"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Mimpi Buruk
Ryan jarang benar-benar bisa tidur nyenyak. Sejak kejadian di gang, malam-malamnya jadi serangkaian mimpi buruk. Malam ini pun sama, ia terbaring di ranjang, tubuhnya terasa seperti dipenjara, sementara pikirannya berkecamuk di antara rasa takut dan amarah yang belum tersalurkan. Suara detik jam di dinding makin keras, seolah berkonspirasi untuk membuatnya gila.
Dalam gelap, pikirannya seperti lautan hitam yang berputar.
Ryan berdiri di tengah ruangan asing. Dinding-dinding di sekitarnya berwarna hitam pekat, seperti arang yang terbakar, menghimpit dari semua arah. Udara terasa dingin dan berat, menekan dadanya sampai sulit bernapas. Sunyi menyelimutinya, jenis kesunyian yang lebih menakutkan daripada apapun.
Dari kegelapan, ada suara. Bukan tawa, bukan tangisan, lebih seperti bisikan yang melingkar di sekelilingnya, membuat bulu kuduknya berdiri.
Ia ingin berteriak, tapi suaranya tak keluar. Tubuhnya kaku, seperti tertambat ke lantai, tak mampu lari dari ketakutan yang mulai mendekat.
Dari balik bayangan, muncul dua sosok yang ia kenal. Rei dan Ivan.
Mereka mendekat perlahan, wajah mereka menyeringai dengan tatapan kosong yang membuat darahnya membeku. Setiap langkah mereka seperti memaku dirinya di tempat.
"Kenapa tidak lari?" suara Rei terdengar dingin, bergema di seluruh ruangan.
Ryan tak bisa menjawab. Tubuhnya gemetar, dan hatinya berdebar kencang, tapi kakinya seolah ditahan sesuatu yang tak terlihat.
Ivan mendekat, menyeringai, menatapnya dengan jijik. "Kau pikir bisa lolos dari kami? Dasar pengecut."
Kata-kata itu terasa seperti paku yang menghunjam, membuatnya semakin jatuh ke dalam rasa tak berdaya. Tubuhnya limbung, nyaris terjatuh.
Kemudian, di belakang mereka, muncul sosok lain. Hana.
Dia berdiri di sana, cahayanya yang lembut tampak kontras dengan kegelapan yang mengelilingi ruangan. Harapan kecil tumbuh dalam diri Ryan. Ia ingin memanggilnya, memohon pertolongan, tapi suaranya tak keluar. Mulutnya tetap terkunci.
Namun, Hana tampak berbeda. Tatapan matanya tak lagi hangat; kini tampak kosong, seperti wajah patung tanpa perasaan.
"Siapa yang bisa mencintai orang sepertimu?" bisik Hana. Suaranya terdengar lirih tapi tajam, menusuk jauh ke dalam dadanya.
Ryan merasa terhantam, lebih dalam daripada luka fisik manapun. Cahaya kecil dalam hidupnya perlahan memudar. Ia ingin berkata sesuatu, menjelaskan, tapi hanya udara kosong yang keluar dari mulutnya.
"Aku... aku hanya ingin semuanya berbeda," gumamnya, tapi tak ada yang mendengar.
Rei dan Ivan tertawa, suara mereka mengisi ruangan, bergema seperti ejekan yang tak henti. Sosok Hana semakin jauh, tenggelam dalam kegelapan. Cahaya yang ia bawa perlahan padam, meninggalkan Ryan sendirian.
Kegelapan mulai menelannya, membuatnya terperosok dalam rasa putus asa yang mencekik. Ia mendengar suara lagi, suara yang berasal dari dalam kepalanya sendiri, pelan tapi dingin.
"Kau tak akan pernah keluar dari sini."
Ryan merasa tenggelam, terseret lebih dalam ke dalam lautan perasaan yang kelam, tanpa harapan untuk menemukan jalan keluar.
Ia terbangun.
Tubuhnya basah kuyup oleh keringat, napasnya tersengal. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar yang gelap, jantungnya berdetak cepat, tak berhenti. Malam terasa begitu sunyi, seperti lubang besar yang siap menelannya kembali.
Ia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan diri. Mimpi itu... seperti cermin dari kenyataan yang sedang ia hadapi. Kenyataan bahwa ketakutan dan kesepian itu masih berakar kuat, menghantuinya tanpa henti.
Ryan menarik napas dalam-dalam, berharap besok akan membawa sedikit harapan baru. Meski sulit, ia memaksa dirinya untuk percaya bahwa ini bukan akhir dari segalanya.
...----------------...
Ryan melangkah ke kamar mandi, tubuhnya masih gemetar akibat mimpi buruk yang terus menghantui. Suara air keran mengalir memenuhi keheningan malam yang berat. Ia mencuci wajah, merasakan air dingin membasahi kulitnya, berusaha menenangkan pikiran yang terus kacau.
Cermin di depannya memperlihatkan wajah yang sudah jauh dari kata segar. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, kulitnya pucat, bibirnya kering. Ia memandangi pantulan itu dengan tatapan kosong. Di sana berdiri seseorang yang ia sendiri hampir tak kenali lagi.
Tanpa sadar, ia membuka keran lebih kuat, membiarkan air mengalir deras dan membasahi kedua lengannya. Malam ini terasa mencekik, seakan udara di sekitarnya berkurang, membuat dada Ryan semakin sesak.
Selesai membersihkan diri, ia berjalan perlahan menuju dapur. Lampu dapur menjadi satu-satunya sumber cahaya, menerangi ruangan dengan pendar lemah. Sementara seluruh rumah terasa kosong, hening seperti ditinggalkan.
Di sana, ia membuka lemari, mencari gelas, lalu menuangkan air ke dalamnya. Satu tegukan, dua tegukan, air dingin mengalir di tenggorokannya, membuat kepalanya sedikit ringan. Tapi keheningan masih menggantung di udara, tebal dan dingin.
Ia menyandarkan tubuh di meja, memejamkan mata sejenak. Pikiran tentang mimpi tadi kembali datang, memutar kembali tiap detail, tiap tatapan mengerikan, tiap tawa yang menusuk.
Ryan membuka matanya, mengamati dapur yang terlihat asing. Bayangan dari masa lalu, suara tawa yang menghantuinya, seakan menempel di dinding, seperti noda yang tak bisa hilang.
"Ini sudah terlalu jauh," gumamnya, hampir tanpa suara. Rumahnya yang seharusnya menjadi tempat berlindung, kini tampak seperti tempat di mana semua kekosongan itu berkumpul. Entah berapa lama ia berdiri di sana, memandangi gelas kosong di tangannya, mencoba mencari sesuatu yang tak pernah ada.
Ryan menarik napas, menaruh gelasnya perlahan. Di tengah kegelapan yang menelan rumahnya, ia merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan, entah apa, tapi ia tahu, malam ini, ia sudah muak dengan semua ketakutan yang terus membayanginya.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂