Hidup Dina hancur ketika suaminya, Ronny, berselingkuh dengan sahabatnya, Tari. Setelah dipaksa bercerai, ia kehilangan hak asuh bayinya yang baru lahir dan diusir dari rumah. Patah hati, Dina mencoba mengakhiri hidupnya, namun diselamatkan oleh Rita, seorang wanita baik hati yang merawatnya dan memberi harapan baru.
Dina bertekad merebut kembali anaknya, meski harus menghadapi Ronny yang licik dan ambisius, serta Tari yang terus merendahkannya. Dengan dukungan Rita, Ferdi dan orang - orang baik disekitarnya, Dina membangun kembali hidupnya, berjuang melawan kebohongan dan manipulasi mereka.
"Merebut kembali bahagiaku" adalah kisah tentang pengkhianatan, keberanian, dan perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah demi kebenaran dan keadilan. Akankah Dina berhasil merebut kembali anaknya? Temukan jawabannya dalam novel penuh emosi dan inspirasi ini.
Mohon dukungannya juga untuk author, dengan like, subs, vote, rate novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Setelah briefing dengan Aldo selesai, Dina pergi bersama Yuli, asisten HRD, untuk bertemu dengan tim barunya di divisi analisis bisnis. Perasaan gugup masih menyelimuti Dina saat mereka berjalan menyusuri koridor menuju ruang kerja tim tersebut. Gedung kantor yang modern dan megah itu masih terasa asing baginya, dan pikiran tentang harus segera beradaptasi membuatnya sedikit tegang.
“Ini dia ruangannya,” kata Yuli sambil tersenyum, kemudian membuka pintu dan mempersilakan Dina masuk lebih dulu.
Dina melangkah masuk dan langsung disambut oleh pandangan beberapa orang yang sedang sibuk dengan komputer mereka. Ruangan itu dipenuhi oleh suasana kerja yang tenang namun produktif. Di meja paling depan, seorang pria paruh baya dengan raut wajah ramah berdiri dan berjalan menghampiri mereka.
“Dina, ini Surya, ketua tim analisis bisnis,” kata Yuli memperkenalkan.
Surya menjulurkan tangannya, tersenyum hangat. "Selamat datang, Dina. Kami sudah mendengar tentangmu yang akan bergabung dengan tim kami. Saya harap kau cepat beradaptasi."
Dina tersenyum gugup dan menjabat tangan Surya dengan lembut. "Terima kasih, Pak. Saya akan berusaha keras."
“Panggil saya Surya saja,” kata pria itu dengan nada bersahabat, lalu dia menoleh ke arah timnya yang sekarang mulai memperhatikan Dina dengan penuh rasa ingin tahu.
“Baiklah, perkenalkan, ini tim kita,” Surya mulai memperkenalkan satu per satu anggota tim. "Ini Tiara," katanya, menunjuk seorang wanita berambut sebahu dengan senyum manis yang duduk di sebelah kanan ruangan. “Dia spesialis di bidang keuangan.”
Tiara melambaikan tangan ringan dan berkata, "Selamat datang, Dina. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik."
“Lalu ini Tono,” Surya mengarahkan pandangannya pada seorang pria berkacamata dengan postur tegap, yang duduk tak jauh dari Tiara. "Tono ahli dalam data statistik."
Tono mengangguk singkat. "Senang bertemu denganmu, Dina."
"Berikutnya, ini adalah Andi," Surya memperkenalkan pria muda berpenampilan kasual dengan rambut sedikit acak-acakan yang duduk agak di belakang. "Andi ahli dalam analisis pasar."
Andi hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, tampak sedikit cuek tapi ramah.
Surya kemudian melanjutkan, "Ini Arif, dia yang biasanya mengurusi strategi bisnis. Pria ini selalu punya ide-ide baru."
Arif, yang duduk dekat pintu, berdiri dan menjabat tangan Dina. "Selamat datang, Dina. Senang punya tambahan tenaga baru."
Dan terakhir, Surya memperkenalkan seorang wanita yang duduk di ujung ruangan. “Ini Nita, bagian customer insight dan riset konsumen. Kalau ada yang mau kau pelajari soal perilaku konsumen, Nita adalah orangnya.”
Nita tersenyum lembut dan melambaikan tangan. "Hai, Dina. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan ya."
Dina merasa sedikit lebih tenang setelah perkenalan itu, melihat bahwa rekan-rekan barunya tampak ramah dan hangat. Meskipun masih ada sedikit ketegangan dalam dirinya, setidaknya dia tidak merasa sendirian di tempat baru ini.
“Sekarang kita mulai ya, Dina. Saya akan menunjukkan apa yang perlu kamu pelajari dulu,” kata Surya, mengarahkan Dina ke meja kosong yang sudah disiapkan untuknya. “Saya yakin kau akan cepat beradaptasi di sini.”
***
Setelah Yuli meninggalkan ruangan, suasana yang semula tampak bersahabat mendadak berubah. Dina bisa merasakan perubahan kecil namun jelas dalam sikap beberapa orang di tim. Terutama Tiara, yang dari tadi tampak memandangnya dengan tatapan dingin.
Tanpa membuang waktu, Tiara berdiri dari kursinya dan mendekati Dina dengan langkah mantap. Wajahnya menampilkan senyum yang tak sepenuhnya ramah. "Jadi," kata Tiara dengan nada menggoda tapi sinis, "Kau masuk ke perusahaan ini pakai koneksi ya?"
Dina tertegun, tak menduga pertanyaan langsung seperti itu. Dia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan Tiara padanya.
"Kenapa kau tanya begitu?" Dina bertanya pelan, mencoba untuk tetap tenang.
Tiara mengangkat bahu, lalu mencibir dengan angkuh. "Yah, kita semua tahu gimana perusahaan ini selektif sekali untuk merekrut pegawai baru, apalagi sekarang ini bukan masa - masa rekruitmen. Tapi tiba-tiba kau masuk tanpa proses rekruitmen dan langsung ditempatkan di tim kami. Pasti ada 'jalan pintas', kan?"
Dina diam sejenak, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan itu mengena tepat di titik sensitif. Meskipun benar dia masuk melalui Rita, dia merasa tidak adil jika kemampuannya dipertanyakan tanpa diberi kesempatan untuk membuktikan dirinya.
Melihat Dina tidak segera menjawab, Tiara melanjutkan, "Jadi... seberapa jago dirimu, Dina? Apa kau cuma akan duduk manis di sini, atau sebenarnya kamu punya skill?"
Tiara melanjutkan, "Aku cuma penasaran, soalnya masuk ke sini biasanya butuh pengalaman dan proses seleksi yang ketat. Kalau pakai jalan pintas, aku cuma berharap kemampuanmu sepadan." Ucapannya diakhiri dengan cibiran tipis, membuat Dina semakin tidak nyaman.
Dina ingin membalas, tapi atmosfer ruangan terasa begitu intens. Surya, yang duduk tak jauh, hanya mengamati percakapan itu tanpa berkata banyak. Dia tampak tidak tertarik untuk menengahi atau membela Dina. Sikapnya seolah membiarkan apa yang dikatakan Tiara berlangsung tanpa campur tangan.
Akhirnya, Surya menegakkan tubuh di kursinya, menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada tenang tapi dingin, ““Baiklah, Dina,” kata Surya sambil menggeser tumpukan dokumen ke meja Dina. “Kita punya pekerjaan mendesak. Tolong scan semua dokumen ini, periksa dulu kalau ada salah ketik atau typo, dan pastikan semuanya siap dalam waktu satu jam. Dokumen ini untuk meeting dengan Pak Ferdi siang nanti.”
Dina terdiam, menatap tumpukan dokumen yang begitu banyak. Dia tidak bisa menahan keterkejutannya. "Tapi... ini terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu satu jam. Apalagi saya harus mengecek semuanya dulu," protesnya dengan suara yang hati-hati.
Tiara hanya menyilangkan tangan di dada, tersenyum puas melihat Dina kesulitan. Surya mendesah seolah tak ingin mendengar alasan. “Kita butuh dokumen ini segera. Waktu satu jam cukup kalau kamu bekerja cepat. Meeting ini penting.”
Dina tidak bisa berkata apa-apa lagi. Meski tahu ini permintaan yang mustahil, dia hanya bisa mengangguk patuh. Di dalam hatinya, dia tahu ini mungkin semacam ujian, atau bahkan bentuk sabotase halus untuk membuatnya gagal. Namun, Dina tak punya pilihan selain mencoba.
Dengan perasaan tertekan, dia mulai bekerja. Tiara kembali ke mejanya dengan ekspresi puas, sementara Surya hanya melanjutkan pekerjaannya tanpa mempedulikan keadaan Dina.
Tiara, yang duduk di mejanya tak jauh dari Dina, melirik ke arah Dina yang sibuk dengan tumpukan dokumen. Dengan nada sinis, dia berkata, "Kalau masuk pakai koneksi, harusnya kemampuanmu di atas rata-rata, kan? Tapi baru disuruh scan dan cek dokumen aja udah kelihatan kesulitan."
Dina menoleh perlahan, merasa panas dengan ucapan Tiara. Dia tahu sindiran itu sengaja dilontarkan untuk menjatuhkannya, tapi Dina menahan diri untuk tidak membalas. Tiara tampak puas melihat Dina terdiam, sementara beberapa rekan lain pura-pura tidak mendengar, terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri.
"Yah, semoga meeting siang nanti tidak ada masalah hanya karena kau tidak bisa menyelesaikan tugas kecil ini," lanjut Tiara sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, senyum mengejeknya semakin terlihat jelas.
Dina mengepalkan tangan di bawah meja. Meski hatinya bergemuruh, dia menundukkan kepala, berusaha fokus pada pekerjaannya. Dina tahu, hanya ada satu cara untuk menghadapi Tiara—yaitu dengan menunjukkan hasil kerja yang baik. Meskipun merasa terbebani, dia bertekad untuk tidak menyerah.
Nita yang duduk di sebelah Dina, akhirnya tidak bisa menahan diri untuk memberi dukungan. Dengan suara pelan, dia berbisik, “Jangan terlalu diambil hati, ya. Tiara memang sering begitu. Kau fokus aja ke pekerjaanmu.”
Dina menoleh dan tersenyum lemah, merasa sedikit lega mendengar suara ramah di tengah atmosfer yang menegangkan. "Terima kasih, Nita," balasnya pelan.
Nita lalu menawarkan bantuan, “Kalau kau butuh bantuan, aku bisa ikut cek beberapa dokumen ini. Biar selesai lebih cepat.”
Namun, Dina menolak tawaran itu dengan sopan. “Aku bisa mengatasinya. Lagipula, ini tugas pertama aku, jadi aku harus menyelesaikannya sendiri. Tapi terima kasih, Nita. Aku sangat menghargai tawaranmu.”
Nita tersenyum kecil, paham dengan keinginan Dina untuk membuktikan diri. “Baiklah. Kalau butuh sesuatu, kau bisa bilang padaku”
Dina kembali fokus pada tumpukan dokumen di depannya. Satu persatu dokumen mulai dia periksa dengan lebih teliti, Dia bertekad, tidak akan ada yang bisa meremehkan kemampuannya.
aku kl masalh bayi di adopsi hnya untuk kepentingan sungguh gk tega. aku gk setuju kl yg bgini. tari bukan tulus ma si bayi tp modus. dah di kasih penyakit ma karma bkn insyaf mlh makin menjadi.