Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Si Bibik merasa hatinya tidak tenang. Ia berkali - kali mengusap dahinya yang berkeringat.
"Bibik kenapa? Wajah Bibik pucat." tegur salah seorang pelayan yang baru saja datang.
Ia lalu menuangkan segelas air dan menyerahkannya pada si Bibik.
"Minum dulu, Bik. Biar tenang. Kayaknya Bibik nggak tenang."
"Kelihatan, ya?" si Bibik menggeleng sembari menunjukkan gelasnya yang sudah kosong.
"Bibik sudah minum. 2 gelas malah." entah kenapa ia memang merasa tidak tenang. Cemas, tepatnya.
"Non Nara nggak kelihatan berangkat kerja, ya? Dari tadi belum keluar kamar." tanya pelayan yang bertugas belanja untuk keperluan memasak itu.
Saat Bibik datang dan duduk di dapur ini, pelayan itu belum pulang belanja.
"Emang nggak kerja." sahut si Bibik. Pelayan itu membuka sayuran yang ia beli dan mulai memotong - motongnya. Spontan si Bibik ikut membantu mengupas bawang.
"Lah, kok Bibik malah di sini? Biasanya nemenin Non Nara." ya, tugas si Bibik hanya menemani Nara. Kalau Nara bekerja ia akan membantu pekerjaan pelayan yang lain. Seperti sekarang ini.
"Lagi ada Den Gerry." jawab si Bibik kalem.
"Den Gerry udah keluar dari tadi, kallii.. Waktu Saya baru pulang tadii.." terang si pelayan. Posisinya berdiri membuatnya dapat melihat kamar Nara. Siapa yang keluar masuk dari atau ke kamar Nara terlihat dengan jelas.
"Yang bener?" si bibik melonjak kaget. Pisau langsung terlepas dari tangannya dan jatuh berdentang ke lantai.
"Hati - hati dong, Bi." pelayan itu mengambil pisau yang jatuh.
Si Bibik tercenung sejenak. Lalu ia segera berinsiatif sendiri.
"Bikinin susu dulu, deh. Dari pagi Non Nara nggak mau makan."
Setelah membuat susu si Bibik langsung ke kamar Nara.
"Non, minum susunya dulu, ya?" katanya seraya nenutup pintu di belakang tubuhnya. Tapi pemandangan di depan matanya membuat jantungnya seakan melorot turun.
Nara tertelungkup di atas lantai. Entah pingsan, atau..
Prang!
Gelas ditangannya jatuh dan pecah.
"NON NAYA!!!" teriaknya histeris. Ia berlari membuka pintu kamar dan berteriak,
"Tolong! Tolong!" ia kembali ke tempat Naya dan segera membalikkan tubuh Nara.
Terasa ringan karena tubuh Nara sangat kurus.
Si Bibik mengangkat kepala Nara untuk diletakkan di pangkuannya.
"Non Naya! Non Naya!" ditepuknya pipi Nara perlahan dengan airmata yang membanjir di wajahnya. Detak jantung Nara sudah tidak dapat dirasakannya.
Dalam sekejap semua orang sudah berkumpul di kamar Nara. Termasuk Gerry. Ia juga terlihat panik.
"Kamu kenapa Nara? Tadi Kamu nggak papa." racaunya seraya mengangkat tubuh Nara dan berlari membawanya ke dalam mobilnya.
Handoko sudah berangkat ke kantor. Ia tidak mengetahui kejadian ini.
Gerry membawa mobilnya secepat yang ia mampu. Si Bibik ikut bersamanya untuk menjaga Nara di belakang.
Mobil meliuk - liuk di jalanan yang padat dengan kendaraan lain.
Lima belas menit kemudian mereka tiba di rumah sakit.
Si Bibik berlari - lari di samping ranjang Nara yang langsung mendapatkan penanganan.
Gerry terlihat cemas dan sedih. Ia terus menggenggam tangan Nara.
"Kamu harus kuat, Nara. Demi Aku." seolah mereka adalah sepasang suami istri yang saling mencintai.
Gerry melepas genggaman tangannya saat Nara di dorong ke ruang ICU.
"Hubungi Bapak, Den." pinta si Bibik dengan penuh harap. Airmatanya belum berhenti mengalir.
Gerry meraih ponselnya untuk menghubungi mertuanya.
Percakapan mereka cukup singkat.
Handoko menghubungi sopirnya,
"Di! Siapin mobil! Kita ke rumah sakit! Iya, sekarang!" ia berlari dengan airmata menggenang. Tidak diperdulikannya tatapan heran para bawahannya.
Mereka langsung meluncur ke tempat Nara di rawat.
*****************
"Nara koma." si Bibik langsung ambruk di lantai. Tapi tidak ada yang mempedulikannya.
Handoko masih terpana mendengar berita itu. Penjelasan dokter sudah tidak dapat dicerna oleh otaknya.
Gerry menganbil alih dengan segera. Selayaknya menantu yang baik ia mengajak mertuanya duduk dan memberinya segelas air.
"Papa, Papa yang kuat, ya?"
"Tapi,.. Kenapa?" keluh Handoko. Ia tidak merasa ada yang lain dengan Nara. Meskipun Nara menolak untuk sarapan bersamanya, senyuman Nara begitu menenangkannya.
"Naya belum lapar, Papa. Naya ingin nemenin Papa makan aja." katanya manja.
Handoko tidak menganggapnya aneh. Nara memang susah makan.
Handoko makan dengan cepat. Ia bahagia karena pagi ini Gerry dan Nara duduk bersamanya di meja makan.
"Kamu kok belum siap - siap, Ger? Udah siang, lho?" tanyanya sambil menyuap makanannya.
"Sebentar lagi, Pa." Gerry mengerling pada Nara. Seperti sebuah kode kemesraan.
Nara tidak mempedulikan kerlingan Gerry. Ia menjawab setiap pertanyaan Papanya seperti biasa. Bahkan ia juga meminta Papanya menikah lagi.
"Biar Papa ada temannya." katanya menggoda.
Handoko memang pernah menikah lagi, tapi ia selalu membandingkannya dengan Mama Nara. Ia tidak tahan sendiri dan akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Handoko mengusap kepala Nara.
"Kamu aja yang cariin." katanya balik menggoda.
Pagi ini mereka tertawa bersama. Tapi sekarang?
"Non Nara bilang dadanya sakit, Pak. Makanya Non nggak berangkat kerja." si Bibik dengan wajah yang masih basah oleh airmata mencoba memberi penjelasan.
Handoko tau ia tidak dapat menyalahkan siapa - siapa. Nara memang sakit sejak kecil.
"Papa pulang, ya? Biar Saya yang nungguin Nara di sini. Bibik juga." ujar Gerry.
Handoko melihat mata Gerry merah. Ia menduga Gerry juga habis menangis.
"Bibik mau di sini aja, Den." si Bibik terlihat memohon. Ia harus berada di sisi Nara saat ia bangun nanti.
"Nara udah ada perawat yang jagain. Biar Gerry yang nungguin istrinya." putus Handoko. Gerry mengangguk.
Si Bibik terpaksa mengikuti perintah majikannya. Dengan langkah lunglay ia mengikuti Handoko. Ia memang tidak dapat berbuat apa - apa di sini. Melihat dari jendelapun tidak bisa karena jendela kaca itu tertutup oleh gorden tebal.
'Maafin Bibik, Non. Bibik nggak jagain Non.' si Bibik terus terisak sambil meracau dalam hatinya.
Handoko meliriknya sesaat. Kini mereka duduk berdampingan di dalam mobil. Handoko mengerti kesedihan si Bibik mungkin lebih besar dari kesedihannya. Bibik yang menemani Nara sejak kecil. Ia adalah ibu kedua bagi Nara.
"Sudah, Bik. Jangan menangis terus. Naya akan baik - baik saja." hibur Handoko, sekaligus menghibur dirinya sendiri.
"Aamiin." si Bibik mengangguk - angguk.
Mereka adalah orang - orang spesial buat Nara. Hanya mereka yang boleh memanggil Nara dengan panggilan Naya. Semua orang termasuk Gerry harus memanggil sesuai namanya. Nara, dari Inara.
Gerry berjalan mondar - mandir di depan ruang ICU.
"Kirain udah mati. Kok masih hidup aja, ya?" desisnya pelan.
Terbayang olehnya Nara yang menggapai ke arahnya, meminta pertolongannya sebelum akhirnya ambruk ke lantai. Gerry hanya menatapnya dengan senyum puas. Semua berjalan sesuai dengan keinginannya.
"Kamu sudah berakhir, Nara. Sudah berakhir." Lalu ia mengintip keluar kamar sebelum melenggang keluar dari kamar Nara.
Posisi duduk si Bibik tengah membelakanginya.
***************