NovelToon NovelToon
Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Ekspedisi Arkeologi - Misteri Kutukan Mola-Mola.

Status: tamat
Genre:TimeTravel / Tamat / Sistem / Epik Petualangan / Dendam Kesumat / Pulau Terpencil
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Deni S

Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.

Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.

Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Uraian Buku Catatan Satrio.

Matahari tenggelam, malam pun tiba. Di bawah nyala api yang berkelip-kelip, Satrio merasakan semangat yang tak biasa. Seolah setiap sudut desa memberi energi yang menguatkan tekadnya untuk segera memecahkan misteri yang ada. Di hadapannya, buku catatan tebal terbuka di halaman yang telah banyak ditandai, penuh dengan catatan dan sketsa dari petualangan dan penemuannya selama ini. Dengan harapan ia dapat menemukan jawaban yang bisa mengungkap makna misteri simbol kuno yang terdapat di dinding gua.

“Baiklah, kita mulai dari sini,” gumam Satrio sambil memutar halaman. Pandangannya berhenti pada catatan tentang prasasti pertama yang ia temukan, yang menandai awal perjalanannya bersama Gilang dan tim lainnya.

“Mungkin inilah awal segalanya,” Satrio bergumam lirih, teringat masa-masa awal kerjasama mereka. “Aku masih ingat ketika aku pertama kali bertemu Gilang dan yang lain pada sebuah reruntuhan kuno di Jawa Tengah."

"Saat itu, mereka sudah punya asumsi bahwa reruntuhan itu bekas stupa, dan mereka ternyata benar. Tapi yang mengejutkan adalah ketika kami menyadari ada sesuatu yang lebih dalam di bawahnya, sebuah teks kuno yang nyaris tak terbaca. Gilang awalnya meragukan gagasanku. Tapi begitu aku memaparkan hipotesis tentang kemungkinan adanya struktur lain di bawahnya, ia pun akhirnya setuju untuk menggali lebih dalam."

"Dan benar saja, kami menemukan lempengan batu kuno dengan teks yang penuh dengan misteri. Teks itu mengisahkan tentang kerajaan yang dikenal punya kekuatan tempur yang luar biasa. Sepertiga pasukan mereka bisa mengalahkan pasukan musuh yang jauh lebih besar. Luar biasa memang, tapi. Aku masih penasaran dengan metode mereka bertarung. Tidak mungkin mereka hanya mengandalkan kekuatan fisik."

Satrio berhenti sejenak, menyandarkan kepalanya sebelum melanjutkan. "Mungkinkah mereka di masa lampau, mampu menemukan senjata biologis yang mematikan. Jika bisa, maka tak heran mereka berhasil memenangkan pertempuran sebesar itu. Ini bukan sekadar taktik atau fisik belaka. Mungkin ada senjata rahasia yang mengubah permainan."

Ia memandang halaman yang dipenuhi catatan-catatannya, merenungi hipotesis yang ia buat. Satrio membalik halaman, membiarkan pikirannya kembali pada kenangan-kenangan tentang penemuan yang membuat mereka semakin dalam menjelajahi misteri.

"Selain kisah tadi, tentang kerajaan kuno yang hebat. Maka penemuan kedua ini seolah memperkuat hipotesis kami," gumamnya sambil menatap catatan yang tertulis rapi di halaman bukunya. "Aku ingat betul, saat Gilang meneleponku di pagi-pagi buta. Suaranya terdengar berapi-api. Katanya, temannya yang sedang melakukan observasi di hutan Jawa Tengah, telah menemukan batu dengan bentuk yang aneh."

"Dengan ambisinya yang besar, Gilang mengajakku ikut dalam ekspedisinya. Tentu saja, aku menerima tawarannya dengan senang hati. Bagiku, tak ada yang lebih menarik daripada mengungkap sebuah kisah kuno. Akhirnya, kami pun berangkat ke lokasi yang disebutkannya. Walau awalnya aku sedikit ragu, karena kali ini hanya bermodalkan asumsi, tanpa jaminan akan menemukan sesuatu yang konkret."

"Lebih celakanya, kami baru tahu belakangan bahwa hutan itu terkenal dengan cerita-cerita mistis yang sangat dipercayai oleh penduduk setempat. Aku masih ingat betapa Gilang dan Bayu tak henti-hentinya berdoa ketika kami mendirikan tenda di tengah hutan. Syukurlah, kami akhirnya tiba di lokasi dengan selamat."

"Dan lucunya lagi, saat Bayu dan Rio pertama kali melihat batu yang hanya berbentuk persegi empat, ekspresi mereka tampak menggelikan. Aku tidak percaya, susah payah masuk ke hutan ini hanya demi menemukan sebongkah batu seperti ini? Kata-kata Rio itu membuatku tertawa kecil. Raut wajahnya sangat lucu, saat menatap batu itu dengan tatapan penuh kecewa."

"Di hadapan kami, memang hanya ada sepotong batu yang tidak terlalu besar namun memiliki bentuk aneh. Batu itu menyerupai balok persegi, hanya beberapa jengkal yang tampak mencuat dari tanah. Kulihat wajah ketiganya, Rio, Bayu, dan Gilang Sama-sama menunjukkan ekspresi kekecewaan."

"Bayu malah lebih parah lagi, ia menambah suasana skeptis dengan hipotesisnya yang terdengar nyeleneh. Sepertinya ini buatan manusia modern, mungkin peninggalan kolonial atau semacamnya. Ucapannya itu cukup mengundang senyum di wajahku, seakan mengisi waktu kami dengan lelucon-lelucon spontan mereka. Gilang bahkan menatapku dengan raut keheranan, sebelum akhirnya ia bertanya. Menurutmu, apa yang sebenarnya kita temukan di sini?"

"Tentu saja, aku menjelaskan bahwa ini adalah temuan luar biasa. Tapi siapa sangka, ketiga pemuda itu malah tertawa geli, bahkan lebih keras dari tawaku sebelumnya. Di sanalah aku mulai menguraikan hipotesisku tentang temuan ini. Percayalah, dari kejauhan pun aku sudah bisa menebak. Bahwa ada sesuatu yang lebih besar terbenam di dalamnya, sesuatu yang cukup untuk mematahkan asumsi liar Bayu dan Rio tentang batu istimewa ini."

"Pertama, aku tidak melihat adanya batu Columnar Joint di sekitar lokasi, jadi mustahil batu ini terbentuk secara alami. Kedua, batu ini memang berbentuk persegi empat, tetapi ketumpulan di setiap sisinya menunjukkan bahwa batu ini dipahat, bukan dicetak. Ketiga, kontur tanahnya yang bergelombang dengan pola Rolling Hills dan sudut-sudut acak semakin memperkuat dugaanku."

"Semua ini sudah cukup bagiku untuk menyimpulkan, bahwa di bawah tanah terdapat benda padat yang jauh lebih besar. Lagi pula, batu-batu seperti ini pada zaman dahulu, sering menjadi penanda wilayah sakral, atau simbol otoritas dari suatu suku tertentu. Singkat cerita, kami akhirnya berhasil menemukan reruntuhan kuno di lokasi tersebut."

"Dan sekali lagi, kami menemukan teks kuno yang mengisahkan tentang peperangan. Tapi aku merasa, ada yang tak biasa dari teks kali ini. Batu tersebut mengisahkan, tentang seorang tokoh yang bertekad menghentikan peperangan. Dan di sana juga menjelaskan, bahwa ini sebagai tanda awal dari perjalanan panjangnya. Bahkan terdapat kalimat penegasan, bahwa ia akan melanjutkan catatannya, begitu tiba di tempat tujuan."

"Selain itu, ia juga mencantumkan arah tujuannya. Dari batu inilah, aku mulai mengikuti jejaknya, dan berhasil menemukan batu-batu lainnya. Aku menyebutnya, Batu Sang Penjelajah."

"Berkat dua penemuan itu, aku pun diangkat secara sepihak oleh mereka sebagai pemimpin tim saat ini. Namun, hingga kini aku menganggap mereka bukan hanya sekadar tim, melainkan teman sejati yang pernah aku kenal."

"Akhirnya aku berhasil menyusun kerangka teori, terkait penemuan terakhir kami. Petunjuk ini mengarah ke lokasi di bagian Utara. Kesimpulan tersebut aku tarik, bukan hanya berdasarkan petunjuk dari Batu Sang Penjelajah, yang menyiratkan jejak langkah menuju ke Utara. Tapi juga, melalui analisis sejarah geologis untuk menentukan arah yang paling akurat."

"Di sini pula keahlian Rio dalam memetakan wilayah terbukti sangat berguna, membantu kami menjelajahi area yang awalnya kupikir akan sulit."

"Dengan pendekatan ini, kami berhasil menemukan titik yang paling relevan dengan kerangka teori yang telah aku susun."

"Hingga benar, membawa kami pada penemuan-penemuan lain yang ditinggalkan oleh Sang Penjelajah. Sampai tibalah kami, pada prasasti terakhir yang sempat menjadi perdebatan sengit. Di batu prasasti itu tertulis, bahwa ia mengubah arah perjalanannya lagi. Kali ini ia mengarah ke bagian Barat, dengan deskripsi geologis, yang menyebutkan sebuah lembah hijau. Itulah yang meyakinkanku, bahwa tempat yang ia tuju berada di sekitar Gunung Niuts."

"Meskipun awalnya, timku meragukan keputusan ini. Namun keraguan itu sirna, ketika aku berhasil menemukan jejaknya lagi, di badan sungai dan di dalam sebuah gua batu. Bahkan, aku melakukan sesuatu yang cukup nekat, dengan menyeberangi sungai berarus deras. Itu semua untuk memastikan bahwa aku masih berada di jalur yang benar. Beruntungnya, jejak itu memang mengarah ke rute yang dituju Sang Penjelajah. Tapi kini, kebingungan mulai menyelimutiku."

"Dari pengamatanku, setiap jejak yang ia tinggalkan selalu membawa kisah baru, tapi kebanyakan membahas tentang kejamnya peperangan. Namun pola tersebut mendadak berubah. Ketika aku menemukan, batu prasasti lain di sekitar Gunung Bawen. Di sanalah, untuk pertama kalinya, aku melihat ukiran yang tampak seperti pohon besar. Sampai detik ini. Aku belum sepenuhnya memahami, apa maksud Sang Penjelajah terkait ukiran pohon tersebut. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang penting di balik simbol itu."

Satrio menghela napas panjang, menutup buku catatannya dengan perlahan. Pikirannya masih berputar di sekitar kisah Sang Penjelajah yang terpotong-potong, penuh teka-teki yang sulit disatukan. Tangannya bergerak mengusap halaman terakhir yang baru saja ia tulis, berharap bisa menemukan sesuatu yang terlewatkan.

“Entah mengapa. Untuk kali ini, aku merasa ada yang hilang,” gumamnya, suara yang nyaris tenggelam dalam sunyi malam. Ia mendongak, menatap api kecil yang berkedip di ujung ruangan, menciptakan bayangan yang bergetar di sepanjang dinding. "Setiap kali aku mencoba menyusun kerangka teori, tapi saat itu juga aku merasa teori itu begitu rapuh. Seolah ada mata rantai yang hilang."

Satrio bersandar sejenak, mencoba meredakan gemuruh dalam kepalanya. “Awalnya kupikir petua adat bisa memberikan suatu jawaban. Namun apalah nasib. Djaya justru menutup semua itu rapat-rapat.”

Satrio melirik tempat tidur kayu yang terletak di sudut ruangan, begitu sederhana namun tampak begitu menggoda dalam keheningan ini. Tubuhnya lelah, namun pikirannya masih terjaga. Ia tahu, jika terus memaksakan diri, ia hanya akan makin jauh dari jawaban.

"Baiklah," katanya pelan, akhirnya menyerah pada kelelahan yang menyergap. Dilepaskannya jaketnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Langkahnya berat menuju tempat tidur. Sembari merebahkan tubuh, ia menatap langit-langit, mencoba menenangkan pikirannya.

Namun, belum sempat ia terlelap, suara-suara aneh tiba-tiba mengusik pikirannya. Satrio terdiam, telinganya menangkap gemerisik daun yang ganjil, seperti ada sesuatu yang merambat pelan di luar. Ia tetap diam, seluruh indranya waspada, berusaha menangkap suara berikutnya. Tapi suasana justru kian sunyi, dan ketegangan mulai merayap di tubuhnya.

Tiba-tiba, sebuah gumpalan asap tipis menyusup dari celah-celah dinding kayu. Asap itu berwarna kelabu, perlahan namun pasti memenuhi ruangan dengan aroma yang menyengat. Mata Satrio terbelalak, kesadarannya langsung berteriak bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ia buru-buru menutup hidung dengan ujung bajunya, berusaha menahan napas. Dengan panik, ia bangkit dari tempat tidurnya.

Tanpa berpikir panjang, Satrio membuka pintu dan menerobos keluar, menghentakkan kakinya di tanah dengan langkah lebar. Di luar, malam tampak gelap gulita, hanya sedikit cahaya bulan yang menembus pepohonan, memberikan suasana yang terasa kian mencekam. Di balik kabut malam, ia melihat samar-samar kepulan asap terus menguar dari celah-celah rumah.

Dibayangi rasa cemas, Satrio melangkah mundur, mencoba mencari udara segar. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" batinnya, berusaha menenangkan diri meskipun perasaannya tidak tenang.

Satrio masih terpaku menatap rumah yang dikepung oleh gumpalan asap putih, seolah ingin memastikan semua yang ia lihat adalah nyata. Tapi kedua matanya segera tertarik ke arah sisi rumah, ketika ia menangkap bayangan hitam berkelebat lincah, masuk ke dalam ladang jagung yang rimbun.

"Siapa di sana?" serunya dengan nada curiga, sebelum berlari mengejar tanpa pikir panjang.

"Aku yakin... bayangan itu menyerupai manusia," batin Satrio, hatinya dipenuhi rasa penasaran bercampur kewaspadaan.

Ladang jagung yang lebat tak menghentikan langkah Satrio. Ia terus menerobos ranting dan dedaunan yang menghalangi pandangannya, meskipun setiap langkah membuatnya semakin dalam terjebak di tengah hutan jagung yang rapat.

Beberapa menit berlalu, dan napasnya mulai tersengal, namun ia tetap bertahan, hingga akhirnya ia melambatkan langkahnya. Di kejauhan, samar-samar, terlihat gumpalan asap putih menguar di tengah ladang, perlahan melingkari suatu titik.

"Sial! Aku tidak akan bisa mengejarnya," gumam Satrio, napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia tahu ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan dengan kecepatan semata.

Dengan langkah perlahan namun hati-hati, Satrio mulai berjalan mundur, matanya tak lepas mengawasi sekeliling, menjaga diri dari setiap bayangan yang mungkin muncul dari balik dedaunan.

"Apakah sosok hitam itu yang dimaksud oleh Pak Purrok?" batin Satrio, pikirannya berputar cepat di tengah ketegangan yang masih terasa.

"Ageo..." gumamnya, menyebut panggilan penghormatan yang biasa digunakan warga desa padanya.

Tak lama, terdengar langkah kaki dari arah belakang. Beberapa pemuda berlarian menghampirinya, wajah mereka penuh tanya.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Ekot, matanya menatap Satrio dengan raut khawatir namun penasaran.

Satrio tidak segera menjawab. Ia masih terpaku menatap ke arah ladang jagung, seolah berharap bisa menemukan bayangan hitam itu sekali lagi.

"Apa kau baik-baik saja, Ageo?" tanya Balewa, suaranya terdengar cemas. Ia merengkuh bahu Satrio dengan penuh perhatian.

Satrio mengangguk perlahan, menoleh ke arah mereka. "Aku... aku melihat sesuatu di sini. Makhluk itu. Kutukan itu menyerang tempatku." Suaranya bergetar, tetapi ia berusaha tetap tenang.

Ekot tercengang. "Apa! Bagaimana bisa itu terjadi? Selama ini kutukan itu hanya menyerang gadis-gadis desa."

"Kita harus segera menghentikannya, Ekot, sebelum makhluk itu bertindak lebih jauh," tegas Satrio. "Celaka! Ayo, Ekot. Ikut aku."

Ekot dan Balewa saling bertatapan sebelum akhirnya mengangguk, tak ingin kehilangan waktu. Mereka segera berlari menyusul Satrio, yang telah bergerak cepat kembali ke rumahnya, melewati jalan setapak yang diselimuti kegelapan dan desiran angin malam yang makin mencekam.

Dengan langkah cepat, Satrio terus berlari seolah memburu waktu. Sesekali matanya bergerak mengikuti bentangan ladang jagung, mencari arah paling mungkin yang bisa ditempuh sosok hitam itu. Jantungnya berdetak kencang, dikejar perasaan bahwa mereka tidak punya banyak waktu.

Langkahnya semakin cepat ketika dari kejauhan, ia melihat sebuah rumah dikepung gumpalan asap pekat.

"Ekot, selamatkan mereka! Balewa, bantu aku di sini!" sergah Satrio, sebelum akhirnya berbelok menuju ladang jagung.

Namun, belum sempat Satrio melangkah lebih jauh, gumpalan asap hitam kembali menghalangi jalannya, menyebar tebal dan berputar seakan hidup, menjegal langkahnya. Ia segera menarik Balewa agar tidak mendekati asap itu, matanya menajam memperhatikan gerak asap yang semakin mendekat.

"Cukup. Kita tidak bisa menerobos itu, Balewa," ujar Satrio dengan suara tegas, menahan frustrasi. Ia merapatkan tangan di sekitar hidung dan mulut, lalu melangkah mundur. "Asap ini... bukan asap biasa. Ada sesuatu yang lebih di baliknya."

Balewa mengangguk dengan ekspresi tegang. "Jadi... apa yang harus kita lakukan sekarang, Ageo?"

Satrio terdiam sesaat, matanya beralih ke sekeliling ladang yang gelap. "Gigih sekali mahluk itu. Kita tidak bisa mengejarnya di tengah kegelapan," jawab Satrio, kemudian ia beralih menuju depan rumah untuk segera membantu Ekot.

Suasana malam yang semula diharapkan tenang kini kembali terasa mencekam ketika kutukan itu menyerang secara membabi buta. Di depan rumah, Ekot dan beberapa warga terlihat berusaha memapah seorang gadis menjauh, langkah mereka tergesa, penuh kecemasan yang terpendam.

1
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
mangat . bintang datang😇👍🙏
Muslimah 123
1😇
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
salam kenal jika berkenan mampir juga👋👍🙏
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡: iya , mksh semangat ya 😇💪👍🙏
Msdella: salam kenal kak.. wih banyak karyanya kak.. nnti aku baca juga kak
total 2 replies
miilieaa
haloo kak ..sampai sini ceritanya bagus kak
lanjut nanti yah
Msdella: Hallo.. Terima kasih kak.. Siap, kak. nanti saya update sampe tamat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!