Hidupku mendadak jungkir balik, beasiswaku dicabut, aku diusir dari asrama, cuma karena rumor konyol di internet. Ada yang nge-post foto yang katanya "pengkhianatan negara"—dan tebak apa? Aku kebetulan aja ada di foto itu! Padahal sumpah, itu bukan aku yang posting! Hasilnya? Hidupku hancur lebur kayak mi instan yang nggak direbus. Udah susah makan, sekarang aku harus mikirin biaya kuliah, tempat tinggal, dan oh, btw, aku nggak punya keluarga buat dijadiin tempat curhat atau numpang tidur.
Ini titik terendah hidupku—yah, sampai akhirnya aku ketemu pria tampan aneh yang... ngaku sebagai kucing peliharaanku? Loh, kok bisa? Tapi tunggu, dia datang tepat waktu, bikin hidupku yang kayak benang kusut jadi... sedikit lebih terang (meski tetap kusut, ya).
Harapan mulai muncul lagi. Tapi masalah baru: kenapa aku malah jadi naksir sama stalker tampan yang ngaku-ngaku kucing ini?! Serius deh, ditambah lagi mendadak sering muncul hantu yang bikin kepala makin muter-muter kayak kipas angin rusak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Souma Kazuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Kepulangan yang Tak Terduga
Ponselku bergetar di atas meja, layar memancarkan nama yang membuatku bergidik: Ruri. Panggilan tak terjawab darinya sudah lama ada, tetapi entah mengapa aku mengabaikannya. Mungkin aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku, atau mungkin, lebih jujurnya, aku takut menghadapinya. Namun, malam ini, perasaanku aneh. Dengan penuh rasa bersalah, aku membuka media sosial, mencoba mengintip apa yang terjadi di dunia sekitar Ruri.
Dan di situlah, rasa sesak mulai mencekik dadaku. Ruri. Masalah? Aku tak bisa percaya apa yang kubaca. Berita tentang masalah yang dihadapinya—karena aku? Karena kesalahanku di masa lalu? Tangan gemetar, aku menelusuri lebih dalam. Tak percaya bahwa ini semua salahku.
Gambaran Ruri melintas di benakku, kembali ke masa lalu ketika kami pertama kali bertemu. Aku ingat saat itu, kelas 5 SD. Aku anak pindahan dari Jepang, masuk ke sekolah Ruri dengan penuh rasa sombong. Selalu ada dinding tak kasatmata antara aku dan anak-anak Indonesia lainnya. Tak ada yang mau mendekatiku, mereka tak menyukaiku. Mungkin karena aku tampak terlalu angkuh. Tapi, hanya satu orang yang berbeda—dia.
Ruri, gadis yang saat itu tersenyum ramah kepadaku, yang mendekatiku dan berkata, "Ayo main sama kami, Takeru." Dia meluruhkan benteng kesombonganku dengan senyumannya yang tulus. Dia seperti oasis di tengah gurun kegersangan. Dari situlah semuanya dimulai. Kami sahabatan selama bertahun-tahun, sampai akhirnya aku harus kembali ke Jepang setelah ayahku menyelesaikan kontraknya di Indonesia.
Tapi aku, seperti orang bodoh, membuat satu kesalahan besar. Saat itu, aku sangat marah pada anak-anak Indonesia yang mengabaikanku. Dalam kebodohan dan kemarahanku, aku berfoto di situs bekas penjajahan Jepang dan mempostingnya di media sosial dengan hinaan terhadap bangsa Indonesia. Menyebut mereka bangsa yang lemah, sementara memuji bangsa Jepang sebagai bangsa superior. Tanpa kusadari, postingan bodoh itu melukai satu-satunya sahabatku—Ruri.
Dan sekarang, aku di sini. Menyadari kesalahanku. Rasa penyesalan terus menghantui, memaksaku kembali ke Jakarta. Aku tak bisa lagi tinggal diam. Setelah menyewa detektif swasta, aku akhirnya menemukan alamat Ruri yang baru. Sekarang, aku akan memperbaiki segalanya. Aku harus bertemu dengannya.
___
Takeru kini berada di dalam pesawat menuju Jakarta, dadanya penuh dengan kegelisahan. Di dalam benaknya, bayangan Ruri terus muncul. Gadis yang sudah lama tak ditemuinya, dan satu-satunya yang pernah membuatnya merasa berarti di tengah keangkuhan masa kecilnya. Tapi kali ini, dia datang bukan hanya untuk bernostalgia, tetapi untuk memperbaiki kesalahan besar yang telah ia buat.
Ketika pesawatnya mendarat di bandara, rasa canggung yang aneh menghampirinya. Sebagai aktor drama yang baru saja debut di Jepang, Takeru memang belum terkenal—bahkan mungkin tak ada satu pun yang mengenalnya di sini. Tapi, sikap selebritinya seolah-olah tak bisa ia hilangkan. Dia memakai masker, menarik topi baseball-nya semakin dalam, dan selalu menundukkan kepala setiap kali melewati orang. Tangannya sesekali mengangkat topi, memperbaiki posisinya untuk memastikan tidak ada yang mengenali dia.
Lucunya, sikapnya yang mencolok justru menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang menoleh, lalu tertawa kecil melihat betapa lebay-nya dia bersikap. "Siapa sih, kok sok terkenal gitu?" celetuk seorang pria yang melewati Takeru sambil tertawa. Takeru bahkan tak menyadari bahwa dengan gerak-geriknya yang berlebihan, dia malah semakin membuat dirinya terlihat mencolok di mata orang-orang.
Dia menepis semua itu, tetap teguh pada tujuannya. "Yang penting aku harus bertemu Ruri," gumamnya dalam hati, meskipun senyum sinis orang-orang yang menertawakan dirinya tak henti-henti menusuk telinganya.
___
Akhirnya, Takeru tiba di depan gubuk sederhana yang ditinggali Ruri. Di dalam benaknya, dia membayangkan skenario yang indah. Ketika Ruri melihatnya, dia pasti akan sangat merindukan dirinya. Takeru yakin Ruri akan berlari dan memeluknya, dan mungkin, mereka akan bersama lagi—kali ini bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai pasangan. Bagaimana mungkin ada pria lain yang bisa mengambil tempat di hati Ruri?
Namun, ketika dia melihat sosok Ruri dari kejauhan, kenyataan itu membantingnya begitu keras. Ruri berjalan dengan pria lain. Pria yang tak dikenalnya. Bukan hanya itu, mereka tampak begitu dekat. Carlos, pria misterius itu, dengan lembut merangkul bahu Ruri, sesekali menggoda dengan senyum nakal. Dan yang paling membuat Takeru terperangah, Ruri tampak begitu nyaman dengan semua skinship itu. Bahkan ketika Carlos mencubit pelan pipinya, Ruri hanya tertawa kecil—tanpa ada penolakan sedikit pun.
Langkah Takeru tertahan. Dadanya terasa sesak. Pria ini... siapa dia? Mengapa Ruri bisa sedekat itu dengan orang lain?
___
Sambil berjalan menuju rumah, Carlos tak bisa menahan diri untuk menggoda Ruri. “Ruri, kau tahu, pipimu semakin tembam ya. Aku jadi ingin cubit lagi,” godanya sambil mencubit pipinya pelan.
Ruri hanya mendesah, "Sudah, sudah. Kamu itu nggak pernah berhenti, ya? Aku jadi nggak terbiasa lagi kalau nggak ada cubitan dari kamu." Meskipun mengeluh, ada senyum tipis di wajahnya yang menunjukkan kalau dia sebenarnya sudah menyerah pada tingkah Carlos.
Carlos, yang selalu tanggap pada perubahan mood Ruri, melingkarkan tangannya di bahu Ruri. “Yuk, kita cepat pulang. Aku sudah lapar nih,” katanya sambil menariknya sedikit lebih dekat.
Ruri hanya mengangguk, tak lagi menolak rangkulan Carlos. Semakin hari, Carlos semakin sering melakukannya, dan Ruri pun akhirnya terbiasa. Dia tak bisa lagi melawan kedekatan yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Namun, ketika mereka hampir sampai di depan pagar, mata Ruri tiba-tiba terbelalak. Sosok yang duduk di sana, menunggu mereka dengan canggung, adalah seseorang yang tak pernah ia sangka akan muncul di tempat ini.
“Takeru? Lho kok kamu di sini?” seru Ruri kaget, suaranya penuh keheranan.
"Hai, Ruri," jawab Takeru dengan canggung. Matanya menatap lurus ke arah Carlos, yang dari tadi menggenggam bahu Ruri dengan erat.
Carlos yang melihat itu, langsung memperhatikan Takeru dengan tajam. Ekspresinya berubah dingin, menilai Takeru dengan tatapan yang penuh kewaspadaan.