Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat - Kecanduan
Hari ini pekerjaan Amara lancar, tanpa kendala apa pun. Amara langsung memahami SOP pekerjaannya, itu semua karena Amara pernah bekerja di bidang yang sama, saat dulu sebelum dia menikah dengan Alvaro. Bedanya dulu bekerja di sebuah hotel sebagai resepsionis.
“Ara, makan siang di kantin, yuk?” ajak Dewi, teman Amara yang baru saja dikenalnya tadi pagi.
Dewi sudah lebih lama bekerja di sana, Amara hari ini juga banyak diajari oleh Dewi, mana yang belum paham Amara tanyakan pada Dewi sebagai seniornya.
“Oke,” jawab Amara.
Mereka berjalan ke arah kantin. Hari ini Amara gugup, jadi tidak bawa bekal makan siang. Harusnya tadi membawanya, karena Amara ingin berhemat, apalagi ia tahu sebentar lagi pasti suaminya akan menikahi perempuan masa lalunya itu. Sampai di kantin, kantin terlihat cukup ramai, mereka harus bersabar mengantre untuk memesan makanan dan minuman. Setelah mendapatkan makanan yang mereka inginkan, mereka kebingungan karena tempat duduk penuh semua.
“Penuh, Wi,” ucap Amara.
“Iya, Ra. Bentar-bentar aku cari lagi yang kosong. Aku lihat dulu,” ucap Dewi.
“Dewi, gabung sini!” panggil seorang laki-laki pada Dewi. Mereka terlihat sedang duduk berdua, dan bangku di depan mereka kosong dua.
“Ayo gabung sana, Ra!” ajak Dewi pada Amara. Mereka langsung berjalan menuju seseorang yang tadi memaggil Dewi.
“Untung saja ada kamu, Ris. Kalau gak, mau duduk di mana aku ? Masa makan sambil berdiri?” ucap Dewi lalu dia mendudukkan dirinya berdampingan dengan Amara.
“Teman kamu baru? Anak baru, ya?” tanya Aris.
“Oh iya, kenalin ini Amara, teman baru di resepsionis. Untung deh langsung dapat ganti, mana dia pintar pula?” ucap Dewi dengan memuji Amara.
“Apaan sih, Wi?” ucap Amara malu.
“Hai, aku Aris, teman Dewi. Ini temanku namanya Rudi,” ucap Aris dengan memperkenalkan Rudi pada Amara.
“Amara,” ucap Amara memperkenalkan diri.
“Salam kenal Amara, ayo buruan makananmu dimakan, nanti keburu jam istirahat selesai lho?” ucap Aris.
Amara mengangguk, ia menikmati makanannya. Amara hanya diam mendengarkan Dewi, Aris, dan Rudi mengobrol. Sesekali saja Amara bicara jika ditanya Aris atau Rudi.
“Gimana, Wi? Jadi gak kita pergi weekend ini? Katanya mau jalan-jalan, terus nonton, karaokean? Aku ada info room yang enak nih. Tapi nih Rudi gak mau kalau kita Cuma bertiga perginya?” ucap Aris.
“Nah ini ada Amara, ikut ya, Ra?” ajak Dewi.
“Duh, aku harus langsung pulang, aku gak bisa,” jawab Amara.
“Yah ... padahal kan kita bisa nih double date. Aku sama Dewi, kamu sama Rudi, kasihan nih jones. Jomlo ngenes!” ucap Aris dengan berkelakar.
“Apaan sih lo!” sembur Rudi.
Amara mengernyitkan keningnya, ia sampai mau tersedak saat makan tadi, saat Aris bilang double date. Buru-buru Amara minum, untuk mendorong makanan yang masih tercekat di tenggorokannya.
“Makannya hati-hati, Ra. Gak usah gugup, masih dua puluh menit lagi jam istirahatnya,” ucap Rudi dengan perhatian.
“Gimana, Ra? Mau gak ikut?” tanya Dewi.
“Maaf sebelumnya, aku sudah menikah, aku sudah punya suami. Sepertinya gak etis kalau aku pergi dengan laki-laki lain selain suamiku,” jawab Amara yang membuat ketiga teman barunya terkejut dengan jawaban Amara.
Amara tidak mau menyembunyikan status pernikahannya. Walaupun ia tidak memberitahukan siapa sebenarnya suami Amara, akan tetapi ia tetap harus mengatakan status dia sebenarnya.
“Eh ... yang benar saja kamu, Ra? Masa kamu sudah menikah? Kamu ini masih dua puluh tiga tahun, kan? Aku nih sudah dua puluh lima tahun belum nikah lho?” ucap Dewi.
“Ya benar, aku sudah menikah. Aku sudah tiga tahun menikah, dari umur dua puluh tahun aku sudah menikah,” jelas Amara.
“Maaf ya, Ra? Aku kira kamu belum menikah, kamu masih terlihat begitu muda sekali, jadi aku tahunya kamu masih sendiri,” ucap Aris.
“Iya nih, masih kayak anak gadis. Aku sedikit tak percaya sih kamu sudah menikah?” ucap Dewi.
Amara mengambil kartu identitasnya dari dalam dompetnya, lalu menunjukkan pada Dewi, supaya Dewi melihat status pernikahannya di kartu identitasnya.
“Masa kartu identitas berbohong, Wi? Lihat statusku?”
“Iya, kawin statusnya. Umurmu masih muda banget, Ra?”
“Aku kan nikah muda, Wi?”
Mereka akhirnya percaya dengan status perkawinan Amara. Tidak menyangka saja Amara sudah menikah. Apalagi Rudi, ia benar-benar tidak percaya Amara sudah menikah, pasalnya ia tadi terkesima sejak pandangan pertama pada Amara.
Mereka melanjutkan mengobrol sampai waktu istirahat habis, dan sepertinya mereka sudah menemukan waktu dan tempat yang pas untuk mereka jalan bertiga.
^^^
Amara sampai rumah pukul lima sore. Ia langsung ke kamar, membersihkan dirinya dan setelahnya, ia langsung rebahan di tempat tidur. Amara merasakan badannya pegal, mungkin karena baru mulai bekerja lagi, jadi rasanya lelah sekali. Amara ketiduran, sampai ia melupakan makan malamnya, dan tidak tahu kalau suaminya sudah pulang dari kantor.
Alvaro baru saja pulang dari kantor. Ia langsung melepaskan semua pakaiannya, lalu menaruhnya ke dalam keranjang baju kotor, dan begegas mengambil handuk lalu mandi. Tapi, Alvaro mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar mandi. Sebelum masuk ke dalam kamar mandi, ia melihat Amara yang tidur begitu pulas, wajahnya damai sekali saat tidur.
“Kamu pasti lelah ya, Ra?” ucap Alvaro, lalu setelahnya ia pergi ke kamar mandi.
Setelah lama berada di kamar mandi, melakukan ritual mandinya, Alvaro keluar dengan handuk terlilit di pinggangnya. Alvaro menelan salivanya saat melihat posisi tidur Amara yang sudah berubah, ditambah gaun tidurnya tersingkap ke atas, hingga menampakkan paha mulusnya, dan celana dalam dengan warna senada gaun tidurnya. Tak hanya melihat itu, Alvaro matanya semakin naik melihat dada Amara yang membusung menantang dirinya. Payu dara nya mencuat dari penutupnya hingga membuat sang adik kecil mengeras. Berkali-kali Alvaro menelan salivanya.
Tak dipungkiri, Alvaro sudah merasakan kecanduan tubuh Amara yang mulus dan seksi. Alvaro sudah tergila-gila akan tubuh istrinya, tapi hatinya masih kebingungan. Ia tidak tahu dirinya sudah mencintai Amara atau belum, tapi ia sangat kecanduan tubuh istrinya itu.
“Shit!!! Kau membuatku gila, Amara! Kamu membuatku kecancduan! Kau menantangku!” umpat Alvaro, saat paha mulus Amara terbuka, dan memperlihatkan belahan di antara pahanya.
Alvaro langsung naik ke atas tempat tidur, ia memosisikan tubuhnya di samping Amara. Tak mau lama-lama, Alvaro langsung meng hisap dada Amara yang mencuat, menantangnya. Tangannya juga tak mau diam, tangannya mengusap lembut paha mulus Amara, hingga ia menemukan lembah yang lembab kesuakaannya, yang sudah menjadi candu untuknya.
Amara semakin mengeliatkan tubuhnya, dengan mata terpejam, tapi mulutnya mulai meracau, mengeluarkan desahan lembut dan lirih, yang membuat Alvaro menjadi semangat menjelajahi tubuh Amara.