Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Pertarungan Emosional
Aira duduk di sudut ruangan, tangan gemetar sambil memeluk lututnya. Kenyataan bahwa Beni mengkhianati mereka menghantamnya dengan keras. Di dalam pikirannya, bayangan setiap momen kebersamaan mereka melintas, tetapi semuanya terasa kosong dan penuh kepalsuan. Di hadapannya, Raka menatap dengan tatapan kosong, mencoba memahami apa yang telah terjadi.
Adrian berjalan mondar-mandir di ruangan itu, wajahnya tegang dan dipenuhi amarah yang tertahan.
"Kita harus melakukan sesuatu," gumam Adrian dengan suara yang sedikit bergetar. "Beni tidak hanya menghancurkan kepercayaan kita, tetapi juga berusaha menghancurkan hidup kita. Ini bukan sekadar pengkhianatan biasa."
Raka mendesah, menatap Adrian dengan tajam. "Tapi, Adrian, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Dia tahu setiap langkah kita. Jika kita salah melangkah, kita yang akan terjebak."
Aira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kita tidak bisa membiarkan dia menang begitu saja. Dia sudah terlalu jauh bermain dengan perasaan dan kepercayaan kita."
Seketika, pintu ruangan terbuka, dan Beni masuk dengan langkah santai, wajahnya terlihat penuh percaya diri dan senyum sinis di bibirnya. Tatapannya beralih ke satu per satu dari mereka, seperti sedang menilai sejauh mana mereka terpukul oleh pengkhianatannya.
"Jadi, kalian akhirnya tahu," ucap Beni ringan, seakan-akan itu hanya hal sepele. "Kenapa begitu serius? Bukankah ini hanya permainan?"
Aira tak tahan lagi, ia berdiri dengan cepat dan melangkah maju mendekati Beni. "Permainan? Kau merusak persahabatan kita dan berani menyebutnya permainan?"
Beni hanya tersenyum miring, menatap Aira dengan tatapan yang mengejek. "Aira, kau sungguh naif. Dunia ini bukan tempat bagi mereka yang terlalu mudah percaya. Kau terlalu polos untuk memahami apa itu kekuasaan dan pengaruh."
Raka mencengkeram tangan Aira, mencoba menahan amarah yang jelas terlihat dari sorot matanya. "Beni, kau pikir kau bisa terus bermain-main dengan perasaan kami? Kau mungkin berhasil sekali, tapi itu tak akan terjadi lagi."
Beni tertawa kecil, nadanya sinis. "Kalian berdua lucu sekali. Kalian masih berpikir bisa mengalahkanku? Selama ini aku memegang kendali, dan kalian hanya pion yang bisa kuatur sesuka hatiku."
Adrian maju dengan langkah tegas, suaranya penuh dengan kemarahan yang selama ini ia pendam. "Beni, kami tidak akan membiarkanmu menghancurkan kami. Ini bukan hanya tentang apa yang kau lakukan, tetapi tentang siapa yang kau pikir bisa kau kendalikan. Kau telah melewati batas."
"Batas?" Beni mengulangi sambil terkekeh. "Apa peduliku tentang batas? Orang yang kuat akan selalu memanfaatkan kelemahan orang lain. Dan kalian... kalian hanyalah anak-anak yang terlalu mudah dimanipulasi."
Aira merasa hatinya bergetar mendengar kata-kata Beni yang tajam dan dingin. Semua kata-kata itu bagaikan pisau yang menusuknya dalam-dalam. Bagaimana bisa seseorang yang dulu ia percaya ternyata menyimpan kebencian sedalam ini?
Namun, ia menenangkan dirinya, menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara yang tegas. "Beni, mungkin kau melihat kami lemah karena kami pernah mempercayaimu. Tapi ingat, kepercayaan yang dihancurkan tidak akan pernah kembali. Dan sekarang, kau tidak punya lagi tempat di antara kami."
Wajah Beni berubah sejenak, tetapi ia segera menyembunyikan ekspresi itu dengan senyum dingin. "Jika itu yang kalian mau, baik. Tapi jangan salahkan aku kalau kalian akan menyesalinya nanti."
---
Setelah Beni pergi, suasana di antara mereka bertiga menjadi sunyi. Perasaan kecewa, marah, dan hancur memenuhi ruangan itu.
"Kita harus melawan," Adrian berkata dengan nada yang dingin namun penuh tekad. "Kita harus tunjukkan padanya bahwa dia tak bisa merendahkan kita begitu saja."
Raka mengangguk, tapi ia tampak ragu. "Tapi bagaimana caranya? Beni tahu kelemahan kita. Dia tahu setiap langkah kita. Jika kita bertindak gegabah, kita akan jatuh dalam jebakannya."
Aira terdiam, mencoba mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya. Ia sadar bahwa melawan Beni bukanlah hal yang mudah, tetapi jika ia tidak melakukannya, maka pengkhianatan itu akan terus menghantuinya.
"Kita harus menemukan cara untuk membuatnya merasakan apa yang kita rasakan," kata Aira, suaranya penuh tekad. "Kita mungkin tidak sekuat Beni, tapi kita punya sesuatu yang dia tidak miliki—persatuan."
Raka dan Adrian saling bertatapan, menyadari bahwa untuk mengalahkan Beni, mereka harus bersatu tanpa ada keraguan.
---
Hari-hari berikutnya, mereka bertiga mulai menyusun rencana mereka dengan penuh ketelitian. Setiap langkah dipikirkan matang-matang untuk memastikan bahwa Beni tidak akan menyadari apa yang mereka rencanakan.
Di tengah rencana itu, Beni mulai merasakan perubahan sikap mereka, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya. Dia merasa dirinya masih memegang kendali penuh.
Namun, pada malam yang mereka tentukan, Beni menerima pesan anonim yang mengarahkannya ke sebuah tempat terpencil di pinggiran kota. Ketika dia tiba, ia melihat Aira, Raka, dan Adrian menunggunya di sana.
"Akhirnya kalian memutuskan untuk menyerah?" ejek Beni dengan senyum puas.
Aira menggeleng, wajahnya penuh ketenangan yang membuat Beni sedikit bingung. "Beni, kami bukan di sini untuk menyerah. Kami di sini untuk menunjukkan padamu bahwa kamu telah salah menilai kami."
Beni tertawa meremehkan. "Dan apa yang akan kalian lakukan? Mengancamku? Jangan bercanda, Aira."
Adrian melangkah maju. "Tidak, kami tidak akan mengancam. Kami akan menghadapi semua yang kau lakukan dengan kekuatan kami sendiri. Kau pikir kami akan terus menjadi korbanmu? Kau salah besar."
Raka menatap Beni dengan tatapan penuh kebencian. "Dan jangan pernah berpikir kau bisa menghancurkan kami lagi. Mulai sekarang, kau akan melihat bahwa kepercayaan kami satu sama lain lebih kuat daripada apapun yang kau miliki."
Ekspresi wajah Beni mulai berubah. Untuk pertama kalinya, ia melihat keberanian di mata mereka yang membuatnya merasa sedikit terancam.
"Kalian... kalian sungguh nekat," ucap Beni dengan suara bergetar, mencoba menutupi kegelisahannya. "Tapi ingat, aku tidak akan membiarkan kalian menang."
Aira melangkah maju, wajahnya tegas dan penuh determinasi. "Kau sudah menghancurkan kepercayaan kami, Beni. Tapi yang kau tidak tahu adalah, dari setiap penghancuran, ada kekuatan yang baru. Dan sekarang, kami lebih kuat daripada sebelumnya."
---
Pertarungan emosi itu akhirnya mencapai puncaknya ketika Beni mulai menunjukkan sisi dirinya yang selama ini tersembunyi. Dia merasa kalah secara psikologis, tetapi berusaha mempertahankan kendalinya. Setiap kata-kata Aira, Raka, dan Adrian membuatnya semakin terguncang.
Beni merasa terpojok, dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa keputusannya untuk mengkhianati mereka telah membawa dirinya ke dalam posisi yang berbahaya.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Adrian memberikan kata-kata terakhir yang menghantam Beni keras. "Kami mungkin pernah terluka karena kepercayaan yang kau hancurkan, tapi ingatlah, dari luka itu kami tumbuh lebih kuat. Dan sekarang, giliranmu yang merasakan pengkhianatan ini."
Dengan itu, mereka bertiga meninggalkan Beni yang terduduk dalam kekalahan emosional. Beni, yang dulu menganggap dirinya sebagai pengendali, sekarang menjadi korban dari pengkhianatan yang ia ciptakan sendiri.
Aira, Raka, dan Adrian meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega, namun mereka tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir. Mereka telah mengalahkan Beni secara psikologis, tetapi masih banyak tantangan di depan.
Saat mereka melangkah pergi, Aira merasakan kepercayaan dirinya semakin kuat. Ia menatap ke depan dengan tekad baru, menyadari bahwa meskipun mereka telah melalui pengkhianatan yang menyakitkan, mereka akhirnya menjadi lebih tangguh.
Namun, sebelum mereka sempat merayakan kemenangan ini, ponsel Aira bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal, dan isinya membuat mereka semua terdiam:
"Kalian pikir ini sudah selesai? Tunggu saja... ini baru permulaan."
Mereka saling bertatapan dengan wajah tegang, menyadari bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai.