperti seorang Maestro yang sudah layak di beri penghargaan.
Leonel tersenyum kecil lalu matanya langsung memandang ke bawah, berpikir "Aku tidak tahu. Aku bahkan tak yakin ayahku akan mendukungku untuk belajar musik."
"Biar aku tebak, dia lebih peduli pada bisnis daripada hal-hal yang sebenarnya penting bagi kehidupanmu?" Kata Morgan dengan satu alis terangkat.
Leonel terdiam, tetapi tatapannya mengisyaratkan jawaban yang Morgan sudah tahu.
"Dengar, Leon. Kau tak perlu menunggu persetujuan orang lain untuk melakukan apa yang membuatmu bahagia. Kalau kau ingin belajar biola, cari cara untuk melakukannya. Aku akan bantu sebisaku." Ucap Morgan sambil tersenyum ke arah Leonel.
Leonel tersenyum lembut "Terima kasih, Morgan. Kau selalu ada untukku, terkadang aku merasa kamu sangat dewasa." Katanya sambil tersenyum manis ke arah Morgan.
"Ah, masa sih, ngga ah aku kan masih anak anak, ayah ku yang bilang begitu" katanya dengan mengusap belakang kepalanya malu.
Hari-hari berikutnya, Leonel semakin tenggelam dalam musik. Di waktu luangnya, ia menonton video-video tentang biola, melihat bagaimana musisi memainkannya dengan elegan dan penuh perasaan. Di dalam dirinya, ia mulai merasakan keinginan kuat untuk mempelajari alat musik itu sendiri. Biola telah menjadi pelarian dari kenyataan yang keras, menjadi dunia baru yang indah di mana ia bisa bebas dari semua beban yang menghimpitnya.
Namun, di satu sisi, Leonel tahu bahwa untuk benar-benar terjun ke dunia musik, ia butuh lebih dari sekadar ketertarikan. Ia butuh tekad dan keberanian—dua hal yang selama ini terasa begitu jauh dari dirinya.
Leonel berbisik pada dirinya sendiri saat menatap langit-langit kamarnya "Mungkin... musik bisa membawaku keluar dari semua ini. Mungkin, lewat musik, aku bisa menemukan diriku yang sebenarnya." Katanya sambil sedikit memejamkan matanya karena mengantuk.